Bagi Maira, salah satu hal tersulit dalam hidupnya selain mencari pekerjaan adalah, menjauh dari Anfal. Berbagai upaya telah Maira lakukan berharap lelaki itu akan lelah dan berhenti menemuinya, tapi lagi-lagi dia selalu punya cara untuk melenyapkan harapan Maira itu.
Maira tidak kuasa, jika sudah melihat wajah bahagia anaknya ketika bersama Anfal. Hingga akhirnya, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa ingin Anfal hari ini.
"Mai, lihat deh Haidar, dia bahagia banget karena bisa main ke sini," ucap Anfal, menggambarkan perasaannya pada Maira, bahwa tidak hanya dia yang bahagia, Haidar pun amat bahagia karena bisa main dengannya.
Sepulang sekolah, tanpa sempat berganti pakaian, Anfal langsung membawa Haidar masuk ke dalam mobil untuk mengajaknya jalan-jalan. Dan betapa kagetnya Haidar karena ibunya juga akan ikut. Mereka pergi ke sebuah taman hiburan, menaiki berbagai wahana, tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.
Selepas naik bianglala, Anfal mengajak mereka membeli es krim. Es krim milik Haidar sudah habis, bahkan Anfal sampai harus membersihkan wajah anak itu saking belepotan nya. Sementara Maira, dia memang menerima es krim yang diberikan Anfal, tapi sejak tadi es krim itu tidak dicicipinya sama sekali. Bahkan sampai es krimnya meleleh, tapi Maira masih menggenggamnya.
Sejenak Anfal lupa bagaimana cara menghentikan senyumnya melihat Haidar yang terus berlari-lari riang, begini kah rasanya bermain bersama orang tersayang? Rasanya Anfal bahagia sekali.
"Mai, es krim kamu udah meleleh."
Maira melihat tangannya, sudah lengket. Dia pun segera mendekati tong sampah lalu membuang es krim itu. Anfal hanya geleng-geleng kepala, lalu memberikan tisu. Maira menerimanya, dan segera membersihkan tangannya.
"Aku baru ingat, kalau sejak dulu kamu emang kurang suka sama es krim. Dulu, setiap kali aku tawarin kamu es krim, kamu pasti bakal bilang, es krim malah bikin tenggorokan aku makin haus." ucap Anfal, menirukan gaya bicara Maira di akhir kalimatnya.
Meski hubungan mereka terbilang sangat singkat, tapi tidak bisa Anfal pungkiri kalau hal-hal yang telah dia lalui bersama Maira semasa pacaran dulu memang sangat indah. Anfal merindukan masa itu, tapi dia juga benci jika harus mengingat kesalahan yang telah diperbuatnya.
Maira tidak merespon, meski sebenarnya dia juga ingat kenangan itu, tapi dia tidak pernah mau mengingatnya lagi. Baik dan buruk kenangan bersama Anfal, bagi Maira semua memang sama: tidak ada artinya lagi.
"Aku mau pulang," ucap Maira.
"Belum juga satu jam kita di sini, masa mau pulang sih?" tanya Anfal, tidak setuju.
Lelaki itu kemudian mensejajarkan langkahnya dengan Haidar yang berjalan di depannya, tubuh Haidar lalu di gendong.
"Nak, kamu masih mau coba wahana lain? Atau, mau pulang?"
Haidar tampak berpikir sejenak. Inginnya masih bermain di sini, tapi dia ingat tugas sekolah yang belum dikerjakan dan ajakan makan bersama Abbas malam nanti.
"Pulang saja, Paman. Soalnya, malam ini Paman Guru Abbas mau ajak aku sama Mama makan bareng, tapi aku harus kerjain PR dulu." jelas Haidar, mengingat ucapan Abbas pagi tadi.
Anfal mengerutkan keningnya heran. Apa sudah sedekat itu hubungan Maira dan Abbas, sampai mereka mau makan bersama segala? Ini tidak boleh dibiarkan. Maira mencintai lelaki lain yang Anfal tidak kenal saja Anfal tidak rela, apalagi jika Maira mencintai sepupunya sendiri, jelas Anfal lebih tidak rela.
"Ya udah, kita pulang sekarang." Anfal akhirnya mengalah, segera mengantarkan Maira dan Haidar pulang.
Setibanya di rumah Binar, Haidar izin masuk setelah mencium tangan Anfal dan mengatakan agar Anfal hati-hati di perjalanan nanti. Baru Maira ingin menyusul masuk, tapi kakinya tidak jadi melangkah saat Anfal memanggilnya.
"Siapa lelaki yang Haidar maksud tadi?" tanya Anfal sedikit dingin, jelas ada pancaran api cemburu dari matanya.
"Gurunya."
"Lelaki yang tadi pagi ngobrol sama kamu di sini, kan? Harus banget ya, guru ngajak murid dan ibu muridnya makan bareng?"
"Kenapa memangnya?"
Anfal mengusap wajahnya frustrasi. Aku cemburu, Mai! Teriaknya dalam hati.
"Aku tau, aku gak berhak bilang ini, tapi aku gak bisa menyangkal, aku cemburu, Mai."
"Itu masalah kamu."
"Mai, kamu ingin pembuktian dari aku, tapi gimana aku bisa membuktikan kalau sikap kamu selalu seperti ini?"
Maira diam. Dia tahu, mungkin sikapnya pada Anfal sudah keterlaluan. Namun sungguh, dia pun tidak mengerti kenapa bisa begini. Dia selalu berusaha untuk berdamai dengan masa lalunya, dan dia juga mau berteman baik dengan Anfal, tapi lagi-lagi dia kesulitan melakukan hal itu. Seolah, setiap kali dia ingin memberi Anfal kesempatan, ada satu suara yang terus berteriak, mengatakan kalau dia tidak boleh dekat lagi dengan lelaki itu.
"Sejak dulu aku tau, kamu sangat sakit hati dan marah sama aku, tapi kenapa, Mai? Kenapa kamu gak pernah mau melampiaskan kemarahan kamu?"
Ingin sekali rasanya melihat Maira marah. Meneriakinya, mencaci makinya, memukulinya, menampar, atau bahkan membunuhnya. Namun, kenapa Maira tidak pernah melakukan semua itu? Rasanya, sikap dingin Maira saat ini jauh lebih sakit dari ribuan tamparan sekalipun. Anfal tidak bisa, jika Maira terus begini.
"Iya, aku memang sakit hati dan marah, tapi apa yang bisa aku perbuat selain diam? Toh, Allah sudah membalasnya."
"Aku mau tanya satu hal sama kamu, dan tolong kamu jawab jujur."
"Apa?"
"Apakah gak ada, sedikit saja rasa cinta yang tersisa di hati kamu buat aku?"
Maira mengembuskan napas, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Ini hanya pertanyaan simple, tapi kenapa dia tidak bisa menjawabnya? Kenapa dia merasa berat begini untuk mengatakan tidak? Mungkinkah memang perasaan itu masih ada? Tidak tidak tidak! Semuanya sudah berakhir, Maira tidak seharusnya memberikan cintanya lagi pada Anfal.
Tenang, Mai, tenang. Kamu gak punya rasa apapun lagi sama dia, kan? Iya, aku gak mau jatuh cinta lagi sama Anfal, aku gak mau!
"Mai?" tanya Anfal, menunggu jawaban Maira.
Maira tidak yakin dengan apa yang batinnya katakan saat ini. Dia malah bertanya, mungkinkah rasa cinta itu masih ada, tapi tertimbun oleh rasa sakit yang terlampau besar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...