32. Sebuah Kabar

2.2K 681 84
                                    

Setelah kembali berjalan mencari kostan, akhirnya Maira menemukan kostan dengan harga sewa yang terjangkau dan tempatnya cukup bersih, meski kecil. Haidar langsung tertidur pulas saat masuk ke dalam kost, untung saja di dalamnya sudah tersedia kasur busa, jadi badannya tidak akan terlalu sakit-sakit.

Saat Haidar tertidur, Maira sibuk merapikan pakaian dan memasukkan ke dalam lemari plastik yang juga tersedia di sana. Belum dalam satu hari di sini, Maira sudah merasa nyaman, karena selain ibu kostnya ramah, harga murah, di dalam kostan pun sudah ada kasur dan lemari. Jadi, Maira tidak harus membeli lagi.

Dalam kesibukannya, meski sudah mencoba diabaikan, tapi nyatanya dia masih terus kepikiran Abbas. Bagaimana jika Abbas benar menunggunya? Dia pasti akan sangat kecewa karena Maira tidak datang. Bagaimana pun juga, Maira harus tetap meminta maaf padanya besok.

×××

Malam telah berganti pagi, matahari sudah menyongsong hangat dari celah pohon yang ada di depan sekolah. Biasanya, jika Maira dan Haidar datang, kalau ada jadwal mengajar Abbas sudah berdiri di depan gerbang, menyambut para muridnya. Dan hari ini seharusnya jadwal dia mengajar, tapi kenapa dia tidak ada?

"Paman Guru kok gak ada?" tanya Haidar, yang juga sudah hafal jadwal Abbas mengajar. Anak itu mencebikkan bibirnya kecewa.

"Paman Guru di sini," ujar Abbas, dari belakang.

Lelaki itu kemudian tersenyum pada Haidar. Entah kenapa Maira merasa lega setelah kehadirannya.

Haidar tersenyum senang, mencium tangan Abbas seperti biasa. Lalu, datang seorang bocah laki-laki seumuran nya yang juga mencium tangan Abbas, dan mengajak Haidar untuk masuk ke kelas bersama.

"Ma, aku masuk kelas ya?" pamit Haidar pada ibunya.

Maira mengangguk, Haidar pun berlari bersama temannya setelah memeluk sang ibu dan kembali pamit pada Abbas.

Setelah kepergian Haidar, tanpa menyapa atau sekadar melirik, Abbas segera menyusul masuk.

"Abbas!" teriak Maira, mengejarnya.

Tanpa menoleh, Abbas menghentikan langkahnya ketika namanya dipanggil.

"Maafin aku," ucap Maira, yang sudah kembali berdiri di hadapannya.

Melihat Abbas yang masih diam, Maira jadi merasa semakin bersalah.

"Kamu marah banget ya?"

Dalam diamnya, Abbas berusaha keras menahan senyum mendengar pertanyaan Maira. Baiklah, dia memang kesal karena selain Maira tidak datang ke acara wisudanya, perempuan itu juga tidak ada memberi tahu kalau mau pergi dari rumah Binar. Untuk menjawab pertanyaan Maira, mana mungkin sih dia bisa marah pada Maira? Abbas pun heran pada dirinya sendiri, yang selalu tidak bisa marah meski Maira bersikap seperti apapun padanya.

"Bas, maaf," ulang Maira, benar-benar menyesal.

Abbas melipat kedua tangannya di dada, lalu menghela napas berat.

"Selain harus jelasin alasan kenapa kamu kemarin gak dateng, malam ini kamu juga harus mau makan bareng aku, anggap saja sebagai perayaan yang terlambat," kata Abbas.

"Kamu gak akan maafin aku kalau aku nolak?"

Kapan aku pernah marah sama kamu, Mai? Ada-ada aja deh. Batin Abbas, sungguh gemas dengan Maira saat ini.

Masih berusaha bersikap dingin, Abbas pun membalas pertanyaan Maira hanya dengan mengangkat bahu tak acuh, berusaha menyakinkan jika dirinya sedang kesal, padahal tidak sama sekali. Abbas hanya ingin tahu saja, apa kah benar Maira menyesal karena tidak datang ke acara wisudanya kemarin?

"Yaudah, pulang sekolah nanti sambil jemput Haidar, aku akan kasih tau alamat tinggal aku yang baru. Kalau gitu, aku pamit dulu, udah hampir telat soalnya." Maira berkata setelah melihat jam di pergelangan tangannya hampir menunjukkan angka 7, dia harus segera berangkat menuju tempat kerjanya.

Tanpa menunggu balasan dari Abbas, perempuan itu segera berlari dan masuk ke angkot yang masih ngetem. Abbas memperhatikan semua itu, dan dirinya baru benar-benar bisa tersenyum lebar ketika angkot sudah meninggalkan area sekolah.

Mengenal Maira, Abbas bisa menjadi segila dan sebodoh ini, tapi dia sama sekali tidak menyesal. Dia menikmati perasaan ini, dia tidak pernah merasa salah karena telah menjatuhkan hatinya kepada Maira.

×××

"Maira," panggil Bu Aini.

Maira yang tengah sibuk mencuci piring kemudian menoleh pada ibu pemilik rumah makan tempatnya bekerja itu.

"Iya, Bu?"

"Ada yang nyari tuh, udah, ini biar dilanjutkan sama Ibu saja."

Siapa yang mencarinya di waktu kerja begini?

"Enggak usah, Bu. Tinggal dibersihin aja kok," tolak Maira halus, dan tetap melanjutkan pekerjaannya, membasuh piring-piring kotor di wastafel.

"Ya sudah, nanti kalau sudah selesai, langsung ke depan ya?"

"Iya, Bu."

Bu Aini sangat baik, nyaman Maira kerja di sini meski melelahkan. Tidak hanya Bu Aini, pekerja lainnya pun baik, mereka mau menjadikan Maira teman. Itulah sebabnya, biar dikata gaji kecil, Maira tetap bahagia.

Setelah mengelap piring-piring yang telah dicucinya, lalu disimpan ke dalam rak, Maira pun membuka celemek, dan berjalan ke depan.

"Tante Aisha?" gumam Maira, ketika melihat seseorang yang ingin bertemu dengannya adalah Bu Aisha.

Setelah pertemuan malam itu, saat Anfal dan ibunya datang untuk meminta maaf, tidak jarang Bu Aisha datang ke rumah Binar untuk bertemu Haidar. Jadilah, Maira semakin mengenalnya dan tidak heran kalau Bu Aisha datang ke sini, sebab dia memang sudah tahu tempat kerja Maira ini sejak tiga bulan lalu.

"Maira." Belum sempat Maira menyapa, Bu Aisha sudah lebih dulu bangkit dan menghampirinya dengan wajah gelisah.

"Ada apa, Tan?" tanya Maira bingung.

"Anfal, Mai ...."

"Kenapa?"

Bu Aisha menangis, hingga menjadi perhatian para pembeli lain.

"Kecelakaan, dan sekarang keadaannya kritis ...," jawabnya, di sela isak tangisnya.

Maira membeku, antara terkejut dan tidak percaya. Tiga hari lalu Anfal datang menemuinya, dia bilang akan pergi ke Bogor selama beberapa hari untuk urusan pekerjaannya meski Maira tidak bertanya. Dan sebelum dia pulang, dia sempat meminta maaf kepada Maira karena mungkin dia akan lama tidak menemuinya. Maira menggeleng, tidak. Itu bukan permintaan maaf terakhir, kan?

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang