27 | Tunggu aja nanti, Dari.

2.7K 573 130
                                    

Pukul dua pagi, Dari sudah bangun dan bersiap-siap. Sang mama membuatkan dia teh hangat juga semangkuk mie rebus dengan satu buah telur. Katanya, Dari harus mengisi perut supaya nanti bisa mengendarai mobil dengan fokus.

"Mama gak tidur?" tanya perempuan berusia 21 tahun ini yang tengah menyantap mie buatan mama.

"Tidur, cuma bangun lagi karena kamu kan pergi pagi. Mama udah minta papa setel alarm di ponsel."

Dari menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Mama gak pernah berubah, dari dulu selalu jadi orang paling sigap di rumah kalau Dari atau pun papa ada urusan pagi buta atau mendadak.

"Padahal Dari udah besar, mama gak perlu repot-repot."

"Tapi pasti kewalahan. Harus masak dulu, bikin teh dulu, gak enak kalau buat bosmu sampai harus nunggu," katanya, tahu kalau Andaru akan datang sebentar lagi.

Perempuan yang pagi ini memakai celana levis panjang, kaus yang dilapisi jaket merah muda dan menguncir setengah rambutnya kini kembali melahap mie rebus yang masih hangat.

"Aku titip anakku ya, Ma? Jangan dibiarin keluar atau main di halaman luar tanpa pengawasan mama," ucap Dari yang hampir menghabiskan makanannya.

"Ya, gak perlu cemas. Biar Disa mama yang urus," sahutnya. "Jangan mikir banyak hal di jalan, bawa mobil pelan-pelan aja yang penting sampai dengan selamat."

Wulandari mengangguk mendengar wejangan mama.

"Kalau lagi istirahat di rest area atau udah sampai jangan lupa terus kabarin mama, ya?"

"Pasti." Anak satu-satunya ini membalas dengan cepat.

Ponselnya yang dia taruh di atas meja berdering tepat setelah Dari baru saja menaruh gelas kosong ke atas meja. Dia menutup acara sarapannya dengan menghabiskan teh yang mulai dingin dan tersisa setengah.

"Siapa?" tanya mama saat Dari mengambil benda pipih yang berada tidak jauh darinya.

"Pak Bos."

"Ya udah, angkat."

Dari menggeser tombol hijau di layar dan menempelkan ponsel ke telinga. Suara bass Samudera Andaru langsung menyapa telinga perempuan ini. Dia bilang dirinya akan berangkat sebentar lagi. Mungkin memakan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit jadi dia meminta Dari untuk bersiap karena lelaki itu akan datang.

"Baik, Pak Daru. Boleh nanti hubungi saya lagi kalau Bapak sudah sampai," kata Dari dengan sopan.

"Ya, saya pasti akan melakukan itu."

Sebelum pergi, Dari pamit untuk pergi ke kamarnya sebentar.

Di sana, ada anak perempuannya yang tengah tertidur pulas tanpa pakai selimut karena lututnya masih ada luka. Beruntung, dia gak serewel dulu. Anak itu bisa tidur tanpa mengeluh mengenai luka yang cukup besar dan pastinya sakit.

Dari duduk di pinggir ranjang, menatap wajah sang anak beberapa saat kemudian tersenyum tipis dan mengusap rambutnya dengan pelan. Poni anak itu terangkat-angkat ke atas karena kipas angin yang menyorot dia lumayan kencang. Anak itu sangat suka dengan cuaca dingin, tidurnya jauh lebih nyenyak.

"Mama pergi dulu. Sementara ini Disa main sama nenek dan kakek di rumah," kata Dari, bicara pada anaknya seolah-olah Disa mendengar. "Disa jangan nakal, jangan rewel, harus jadi anak baik selama mama pergi, ya?" Perempuan berusia 21 tahun ini tidak mengalihkan pandangannya ke mana pun. Dia masih menatap wajah sang anak yang sekilas mirip Rio, lelaki yang pernah membuat fisik dan mental Dari hancur. "Nanti kalau mama udah pulang dan terima uang dari Pak Bos, kita beli sepeda, ya? Nanti kita beli langsung di tokonya, jadi Disa bisa pilih sendiri mau sepeda yang mana."

Daru untuk Dari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang