40. Pilihan

2.2K 556 180
                                        

Pagi-pagi sekali Abbas dan Fajar datang menemui Maira, keduanya mengenakan kemeja muslim lengan pendek serta kain sarung, baru selesai mengerjakan salat subuh berjamaah di masjid.

"Mai, mau ikut aku ke kebun teh?" tanya Abbas, berdiri di ambang pintu.

Fajar di sampingnya memandang Maira dengan alis naik-turun, seolah mengisyaratkan agar Maira menerima ajakan sahabatnya.

"Haidar belum bangun."

"Itu bukan masalah, Mai. Kamu pergi aja sama Abbas, biar aku yang jaga Haidar. Nanti, kalau dia mau nyusul, bisa aku antar kok," ujar Fajar cepat, dan terdengar begitu semangat.

"Iya, Mai. Kemarin waktu kita ke pasar aja Haidar anteng main sama Fajar, jadi gak usah khawatir ya?"

Maira tampak berpikir sejenak. Dia ingin sekali melihat sunrise di perkebunan teh dengan udara yang begitu segar, tapi dia juga merasa berat kalau harus meninggalkan Haidar.

"Besok kalian balik lagi loh ke Jakarta, percuma dong Mai kalau liburan cuma di rumah Abbas aja." Rupanya Fajar belum menyerah membantu misi sahabatnya itu.

"Iya deh, tapi jangan lama-lama ya?"

Abbas tersenyum, lalu mengangguk.

"Iya, Mai."

Maira kemudian pamit sebentar untuk mengambil jaket karena udara yang teramat dingin. Setelah itu, dia akhirnya pergi bersama Abbas, dan berkali-kali menitipkan Haidar pada Fajar.

Berjalan kaki melewati pemukiman penduduk yang masih nampak sepi, begitu tenangnya desa ini. Maira senang berada di sini, hatinya terasa damai. Saking nyamannya, dia semalam sampai tidur begitu nyenyak. Abbas tidak berdusta, setelah membantu Maira masak dan mereka makan bersama, ada Fajar juga di sana. Kemudian bermain bola sebentar dengan Haidar, dan sorenya ikut pulang ke rumah Fajar membawa tasnya, dia bahkan baru kembali menemui Maira pagi ini.

Sewaktu SMA dulu, Abbas mendapati gelar sebagai jajaka di sekolahnya. Gelar itu memang pantas disandang oleh dia, sebab selain memiliki visual yang menarik, dia juga memiliki sikap yang baik. Sebenarnya sejak remaja Abbas sudah disukai banyak gadis, tapi karena didikan sang kakek yang begitu alim, Abbas pun menjadi pribadi yang terarah. Dia tau mana yang baik dan buruk, dia pun bisa membedakan mana kebutuhan atau hanya keinginan belaka. Dibandingkan memiliki cita-cita menjadi orang kaya, Abbas lebih tertarik untuk menjadi orang yang bisa memberikan manfaat kepada sesama dan selalu merasa cukup dalam keadaan apapun. Oleh sebab itu, sebisa mungkin dia selalu belajar menyingkirkan sifat mengeluh dalam hati.

Dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat yang bersih khas pegunungan, alis tebal, memiliki tatapan setenang aliran danau, hidung mancung seimbang, serta bibir tipis kemerahan yang alami, Abbas memang patut masuk dalam kategori lelaki Bandung idaman. Di dekatnya, gadis-gadis akan merasa deg-degan apalagi kalau diberi senyuman, tapi kenapa hal itu tidak berlaku untuk Maira? Ataukah, belum?

Hanya berjalan kaki beberapa menit, keduanya pun sampai di perkebunan teh yang masih berselimut kabut tebal. Maira berusaha mengurangi hawa dingin dengan mengusap-usap tangannya, dan dia begitu keheranan melihat Abbas yang hanya mengenakan kemeja pendek, tapi seperti tidak merasa kedinginan sama sekali. Apakah mungkin, karena dia sudah terbiasa? Tapi bukankah dia sudah lama tidak mengunjungi kota ini?

"Kamu gak dingin, Bas?" tanya Maira, terus berjalan di belakang Abbas, mengikuti langkah kaki lelaki itu menyusuri jalanan kecil di tengah kebun teh.

"Enggak."

"Kok bisa?"

"Karena aku selalu ngerasa hangat tiap didekat kamu," ujar Abbas, keluar lelucon garing nya.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang