20. Siapkah?

3.9K 961 125
                                    

Mondar-mandir Maira berjalan dengan raut gelisah. Kenapa Anfal tidak datang-datang? Dia bawa ke mana Haidar? Dia sudah janji akan kembali pukul 4 sore, tapi mana janjinya? Sudah setengah jam lebih Maira menunggu di depan kafe, tapi dia tidak kunjung kembali.

"Dia memang tidak pernah bisa dipercaya," gumam Maira, kesal.

Rasanya ingin menangis karena sudah membiarkan Haidar dibawa Anfal. Menyesal sungguh karena Maira mempercayai lelaki itu. Hanya untuk hal sekecil ini saja dia tidak bisa menepati, bagaimana yang lainnya? Haruskah Maira masih memberikan kepercayaan kepada lelaki itu lagi?

"Hai, Mai, kok belum pulang?"

Maira tersentak, segera berbalik arah lalu tersenyum pada Kara, yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya. Maira menggeleng sebagai jawaban.

"Lagi nunggu jemputan?"

"Iya."

"Eum, saya juga mau keluar, mau sekalian saya antar, gimana?"

"Oh, enggak usah, Pak. Enggak perlu repot-repot," tolak Maira halus.

"Enggak repot kok, yuk, daripada nunggu lama," ujar Kara, nadanya mulai terdengar agak memaksa.

"Mama!" teriak Haidar.

Maira menoleh, lalu tersenyum dan segera memeluk anaknya.

Di belakangnya, kedua mata tajam Anfal menatap Kara dengan pandangan tidak suka. Jelas saja dia tidak suka jika ada lelaki manapun yang mendekati Maira, sebab Maira hanya berhak untuk dirinya, bukan untuk lelaki lain.

Kara membalas tatapan Anfal sama tajamnya, keduanya seperti rival yang siap memulai peperangan. Maira sama sekali tidak menghiraukan hal itu, kini dia sudah melangkah membawa Haidar pergi dari sana.

Menyadari kepergian Maira, dengan cepat Anfal mengejarnya.

"Mai, maafin aku," ucap Anfal bersungguh-sungguh, terus mengejar langkah cepat Maira.

Maira diam, langkahnya semakin dipercepat.

"Mama, jangan marah sama Paman Anfal," kata Haidar, yang tangannya terus digenggam sang ibu begitu erat.

Maira membuang napas berat, lalu menghentikan langkahnya.

"Lebih baik kamu pulang, makasih udah anterin Haidar."

"Aku antar kalian, ya?"

"Enggak usah."

"Maira ...."

"Aku bilang gak usah, gak usah." tekan Maira, dingin.

Dia kembali melanjutkan langkahnya, lalu menghentikan sebuah angkot yang lewat, dan mengajak Haidar untuk masuk ke sana.

Anfal membuang napas gusar, mengacak rambutnya frustrasi. Lagi-lagi dia mengecewakan Maira, sekarang cara apa lagi yang harus dia lakukan untuk mendapatkan maaf dari Maira?

~

Sadar jika Maira masih sangat marah padanya, jadi Anfal memilih kembali pulang ke rumah. Dia tidak mau membuat Maira semakin kacau, jadi dia akan menemui Maira besok saja, dan semoga besok perasaan Maira sudah lebih baik.

"Anfal," panggil Bu Aisha.

Anfal melirik ibunya, terlihat di samping sang ibu, duduk seorang perempuan yang akhir-akhir ini selalu mengganggu hidupnya. Adalah Kamila, perempuan yang tidak Anfal ketahui kenapa makin ke sini makin sering datang ke rumahnya, dan makin akrab dengan sang ibu. Sungguh, Anfal tidak menyukai hal itu.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang