Melihat Anfal memeluk Haidar se-erat itu, dan menumpahkan tangisnya begitu hebat, membuat Maira sungkan untuk memisahkan mereka. Keduanya terlihat saling menyayangi, Maira bisa merasakan hal itu. Apakah sanggup Maira memisahkan mereka?
Maira akhirnya mendekat, lalu menekuk lututnya di samping Anfal.
"Aku turut berdukacita," ucapnya sungguh-sungguh.
Menyadari kehadiran Maira, Anfal akhirnya meleraikan pelukannya, lalu memandang wajah perempuan itu, dengan Haidar yang tangannya masih digenggam.
"Makasih, Mai." ujarnya, lalu tersenyum.
Maira mengernyit ngeri saat melihat jelas sudut bibir Anfal yang robek, pipi kebiruan, serta beberapa luka lainnya. Apa yang terjadi sebenarnya? Haruskah Maira bertanya?
"Maira, aku sudah menjelaskan semuanya." ucap Anfal, seolah tahu apa yang saat ini memenuhi pikiran Maira.
"Maksud kamu?"
"Orang tua ku sudah tahu hal ini—"
Belum sempat Anfal melanjutkan kata-katanya, dengan cepat Maira menatapnya tajam, berharap dengan tatapannya itu Anfal bisa mengerti kalau dia tidak mau Haidar mendengar hal ini.
"Eum, Sayang, kita pulang ya?" ajak Maira, pada Haidar.
Haidar memandang wajah Anfal. Dia tidak mau meninggalkan Anfal, dia masih ingin berada di dekat Anfal. Memberikan pelukan hangat, agar Anfal tidak bersedih lagi.
"Mai, aku mau membawa kalian ke rumah."
"Untuk apa?"
"Mama mau bertemu kamu."
Maira menggeleng. Dia sudah ikhlas, dia tidak mau memperpanjang masalah di masa lalu. Dia tidak ingin membicarakan semua kenangan buruk itu lagi, baginya semua sudah selesai. Jadi, untuk apa orang tua Anfal ingin bertemu dengannya? Bukankah sudah dia katakan berkali-kali, kalau dia tidak mau menikah dengan Anfal?
"Semuanya sudah selesai, jadi untuk apa Mama kamu ingin bertemu aku?"
"Enggak, Mai. Semuanya belum selesai, perjalanan kita masih panjang, bahkan belum dimulai."
Maira membuang muka, lalu bangkit berdiri, segera dia tarik tubuh anaknya.
"Anfal tolong, aku benci mendengar hal itu."
"Beri aku kesempatan, Mai ... satu kali lagi, aku mohon ...."
"Maaf, aku harus ke kafe sekarang."
Maira melangkah pergi meninggalkan tempat itu, tapi dengan sekuat daya Anfal mencoba menahan langkahnya. Bagaimana pun sulitnya, Anfal harus bisa menyakinkan Maira jika dia benar-benar mencintainya.
"Maira, aku ingin Haidar memanggil ku 'Papa'!"
Haidar yang sejak tadi dibuat melongo karena tidak mengerti dengan apa yang dua orang dewasa itu bicarakan, semakin melongo saat mendengar teriakkan getir Anfal.
"Aku ingin merawat dia, melihatnya setiap saat, memeluknya sebelum tidur, aku ingin hidup bersama kalian ...." Suara Anfal kian hilang di ujung kalimatnya.
Maira memejamkan matanya, menangis. Kenapa dia mengatakan hal itu di depan Haidar? Bagaimana jika Haidar berharap lebih? Sungguh, Maira belum siap menerima cinta lelaki manapun untuk saat ini, apalagi lelaki yang pernah dia cintai di masa lalu. Boleh saja Maira percaya jika Anfal telah berubah, tapi Maira tetap tidak bisa melupakan semua perlakuan buruk lelaki itu di masa lalu. Silahkan bilang Maira egois, tapi sungguh hatinya masih sangat terluka.
"Ma, kenapa Mama nangis?"
"Kita pergi sekarang, Sayang," pinta Maira, kembali melanjutkan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Lãng mạn(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...