Berkas-berkas yang harus ditandatangani dibiarkan menumpuk, sama sekali tidak ada niatan untuk menyentuhnya. Bahkan, ballpoint yang ada digenggamannya sejak tadi hanya diketuk-ketuk pada meja.
Sorot matanya yang tajam bagai elang akhir-akhir ini lebih sering terlihat kosong. Baiklah, tampilan luar boleh saja memukau. Namun, tidak ada yang tahu jika di dalam hatinya, lelaki itu berantakan.
Jika sedang sendiri begini, pikirannya sering melayang jauh pada kenangan masa lalu, yang selalu membuat dadanya nyeri. Dan, hanya ada satu cara untuk menyembuhkan sakit itu, tidak lain adalah menatap foto dua orang yang amat disayanginya.
Anfal meraih selembar foto di dompetnya. Foto yang memperlihatkan seorang perempuan berhijab merah tengah asyik bermain pasir dengan anak lelaki berusia 4 tahunan, keduanya terlihat amat bahagia dengan tawa yang begitu tulus.
Itu adalah foto dua tahun lalu, yang Anfal ambil secara diam-diam di Bengkulu pada senja yang indah. Betapa besar harapan Anfal agar pertemuan tidak terduga itu kembali terjadi, meski hampir tidak mungkin sekalipun.
"Hae, pulang yuk, udah mau magrib." ajak Maira pada waktu itu.
Haidar ingin menggeleng untuk menolak, tapi ketika melihat wajah penuh permohonan ibunya, akhirnya anak itu mengangguk juga. Jujur, berat rasanya bagi Haidar untuk meninggalkan Anfal. Haidar sendiri tidak mengerti, kenapa dirinya begitu nyaman bermain dengan lelaki yang dia panggil 'Om' itu. Padahal, mereka baru pertama kali bertemu.
Sebelum pergi, Haidar kembali menatap wajah Anfal sebentar.
"Om, apa kita bisa ketemu lagi?"
"Itu pasti, Jagoan." balas Anfal, dengan senyum lembut, lalu mengusap rambut Haidar.
"Mai, Ibu sama Hae tunggu di depan ya?" kata Bu Nur, yang kini sudah menggenggam tangan mungil Haidar.
Maira nampak keberatan. Dia mau ikut pergi bersama Bu Nur, tapi Bu Nur malah menggeleng. Dengan isyarat dari matanya, Bu Nur seolah meminta agar Maira bicara dengan Anfal.
"Mai, boleh aku tau di mana rumah kamu?"
Maira menoleh pada Anfal, lalu menggeleng.
"Aku berharap, ini pertemuan terakhir aku dan kamu."
Bisa Anfal lihat dengan jelas raut wajah Maira yang masih menyimpan sakit teramat dalam. Tentu saja, Maira masih sangat kecewa pada sikap bajingan nya, Anfal yakin sekali.
"Aku sayang Haidar, Mai."
"Tolong mengerti, gak mudah lupain masa lalu. Haidar baik-baik aja kok, walaupun gak punya ayah."
"Tapi suatu saat nanti dia akan bertanya, kamu harus yakin hal itu. Aku ngerti, kesalahan ku di masa lalu emang fatal banget, tapi apa kamu gak bisa memberi aku kesempatan? Satu kali lagi aja, Mai ...."
Maira menggeleng lemah.
"Maaf, sebaiknya kamu lupakan aku dan Haidar."
Dan sebelum Anfal kembali menyuarakan isi hatinya, Maira sudah berlari menjauh. Perempuan itu amat ketakutan saat Anfal mencoba mengejarnya, terlihat jelas jika rasa trauma itu masih ada.
Anfal mengembuskan napas gusar. Satu pertanyaan kembali muncul tiap dia mengingat masa lalu itu: apakah Maira masih membencinya?
Iya ataupun tidak, tekad Anfal tetap sama, dia tidak akan menyerah untuk terus kembali mencari Maira.
"Maaf." gumamnya lirih, sambil mengusap foto itu, lalu mengecupnya.
~
Saat matahari mulai turun bersama sinarnya yang menyilaukan pandangan, Maira duduk termenung di beranda rumah. Matanya lurus memandang bunga-bunga segar tanaman Binar, tapi pikirannya jauh mengudara pada kenangan-kenangan di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...