Selain merasa sangat jahat karena telah membuat Anfal terluka, Maira pun merasa kecewa mendengar kenyataan kalau Abbas adalah sepupu Anfal. Sungguh Maira merasa tidak habis pikir, bagaimana bisa dia baru mengetahui hal ini sekarang? Jika memang benar, kenapa Abbas tega berbohong padanya? Padahal selama ini dia sangat mempercayai Abbas.
Hal yang tidak Maira harapkan malah terjadi. Di saat Maira tidak mau bertemu Abbas, lelaki itu malam ini justru malah datang ke indekosnya. Maira tidak mungkin mengusirnya begitu saja, sebab walau bagaimana kecewanya pun, Maira masih harus mendengar penjelasan lelaki itu.
Maira duduk di samping Abbas dengan jarak yang cukup jauh. Haidar sudah tidur sejak setengah jam lalu, jadi Maira tidak perlu merasa waswas untuk meminta penjelasan pada Abbas. Sejak tadi perempuan itu tidak ada memandang Abbas, pandangannya dialihkan ke depan, melihat orang-orang yang sesekali berlalu lalang di depan kost-an nya.
"Aku udah tau semuanya, kenapa kamu harus bohong sama aku?" tanya Maira.
"Tau apa, Mai?" Abbas malah balik bertanya, sebab tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi hari ini.
"Kamu sepupu Anfal," jawab Maira, to the poin.
Mendengar jawaban Maira, seketika itu juga mimik wajah Abbas langsung berubah menjadi tegang. Darimana Maira mengetahui kebenaran ini? Siapakah Abbas menerima kenyataan kalau Maira akan kecewa sekali padanya?
"Kenapa kamu gak pernah jujur dari awal?"
Abbas tidak bisa berkata-kata, perasaannya amat gelisah saat ini. Dia takut sekali jika Maira akan membencinya.
"Apalagi rahasia yang kamu sembunyikan dari aku?"
"Mai—"
"Sejak awal kita ketemu, aku sudah berpikir bahwa kamu adalah lelaki yang sangat baik, sampai-sampai aku ngerasa sungkan untuk berteman sama kamu, tapi apa? Kamu bilang kamu udah gak punya siapa-siapa lagi, apa kamu akan memberi alasan kalau Anfal yang berbohong?"
Abbas menggeleng lemah, sudah saatnya untuk jujur, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Dia harus ikhlas, jika ternyata Maira akan kecewa padanya, lalu memilih Anfal untuk menjadi pasangan hidupnya.
"Enggak. Kalau kamu tau kebenaran ini dari Anfal, maka itu memang iya, dia sepupu aku. Aku sebenarnya gak mau merahasiakan hal ini sama kamu, cuma aku tau kalau kamu masih trauma dan kecewa sama Anfal, jadi aku gak siap Mai kalau kamu juga akan menjauhi aku setelah tau kebenaran ini."
"Kamu ya kamu! Anfal ya Anfal! Mau kamu sepupu dia, saudara dia, atau siapanya dia, kalian tetap dua orang yang berbeda, tidak akan bisa sama."
Jelas Maira merasa tidak habis pikir pada Abbas, kenapa dia bisa berpikir begitu? Dia dan Anfal tentu saja dua orang yang berbeda, mana mungkin Maira bisa ikut kecewa padanya hanya karena dia sepupu Anfal?
"Harusnya kamu jujur dari awal, Bas."
"Maaf, Mai."
Tidak tahu lagi harus bicara apa untuk menyakinkan Maira jika Abbas benar-benar menyesal, selain mengucapkan kata maaf.
"Tolong jangan temuin aku dulu untuk saat ini."
Abbas melebarkan bola matanya mendengar ucapan final dari Maira.
"Mai ... jangan membenci aku."
"Aku cuma kecewa sama kamu, dan tolong ... aku butuh waktu untuk menerima semua kenyataan ini."
Tidak ingin membuat keadaan kian rumit dengan menjadi sama-sama keras kepala, akhirnya Abbas mengalah dengan bangkit dari duduknya untuk segera pergi dari sana, meski batinnya berteriak agar dia tetap di sana sampai Maira memaafkannya.
"Aku sadar kalau aku salah, dan aku paham perasaan kamu saat ini. Karena itu, aku akan berusaha ikhlas Mai jika bukan aku lelaki yang kamu cintai."
Maira memejamkan matanya sejenak, air bening mengalir dari kedua sudut matanya, dia menyekanya cepat. Abbas meninggalkan area indekosnya, dan Maira masih mematung di tempat sambil memandang punggung lelaki itu yang kian jauh dengan pikiran berkecamuk.
...
Tatapan kosong yang lurus pada suasana remang malam dari atas balkon. Tidak peduli dinginnya malam yang menusuk kulit putihnya, tidak peduli juga dengan sosok gadis yang sejak tadi duduk di sampingnya, sebab yang saat ini memenuhi pikirannya hanya kata kenapa, kenapa, dan kenapa.
Anfal sudah berusaha berubah menjadi manusia yang lebih baik, tapi kenapa Maira tidak pernah menghargai perubahannya itu? Apa sedalam itu luka yang Anfal torehkan pada hati Maira? Sesakit itu kah Maira atas perbuatannya sampai-sampai tidak mau bahkan untuk berusaha sedikit saja membuka hatinya?
Anfal yakin sekali, jika ketika remaja dulu Maira benar-benar mencintainya. Jika tidak, mana mungkin Maira mau menerima cintanya sementara sang ayah melarang untuk berpacaran? Maira bahkan rela pulang terlambat dan berbohong pada sang ayah hanya karena menuruti keinginannya untuk jalan-jalan sepulang sekolah, padahal Maira sebelumnya adalah gadis yang begitu baik dan tidak pernah berbohong pada ayahnya. Bahkan, Maira rela melakukan hal yang begitu nekad degan pergi diam-diam malam itu hanya karena menuruti keinginan Anfal. Dulu, Maira rela melakukan apapun untuk Anfal, hal itu lah yang membuat Anfal selalu yakin jika perasaan Maira tidak pernah berubah padanya.
"Anfal, jangan begini, berhenti buat Tante Aisha sedih. Perempuan bukan hanya Maira, lelaki sebaik kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari dia," kata Kamila, berusaha menyakinkan Anfal.
Kamila datang ke sini sebab dihubungi oleh Bu Aisha. Bukan maksud apa-apa, Bu Aisha hanya tidak mau melihat Anfal terus sedih karena kenyataan pahit ini.
Memang banyak perempuan yang jauh lebih baik dari Maira, tapi hati Anfal sejak dulu hanya untuk Maira, tidak bisa dialihkan pada perempuan lain. Bukan hal mudah baginya untuk membuka hati pada perempuan lain.
"Kamu sadar gak sih, sikap kamu saat ini begitu kekanakan. Baiklah, kamu mungkin sakit hati mendengar kenyataan kalau Maira tidak lagi mencintai kamu, tapi apa harus kamu bertingkah seolah menjadi manusia paling tidak berdaya dan tersakiti seperti ini?"
Bu Aisha telah menceritakan semuanya kepada Kamila, dan jujur saja Kamila merasa senang mendengarnya, karena jika Maira tidak mau lagi menerima Anfal, itu berarti Kamila memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan hati Anfal. Namun, Kamila juga tidak bisa jika melihat Anfal terpuruk seperti ini, dia pun merasa sedih. Apakah sebesar itu cinta Anfal kepada Maira, sampai-sampai dia tidak bisa melihat ketulusan cinta Kamila untuknya? Tidak bisakah Anfal belajar untuk menghargai perasaan Kamila?
"Kenapa kamu gak mau belajar ikhlasin Maira dan mencoba buka hati buat aku, Fal?"
Anfal memutar bola matanya malas, sangat muak dengan pertanyaan itu. Dia pun segera pergi dari sana, meninggalkan Kamila seorang diri. Tentu saja Kamila tidak tinggal diam, gadis itu segera mengejar langkah Anfal.
"Anfal tunggu!" Kamila melangkah cepat menuruni anak tangga, berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Anfal.
Malah, Anfal terus melangkah tanpa menghiraukannya sama sekali. Saat tiba di bawah, Kamila dengan cepat berdiri di depan Anfal, menahan langkah lelaki itu. Dipandang lekat mata indah Anfal penuh pengharapan.
"Jangan siksa diri kamu sendiri seperti ini, kalau kamu belum bisa belajar buka hati buat aku, seenggaknya belajarlah ikhlasin Maira, mungkin kalian emang gak berjodoh."
Anfal menarik satu sudut bibirnya. "Sebelum bicara, harusnya koreksi diri lo sendiri dulu, karena kalimat yang lo bilang barusan, gue rasa lebih cocok buat lo," balasnya, dingin.
Kalaupun Anfal harus membuka hati pada perempuan lain, tentu saja itu bukan Kamila, sebab sejak awal pertemuan saja dia tidak pernah tertarik pada perempuan itu. Perempuan yang selalu berpenampilan seksi, merasa bangga dilirik penuh minat para lelaki, bukan tipe Anfal sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Dragoste(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...