16 | Saya merasa malu, maaf.

3.3K 684 167
                                    

"Terima kasih Pak Daru," lirih perempuan beranak satu yang menerima sebotol air mineral dengan tutup sudah terbuka.

Karena tidak mau ada orang yang melihat Dari menangis di samping mobil, Andaru menyuruhnya masuk ke dalam dan menenangkan diri di sana. Sekarang tangis Dari sudah reda, tetapi ketakutannya belum. Dia ingin sekali menumpahkan semua pada orang lain kalau dia sedang tidak baik-baik saja dan sangat butuh seseorang untuk sekedar mendengar ceritanya. Dari ingin meminta tolong pada Daru, tetapi wanita ini yakin Daru tidak akan berpihak padanya karena Rio adalah keponakan dia.

"Apa yang Rio lakukan sampai buat kamu seperti ini?" Andaru semakin penasaran dengan Dari dan Rio.

Dari yang mendengar itu, memilih menggeleng. Tidak mau menjawab meski dalam hati dia ingin sekali Andaru tahu kalau keponakannya itu brengsek. Dia yang membuat hidup Dari hancur sekarang.

"Dari ... setiap kamu bertemu dengan ponakan saya, sikap kamu selalu aneh. Maaf kalau saya lancang, tetapi saya rasa saya harus tahu yang sebenarnya mengenai kalian."

Sesosok perempuan yang duduk di bangku kemudi, terdiam cukup lama. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menatap manik mata lelaki di sampingnya dan bicara, "Kalau pun Bapak tahu, saya yakin Bapak tetap akan memihak Rio."

"Kenapa kamu bisa dengan mudah menyimpulkan begitu?"

"Karena Rio keponakan Pak Andaru. Biasanya kita lebih mudah percaya pada orang-orang yang sudah kita kenal dekat, Pak," lirih Dari. "Selain itu saya juga tidak mau membuat hubungan Bapak dan dia berubah setelah saya bicara jujur. Biar semuanya tetap seperti ini saja."

Suasana di dalam mobil sempat hening, hingga akhirnya Andaru menghela napas dan melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri. "Baik kalau maumu begitu, Dari. Omong-omong kamu sudah lebih tenang? Kalau sudah kita lanjut pergi ke tempat berikutnya."

"Sudah, Pak Daru. Baik, Pak."

Hari ini, Wulandari sampai di rumah pukul setengah tujuh malam. Dia membawa nasi box yang diberikan Andaru dari tempat pertemuannya tadi, tidak dimakan karena dia ingat dengan sang anak.

Saat masuk ke dalam, dia melihat Disa tengah nonton televisi sambil tiduran di atas karpet. Orang tuanya duduk di sofa sambil mengobrol. Dari menarik kedua sudut bibir ke atas kemudian mengucap salam, membuat mereka bertiga mengalihkan perhatian ke arah wanita berambut sebahu yang baru saja pulang kerja.

"Bubu ulangggg!" Anak itu langsung mengubah posisi menjadi berdiri dan berlari menghampiri perempuan yang merupakan mamanya. "Bubu awa apah?" (Bubu pulangggg! Bubu bawa apa?)

"Buat Disa," kata Dari setelah menyalami tangan orang tuanya. Dia menyodorkan tangan kanan ke Disa, anak yang sudah paham ini mendekatkan punggung tangan Dari ke arah bibirnya yang dia manyunkan. "Pinternya anak Bubu, nih ambil."

"Acih, Bubu." Anak itu nyengir lebar sambil menerima kantung plastik berisi nasi box. Dia jalan dan duduk di atas karpet lagi, langsung membuka tutup kotak dan melihat isinya. (Makasih, Bubu)

"Tadi sore udah makan dia, pake bubur," kata mama sambil memerhatikan cucunya. "Tumben banget minta beli bubur ayam. Untung kakeknya pulang kerja sore jadi dicariin."

"Ibunya Nayla masih ngomong yang enggak-enggak kalau Disa keluar rumah?" tanya Dari dengan pelan.

"Halah, gak usah dipikirin yang begituan, Ri. Mau dia ngomong apa sama keluarga kita, jangan dimasukin hati. Masing-masing aja," ucap papanya, menenangkan.

Mama ikut menyambar ucapan sang suami, "Sana kamu makan, jangan sampe telat makan. Itu tadi Bu Sri yang punya agen cerita saudaranya meninggal karena asam lambung lho."

Daru untuk Dari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang