30. Seorang Sahabat

2.8K 713 102
                                    

Ini part-nya agak panjang, semoga tidak muak😉

...

Tidak terasa hampir setahun sudah Maira tinggal di rumah Binar, dan sampai detik ini semua berjalan apa adanya.

Setelah kembali mencoba mencari pekerjaan, akhirnya beberapa bulan lalu Maira berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan sederhana yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Binar. Sebenarnya dia pernah melamar kerja di sana saat awal-awal tinggal di rumah Binar, tapi pemilik rumah makan itu tidak bisa menerimanya karena pegawai di sana sudah cukup. Namun, saat Maira kembali ke sana beberapa bulan setelahnya, hanya berniat untuk makan, tiba-tiba ibu pemilik rumah makan itu menyapa seolah masih ingat wajahnya. Dengan hangat dia katakan pada Maira bahwa satu pekerjanya resign karena menikah, dan menawarkan apakah Maira masih berminat kerja di tempatnya.

"Sudah lama Ibu tunggu kamu datang lagi, percaya atau tidak, Ibu sampai tidak mau mencari pekerja lain karena nunggu kamu. Senang sekali kamu kembali ke sini. Jadi, bagiamana? Kamu masih berminat tidak untuk bekerja di rumah makan Ibu?"

Pertanyaan pemilik rumah makan kala itu, tentu saja dijawab Maira dengan anggukan antusias. Dia teramat bahagia, saking bahagianya sampai memekik kegirangan hingga menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.

Ah, Maira selalu malu rasanya jika mengingat kejadian hari itu, tapi rasa malu itu dapat terbenam oleh rasa bahagianya.

Meski gajinya tidak sebesar UMR Jakarta, tapi Maira amat bersyukur karena akhirnya dia punya pendapatan tiap bulannya. Setiap gajian, dia pasti selalu menyisihkan sebagian untuk Binar, tapi sayang Binar selalu menolak pemberiannya. Binar bilang, lebih baik gaji Maira itu ditabung saja untuk biaya sekolah Haidar.

Atas kebaikan Binar, Maira malah merasa kian tidak nyaman lagi tinggal di sini. Sudah lama dia ingin mencari kostan, tapi dia tahu Binar pasti tidak akan mengizinkannya pergi dari sini. Bukan hanya perkara itu yang membuat Maira tidak nyaman, tapi juga tentang kedekatan Haidar dan Galih. Setiap kali pulang ke rumah, orang pertama yang Galih cari pasti Haidar. Bahkan, dia juga selalu membawakan oleh-oleh untuk Haidar.

Binar bisa saja bilang pada Maira kalau dia senang melihat suaminya dekat dengan Haidar, tapi sebagai seorang perempuan Maira bisa paham perasaannya. Binar dan Galih sangat mengharapkan kehadiran buah hati, tapi sayangnya hingga detik ini Binar belum juga hamil. Maira bisa melihat ada aura tidak rela pada mata Binar saat Galih begitu perhatian pada Haidar, yang notabennya tidak memiliki hubungan apapun dengannya.

Beberapa bulan terakhir ini, Abbas jarang menemui Maira karena sibuk dengan skripsinya, dan perjuangan itu telah membuahkan hasil. Hari ini Abbas akan di wisuda, semalam dia meminta Maira dan Haidar agar datang ke kampusnya. Maira mengusahakan hal itu, sampai-sampai hari ini dia izin tidak masuk kerja dan Haidar harus libur sekolah.

Dengan pakaian yang sudah rapi, sebelum pergi Maira melihat Haidar masih asyik bermain di pekarangan rumah bersama Galih, yang sedang libur sejak dua hari lalu. Kedua orang dengan perbedaan usia jauh itu terlihat sedang asyik bermain bola. Karena tidak punya banyak waktu lagi, Maira pun menghampiri mereka.

"Haidar, kok malah main bola sih? Tuh kan, kemejanya jadi basah karena keringat," ucap Maira.

Haidar segera menghentikan permainannya, lalu tersenyum lebar tanpa dosa pada sang ibu ketika menyadari kemejanya kusut dan tubuhnya berkeringat.

"Biarin lah, Mai, kan bisa ganti baju yang lain," ujar Galih, lalu tersenyum.

"Pake baju yang kemarin dibeliin Papa aja, Ma!"

Maira lelah, karena kendati sudah dilarang, Haidar tetap masih memanggil Galih dengan sebutan 'Papa'. Bukannya Haidar tidak menurut, tapi Galih yang terus memaksanya. Jadilah, Maira hanya bisa pasrah.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang