24. Resign

3.7K 875 90
                                        

Sudah satu minggu lebih Maira tidak bertemu Abbas, dan pagi ini Abbas datang seperti biasa; bersandar di pagar kayu, mengucapkan salam lalu tersenyum hangat ketika Maira sedang menyiram tanaman.

"Kangen," ucap Abbas.

Maira menatapnya sekilas, memilih tidak peduli dengan kembali sibuk pada kegiatannya. Sebal, akhirnya Abbas masuk dan menghampirinya.

"Mai, kamu gak kangen juga sama aku?"

"Kenapa harus?" tanya dibalas tanya.

"Bukan itu jawaban yang aku mau. Kamu tinggal bilang aja iya, biar aku senang."

"Kalau aku jawab iya, berarti aku bohong."

"Yah, jadi kamu gak kangen sama aku?"

Maira menggeleng.

Abbas tersenyum, dia selalu rindu pada ekspresi datar perempuan itu. Tidak peduli se-kacau apapun masalah hidupnya, dia akan lupa jika sudah bercengkrama dengan Maira. Dan melihat Maira, membuat Abbas kembali mengingat semua hal yang telah terjadi pada Anfal. Abbas sudah tahu kalau Anfal telah menemukan Maira, karena malam setelah kepergian Pak Ilyas, Anfal menjelaskan semuanya kepada keluarga besar baik dari keluarga sang ayah juga ibunya. Tidak, Abbas tidak takut untuk bersaing dengan Anfal, karena dia percaya kalau Maira tidak akan mau kembali pada Anfal. Namun, yang dia takutkan adalah bagaimana jika Maira tahu kalau dia adalah sepupu Anfal? Apakah Maira mau membuka hati atau berteman lagi dengannya?

"Hei, kok malah ngelamun?" tanya Maira, dengan alis bertaut heran.

Karena Abbas tidak kunjung menyahut, dengan iseng Maira mengarahkan selang air di tangannya ke wajah Abbas. Perempuan itu malah tertawa ketika melihat Abbas tersentak kaget.

"Maira!" teriak Abbas tidak terima, karena wajah dan baju bagian atasnya basah.

"Maaf, abis kamu ngelamun terus dari tadi," ungkap Maira.

Abbas mencebikkan bibirnya, lalu merebut selang itu, dan melancarkan aksi pembalasan dendam dengan mengarahkan selang air itu pada Maira. Dengan cepat Maira berlari, yang tentu saja dikejar oleh Abbas. Aksi saling kejar-kejaran sambil tertawa itu terus berlanjut sampai Maira mematikan keran air karena bajunya sudah basah kuyup.

"Ish, kamu curang! Aku kan cuma siram wajah kamu, kenapa kamu siram baju aku?" tanya Maira, tidak terima.

Dengan tampang tanpa berdosa nya, Abbas masih terkekeh. Dia benar-benar bahagia melihat tawa Maira sebelumnya. Demi Tuhan, Maira cantik sekali jika banyak tersenyum dan tertawa seperti ini.

"Cuma wajah? Baju aku juga basah loh, padahal ini seragam satu-satunya."

"Hah? Jadi tiap hari kamu pake seragam itu?"

"Ya enggaklah, aku ngajar dua hari sekali, jadi langsung dicuci setelah kerja."

Maira mengangguk, dia pikir Abbas se-jorok itu. Ya, kenapa dia tidak sadar ya jika selama ini Abbas tidak mengajar setiap hari? Dan setiap pagi kalau datang ke sini pun, tidak selalu lelaki itu memakai seragam kerja.

"Mai, aku mau tanya, boleh?"

"Boleh."

"Kamu nyaman kerja di Koala kafe?"

Kalau boleh jujur, sampai detik ini Maira tidak nyaman bekerja di sana. Karena selain sikap atasannya yang terkesan lebih dekat dengannya, para rekan kerjanya yang lain pun makin memperlihatkan sisi tidak suka pada Maira. Terbukti, yang hingga hari ini, Maira tidak bisa berteman baik dengan satu pun karyawan di sana.

"Mai, jawab," desak Abbas.

"Masih belum nyaman, tapi aku butuh kerjaan ini, jadi gak ada masalah kok." jawab Maira, lalu tersenyum.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang