29. Perempuan Baik

2.6K 657 73
                                    

Dari jalan hingga tiba di rumah, raut wajah Maira jadi agak beda dari sebelumnya. Dia bahkan tidak ada bicara apapun pada Abbas, dan Abbas malah ikut diam.

Karena malam makin larut, Maira pun meminta Haidar untuk langsung masuk ke kamar dan melanjutkan tidurnya. Dia ingin ikut masuk, tapi bukannya segera mengambil motor dan pergi, Abbas malah berdiri di pilar, tidak mau pergi. Jadilah Maira merasa tidak enak hati kalau masuk begitu saja.

"Kamu cemburu ya?" tanya Abbas, mulai keluar sifat menyebalkannya.

"Enggak."

"Terus kenapa mukanya cuek gitu?"

"Cuma ngerasa kerdil aja kalo jalan sama kamu, sampai teman kamu aja gak nyadar ada aku di sana."

Sophia memang begitu, kalau sudah melihat Abbas dia pasti akan melupakan orang-orang di sekitarnya. Abbas tidak tahu gadis itu kena gangguan apa, yang jelas Abbas sangat tidak menyukai sikapnya.

"Dia memang begitu orangnya, Mai."

"Kelihatannya, dia suka sama kamu."

Abbas tersenyum, tidak tahu kenapa dia malah suka melihat reaksi dingin Maira saat ini.

"Tapi aku sukanya sama kamu."

Maira memutar bola matanya, dengan tangan terlipat di dada.

"Sudah malam, sebaiknya kamu segera pulang. Itu motor teman kamu kan? Cepat kembalikan, takutnya dia mau pake."

"Aku janji mengembalikannya besok, dan dia gak keberatan. Aku masih mau ngobrol sama kamu."

"Ngobrol soal apa lagi?"

Ingin sekali Abbas memberitahukan kepada Maira kalau dia ini sepupu Anfal, dia mengenal Anfal, dan dia yang ketika SMA dulu memberi tahu keberadaan Maira pada Anfal. Namun, Abbas takut Maira tidak mau menerima kenyataan itu, dan malah menjauhinya. Jika dipikir lagi, mau dikatakan atau tidak Maira juga pasti akan tahu, hanya perlu waktu saja. Abbas berharap, semoga apapun yang terjadi Maira tidak pernah mencoba menjauhinya.

"Banyak hal, terutama hati," balas Abbas, akhirnya memilih untuk menguburkan niatnya memberi tahu perihal dia dan Anfal.

"Ish, gak jelas banget sih."

"Mai, aku mau tau, kenapa kamu gak pernah mau belajar membuka hati buat lelaki yang mencintai kamu? Aku tau, bukan cuma aku lelaki yang mencintai kamu. Apa sesakit itu, luka di hati kamu karena masa lalu?"

Maira terdiam, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Terhalang dengan satu meja bundar, Abbas pun ikut duduk pada kursi yang ada di sebelah Maira. Lelaki itu menatap Maira penuh keingintahuan. Setidaknya dia harus tahu, selain tidak ingin bertanggungjawab, apa saja kesalahan Anfal di masa lalu sampai membuat Maira menjadi pribadi tak tersentuh seperti sekarang.

"Aku akan jaga rahasia ini, kalau kamu mau bercerita. Kalaupun gak mau, aku gak akan paksa."

"Abbas, aku pernah mencintai seseorang, sampai menjadi bodoh karena orang itu. Aku mencintai dia dengan tulus, tapi dia hanya berniat untuk merusak ku. Almarhum ayah bilang, aku gak boleh menyimpan rasa benci apalagi dendam kepada siapapun. Aku belajar untuk tidak membenci dia, tapi entah kenapa aku gak pernah bisa lupain semua kenangan itu. Setiap kali liat dia, hati aku selalu sakit." Maira menunduk, tidak tahu darimana dia punya keberanian menceritakan hal ini pada Abbas.

Abbas hanya bisa diam mendengarkan, dia tidak menyangka kalau Maira mau menceritakan ini padanya.

"Aku hamil di usia muda, menghancurkan harapan ayah, mencoreng nama baik keluarga, menjadi cemoohan. Dan lelaki itu, lelaki itu tidak ada ketika aku mengalami semuanya. Dia gak akan tahu dan gak akan peduli seberapa besarnya penderitaan yang aku alami saat itu. Hebatnya, setelah anak ku lahir dia kembali datang, lalu tiba-tiba mengatakan menyesal dan ingin mengajak aku menikah. Aku gak ngerti, kenapa dia bisa bicara seperti itu, padahal dulu dia pernah menginginkan bayi yang ada di dalam kandungan ku untuk mati."

Tuhan maafkan Maira, karena sampai sekarang masih amat sakit hati jika mengingat ucapan Anfal. Karena hal itu lah, dia jadi selalu takut dan berusaha menjaga jarak dengan Anfal. Atas semua yang telah terjadi, Maira harus percaya kalau Anfal telah berubah. Namun sekali lagi, sulit teramat sulit baginya untuk menerima Anfal kembali. Katakanlah Maira masih trauma, karena kesakitan di masa lalu yang dia alami, memang tidak mudah untuk dilalui.

"Mati?!" tanya Abbas, dengan mata terbelalak tidak percaya.

Maira hanya diam. Tidak seharusnya dia mengatakan semua ini. Semuanya sudah berakhir, Abbas tidak memiliki hubungan apapun dengan masalahnya. Dia tidak boleh membicarakan masa lalunya lebih jauh lagi.

Kedua tangan Abbas sudah terkepal kuat, turun naik napasnya mendengar pengakuan Maira. Jadi, selain bersikap bajingan karena tidak mau bertanggung jawab, ternyata Anfal juga sampai menyuruh Maira untuk menggugurkan kandungannya? Itu namanya bukan bajingan lagi, tapi bejat. Pantas Maira jadi begini, dan sampai detik ini tidak mau kembali pada Anfal meski Anfal sudah memohon maaf padanya berkali-kali.

Kesalahan Anfal sudah keterlaluan. Jika Abbas ada di posisi Maira, jangankan untuk menerimanya kembali, rasanya untuk memandangnya saja dia tidak ingin.

"Aku gak nyangka Mai, kamu bisa sekuat ini."

"Karena Haidar, dialah kekuatan yang aku miliki."

Melihat Maira tersenyum sambil mengatakan hal barusan, Abbas menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa Maira punya hati selapang itu memberi izin pada Anfal untuk menemui Haidar bahkan memeluknya? Padahal, dia tentu ingat bahwa lelaki itu pernah menginginkan Haidar lenyap. Tuhan, kenapa orang sebaik Maira harus banyak menerima kesakitan?

"Kamu harus bahagia, Mai."

"Jadi selama ini aku terlihat tidak bahagia ya?"

"Ya, banyak beban yang kamu pikul sendirian. Kamu memang kuat, tapi ada saatnya kamu juga butuh sandaran. Maira, aku ingin menjaga kamu, menjaga Haidar. Aku tidak mau lagi melihat kamu kembali disakiti."

"Apa maksud kamu?"

"Aku ingin menikahi kamu, menjadi suami sekaligus ayah yang baik, tapi jika kamu belum siap, aku gak akan maksa. Aku hanya mengatakan apa yang mengganjal di hati dan pikiran ku."

"Kamu sudah tahu masa lalu aku."

"Memangnya kenapa?"

"Kamu berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik. Aku sudah punya anak, dan rasanya aku tidak sebanding dengan kamu."

"Sayangnya, aku tidak peduli semua itu. Kamu ingat, sejak kita pertama kali bertemu di Bandung dulu, saat itulah aku mulai suka sama kamu. Kamu menjadi pusat perhatian, tapi ajaibnya kamu sama sekali tidak peduli. Bahkan ketika ada orang yang jahat sama kamu, kamu sama sekali tidak membalasnya. Kamu orang yang jujur, apa adanya, dan tulus, itu adalah perhiasan amat langka yang tidak semua perempuan miliki."

"Aku gak sebaik apa yang kamu pikir."

"Dan kamu juga tidak seburuk apa yang kamu pikirkan sendiri. Kamu berharga, dan berhak dicintai, Mai."

Maira menggeleng, lalu bangkit dari duduknya. Dia tidak bisa bicara sejauh ini dengan Abbas, semua ini harus segera dihentikan. Abbas terlalu berlebihan berpikiran tentangnya, dia tidak sebaik itu. Dia bukan perempuan yang suci lagi, dan lelaki sebaik Abbas berhak mendapatkan perempuan yang baik-baik juga. Maira merasa, dirinya tidak masuk dalam kategori perempuan baik-baik itu.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang