38. Satu Langkah

2.2K 551 179
                                    

Haidar bahagia, bisa kembali naik kereta bersama Abbas. Sepanjang perjalanan anak itu tidak ada lelahnya berceloteh dengan Abbas, sampai-sampai dia lupa kalau saat akan berangkat ke stasiun pagi tadi, dirinya masih merasa sedih karena harus meninggalkan Anfal.

Setelah tiba di Bandung, Abbas langsung mengajak Maira dan Haidar naik angkutan umum. Katanya, rumah Abbas tidak begitu jauh dari stasiun, sekitar 20 menitan lagi mereka akan sampai.

"Senyum terus, gak takut kering tuh gigi?" tanya Maira heran, karena sejak tadi Abbas terus tersenyum.

"Bahagia gak bisa disembunyikan, Mai," ujar Abbas, begitu jujur.

Maira hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh. Dia pandangi jalanan Bandung yang tenang. Langit biru cerah dihiasi gumpalan awan putih, kebun teh membentang luas di kiri-kanan, serta udara yang sejuk, membuat ingatannya kembali melayang pada masa lalu. Masa-masa dia tinggal bersama Bu Nur, pergi-pulang sekolah dengan perjalanan yang cukup jauh sampai harus menahan rindu pada Haidar, sungguh Bandung memang memiliki kesan mendalam di hatinya.

Dia rindu pada sekolahannya yang meski hanya beberapa bulan belajar di sana, dia rindu pada ruko meski sering mendengar gunjingan para pembeli, dan yang paling utama dia rindu sekali pada bekas rumah Bu Nur. Apakah semua itu masih sama? Mungkin jika Maira kembali berkunjung ke sana, rasa rindunya pada Bu Nur bisa sedikit terobati.

"Abbas," panggil Maira.

"Hm." Abbas hanya bergumam, sementara tangannya sedang sibuk saling bertaut dengan tangan mungil Haidar. Begitu dekatnya Haidar dengan Abbas, sampai-sampai kursi masih kosong pun anak itu tetap ingin duduk dalam pangkuan Abbas. Dan hal itu, membuat penumpang lain jadi mengira kalau mereka adalah keluarga kecil yang begitu romantis.

"Besok, aku mau mengunjungi rumah dan ruko bekas Bu Nur."

"Ha? Memangnya Nenek pernah tinggal di sini, Ma?" tanya Haidar, heran.

"Iya, Sayang, waktu kamu masih bayi."

Haidar mengangguk, dalam diamnya anak itu bertanya-tanya, kalau waktu bayi dia pernah tinggal di kota ini, apakah mungkin ayahnya juga ada di sini?

"Okay, aku antar ya," ujar Abbas.

"Gak perlu, aku sama Haidar aja."

"Memangnya kamu masih inget jalannya?"

Maira tidak yakin, karena sudah lama sekali dia tidak pernah ke sini.

"Ya udah, kamu juga ikut deh," katanya kemudian, daripada dia dan Haidar nyasar, lebih baik jika ditemani Abbas.

×××

Begitu menginjakkan kakinya di halaman rumah Abbas, Maira dibuat tertegun karena arsitektur yang terlihat berbeda dengan rumah lainnya.

Rumah itu terlihat klasik seperti rumah-rumah pada masa Kolonial Belanda, dindingnya bercat putih dan terdapat banyak jendela. Di halaman depan ada berbagai tumbuhan bunga yang begitu cantik dan segar, bahkan lebih banyak jenisnya daripada di rumah Binar, ditambah dengan rumput hijau, menjadikan suasana terasa teduh. Sepertinya orang yang dulu menyewa rumah ini suka menanam bunga. Meski sederhana, entah kenapa sejak pertama Maira memandangnya, langsung muncul perasaan bahwa rumah ini nyaman untuk disinggahi.

Abbas membuka pintu utama, lalu mempersilakan Maira dan Haidar masuk. Di dalamnya, tidak terdapat banyak barang-barang, bahkan tidak Maira temukan satupun bingkai yang menghiasi dinding. Namun, meski begitu semua terlihat rapi dan bersih.

"Bas, bukannya rumah ini udah beberapa minggu kosong ya, kok masih bersih banget sih?"

"Karena aku sering suruh Arqam atau Fajar ke sini, buat bersihin."

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang