Malang, sebuah kota di Jawa Timur yang didirikan pada masa Kerajaan Kanjuruhan. Kota yang dikenal akan pendidikan, ragam budaya, sejarah serta keindahan alamnya. Sungguh, Maira masih tidak percaya jika dirinya akan tinggal di kota ini.
Maira merasa, hidupnya itu seperti layang-layang yang tidak tentu arah. Entah ke mana angin akan membawanya, layang-layang itu ikut saja. Begitupun dengan Maira, entah ke mana takdir akan membawanya, Maira ikut juga.
Ketika umurnya masih 16 tahun, tepatnya 7 tahun lalu, perempuan yang harusnya masih duduk di bangku SMA itu sudah mengandung. Dan sialnya, lelaki yang telah menodainya itu tidak mau bertanggung jawab, hingga dia menjadi cemoohan dan memilih pergi meninggalkan rumah. Itu adalah kali pertama Maira memberanikan diri pergi ke luar kota seorang diri, Bandung lah tujuannya.
Bandung, tidak ada yang lebih mengesankan dari kota itu selain bisa mengenal sosok wanita baik bernama Bu Nur, yang akhirnya Maira anggap seperti ibu sendiri.
Merasa tinggal di kota kembang tidak lagi nyaman, Maira pun kembali ke rumahnya, di Jakarta. Di kota itu, dirinya hidup bahagia bersama sang ayah dan buah hatinya meski selalu jadi bahan gunjingan tetangga. Namun, kebahagiaan itu tidak lama karena sang ayah harus kembali pada pangkuan Sang Kuasa.
Singkat cerita, beberapa tahun berlalu Maira, anaknya, juga Bu Nur tinggal dengan damai dan bahagia di Bengkulu. Orang-orang di sana baik, jarang sekali Maira mendengar ucapan tidak enak didengar. Dan nahasnya, kebahagiaan itu pun harus sirna kala Bu Nur ditimpa sakit berat, yang membuatnya tidak bisa bertahan. Akhirnya, Maira dan anaknya kembali terasing, tidak punya siapa-siapa.
Ketika hampir menyerah dengan keadaan, Maira ingat jika dia masih punya tante, adik dari ayahnya. Dengan penuh kedermawanan tantenya itu menawarkan agar Maira dan anaknya tinggal di Malang. Merasa tidak punya pilihan, Maira pun mengiyakan tawaran itu meski setengah hatinya merasa berat harus meninggalkan kota Bengkulu, di mana Bu Nur dimakamkan di sana.
Tidak terasa, satu bulan sudah Maira dan Haidar tinggal di rumah tantenya. Mulanya semua berjalan menyenangkan, kedatangan Maira dan Haidar pun disambut begitu hangat oleh keluarga tantenya. Namun, makin hari ketidaknyamanan makin dirasakan Maira. Sang tante makin hari makin ketus, ditambah kebaikan suaminya pada Maira yang sering disalah artikan olehnya, hingga tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman.
Hanum, wanita berusia 38 tahun itu memang sudah punya rumah sendiri. Awalnya dia hanya ibu dua orang anak yang kesehariannya disibukkan dengan pekerjaan rumah. Namun, setelah hadirnya Maira, hampir semua pekerjaan di rumah Maira yang mengerjakan. Tugasnya hanya bersantai saja, tapi tetap saja Maira selalu salah di matanya.
Hanum memang kasihan pada nasib Maira setelah ditinggal pergi oleh Bu Nur, hingga tanpa banyak pikir dirinya langsung menawarkan Maira dan Haidar untuk tinggal di rumahnya. Namun, setelah hari-hari berlalu, makin dirasa olehnya pengeluaran menjadi kian banyak setelah hadirnya mereka. Dia kesal, karena hingga kini Maira tidak juga mendapatkan pekerjaan. Dan dia kesal, karena suaminya begitu baik pada Maira. Intinya, dia semakin tidak suka Maira dan anak itu tinggal di sini, tapi dia juga tidak tega jika harus mengusir mereka.
Haidar sendiri dua minggu lalu sudah masuk sekolah dasar, dia sudah pandai membaca juga menghitung, karena sejak usianya kurang dari 5 tahun sudah didaftarkan ke PAUD oleh Bu Nur, di Bengkulu dulu. Dan kini, anak itu terlihat begitu bangga dan bahagia karena sudah mengenakan seragam putih merah.
Sementara Humaira, tidak ada yang banyak berubah dari perempuan berusia 22 tahun itu. Ketika perempuan seusianya sedang sibuk-sibuknya mencari pekerjaan, atau masih bergelut dengan pendidikan, dia sudah menjadi seorang ibu. Faktanya, memang Maira lah ibu termuda yang tiap pagi mengantarkan anaknya sekolah. Bahkan di awal-awal saja, orang-orang sering mengira jika Maira adalah kakak Haidar, dan mereka tidak percaya kalau Haidar adalah anak Maira. Sebab, wajah Maira memang masih terlalu imut dan muda untuk memiliki anak berusia 6 tahun.
Kadang Maira agak heran dan bertanya-tanya, kenapa sih wajahnya itu masih saja seperti remaja? Padahal Maira sudah 22 tahun, pakaian yang dia gunakan sehari-hari pun hampir sama seperti ibu-ibu pada umumnya, gamis. Namun, kenapa mereka tetap saja mengganggap jika Maira ini masih muda? Sungguh, Maira lebih senang dipanggil ibu daripada Mbak, apalagi Dek.
Jam di pergelangan tangan sudah hampir menunjukkan pukul 10 siang, sebentar lagi Haidar pulang. Maira seperti biasa, selalu stay di depan gerbang sekolah menunggu anaknya.
Perempuan itu berdiri tidak jauh dari beberapa ibu yang menunggu anak mereka juga. Ibu-ibu itu sudah hafal dengan wajah Maira, tidak jarang juga jika berpapasan di jalan mereka sering saling menyapa. Namun, Maira tidak begitu akrab dengan mereka, karena Maira merasa tidak pernah cocok bergaul dengan ibu-ibu. Entahlah, Maira sendiri heran pada dirinya yang selalu merasa tidak pernah cocok berteman dengan siapapun. Jika berteman dengan perempuan seusianya, dia tidak nyambung. Dan jika berteman dengan perempuan yang lebih tua darinya, dia juga tidak nyambung. Pergaulannya yang terbatas, membuatnya hingga kini hanya punya satu saja sahabat setia; Binar. Tidak lain adalah sahabatnya sejak masih SMA di Jakarta dulu.
"Maira, suami kamu kerja di mana?"
Maira menoleh dengan wajah tegang kala mendengar pertanyaan spontan dari ibu berkerudung segi empat yang berdiri di sampingnya itu. Sebenarnya ini bukan kali pertama dia ditanya begitu oleh orang-orang yang tidak terlalu mengenalnya, tapi tetap saja Maira selalu merasa waswas. Kalau dia tidak menjawab, nanti dikata sombong. Kalau dia berbohong, itu hal yang dosa.
"Iya, Ibu juga penasaran. Kok, kita gak pernah lihat Haidar dijemput ayahnya. Apa dia kerja di luar kota dan jarang pulang?"
"Atau, di luar negeri, TKI?" ujar ibu yang lain.
Seperti orang bisu, Maira hanya mematung sejak tadi.
"Kamu menikah umur berapa? Wajahmu masih seperti anak SMA, jujur saya belum percaya kalo Haidar anak kamu."
"Jangan-jangan, kamu hamil di luar nikah ya?"
"Mama!"
Maira bersyukur dan bisa bernapas lega kala Haidar bersama anak-anak seusianya berlarian keluar gerbang sekolah. Saat anak itu sudah memeluknya, buru-buru Maira meminta diri pada ibu-ibu itu.
"Mama kenapa? Kok mukanya pucat?" tanya Haidar sambil mendongakkan kepalanya menatap wajah sang ibu yang terlihat memucat.
Maira segera menggeleng disertai senyuman lembut, tangan kanannya begitu erat memegang tangan Haidar. Dia berjalan dengan langkah cepat, membuat Haidar semakin kebingungan.
"Mama."
"Iya, Nak?"
"Capek," keluh Haidar lalu mencebikkan bibirnya, karena sejak tadi ibunya terus menarik tangannya agar berjalan cepat-cepat. Sudahlah dari kelas ke depan sekolah dia terus berlari, kakinya pegal.
Maira akhirnya menghentikan langkahnya dengan perasaan bersalah. Dia sedikit membungkukkan badannya, lalu mengusap peluh yang membasahi dahi Haidar dengan penuh kasih sayang.
"Maaf, Sayang. Sebentar lagi sampe rumah kok, sabar ya?"
Haidar malah menggeleng, kepala ditundukkan dalam. Dia tidak betah berada lama-lama di dalam rumah, tapi dia juga tidak betah di sekolah. Di rumah, dia selalu diganggu kedua anak Hanum. Di sekolah, dia selalu diejek teman-teman karena tidak punya ayah. Huh, dia sebal tinggal di sini.
"Aku gak mau pulang."
"Terus kamu maunya ke mana?"
Ditanya begitu, bola mata Haidar langsung berbinar.
"Bertemu Papa!" seru Haidar antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...