6. Indah

5.4K 1.1K 91
                                    

Langit mulai gelap, dan cukup mendung, hingga hanya terlihat beberapa bintang yang bersinar dari balik jendela kereta.

Haidar masih terlelap dalam tidurnya. Dan Maira sejak tadi masih asyik mengobrol dengan Abbas. Malah, semakin ke sini mereka terlihat makin akrab. Tidak jarang Abbas berusaha mencairkan suasana hingga Maira tertawa dibuatnya.

Dulu, Abbas masih ingat sekali awal mula perkenalannya dengan Maira. Maira juteknya bukan main, jangankan tersenyum, membalas sapaannya saja hampir tidak pernah. Namun, entah kenapa Abbas terus saja berusaha mendekatinya, dan begitu tertarik ingin menjadi temannya. Hingga akhirnya, ketika mereka berhasil menjadi teman, Maira malah pergi.

Semula Abbas pikir dia akan bisa melupakan Maira, tapi ternyata tidak semudah itu. Iris cokelat, bulu mata melengkung panjang, pipi kemerahan, hingga aura juteknya memberi kesan tersendiri dari Maira yang membuat Abbas sulit lupa. Maira mengagumkan, itu yang Abbas tahu.

Abbas menarik ritsleting tasnya, lalu mengeluarkan sebuah tisu, air mineral, dan plester.

"Kamu habis berantem sama iblis, penjahat, atau siapa?"

Maira mengerutkan keningnya, dan dia baru teringat jika wajahnya saat ini dipenuhi luka. Astaga, kenapa dia bisa lupa pada luka-luka di wajahnya?

"Nih, bersihin dulu lukanya, baru pake plester." Abbas menyodorkan semua barang di tangannya, dan Maira menerima obat seadanya itu.

"Makasih."

Ketika Maira tengah sibuk mengobati lukannya, tiba-tiba Haidar bergerak, dan matanya mulai terbuka.

Setelah mengucek matanya, anak itu langsung memicing menatap Abbas, dan Abbas membalasnya dengan senyuman manis.

"Hai, siapa nama kamu anak ganteng?" tanya Abbas sambil mengulurkan tangannya pada Haidar.

Dengan nyawa yang belum terkumpul semua, Haidar menerima uluran tangan Abbas, malah dia mencium punggung tangan itu.

"Haidar, tapi kalo terlalu panjang, panggil saja Hae. Paman?"

Atas suara dan tingkah lucu anak itu, Abbas tidak bisa menghentikan senyumnya.

"Ibnu Abbas, tapi kalau terlalu panjang, panggil saja Paman Abbas ganteng."

Haidar mencebikkan bibirnya."Itu lebih panjang, Paman," ucapnya tidak terima.

"Mama, masih jauh ya?"

"Oh, masih. Mungkin baru sampai seminggu lagi." ujar Abbas.

"Apa?!" pekik Haidar tidak percaya. Ya ampun, sekarang saja badannya sudah sangat pegal-pegal, dan dia juga mau mandi, gatal.

Abbas terkekeh, lalu mengacak rambut anak itu.

"Bercanda."

"Tapi gak lucu, Paman. Berarti, tadi Paman bohong."

"Apa?!" Abbas memekik sok terkejut, meniru gaya Haidar sebelumnya.

Haidar kembali memicingkan matanya. Siapa sebenarnya lelaki di depannya ini? Kenapa sok akrab sekali? Ugh, Hae jadi kesal!

Abbas dan Haidar masih saling beradu pandang. Haidar yang menatap heran, dan Abbas yang menatap penuh kehangatan. Sementara Maira, memilih menghiraukan dua orang itu, sibuk memandang keluar jendela. Pemandangan langit kelam dan rerumputan yang bergoyang diterpa angin sepanjang jalan memberi rasa tenang di hatinya.

Haidar melipat kedua tangannya di dada, bukan karena marah, tapi karena merasa lapar. Dia tahu ibunya tidak membeli makanan apapun sebelum masuk kereta, jadi dia tidak mau membuat ibunya merasa bersalah kalau tahu dirinya lapar. Namun sayang, perutnya itu tidak bisa dikompromikan. Meski susah payah dia tahan, tapi kini perutnya malah keroncongan.

Abbas berusaha menahan tawa mendengar suara itu.

"Hae lapar?" tanya Maira.

Kata Mama, bohong dosa. Kalau jujur, nanti Mama sedih. Duh perut, kok kamu nyebelin sih? Kan udah Hae bilang, diem!

Anak itu mendongak menatap wajah ibunya, lalu memamerkan senyum lebarnya yang amat polos.

"Untuk Hae," ucap Abbas sambil menyodorkan sebungkus roti dan susu kotak rasa stroberi pada Haidar.

Haidar malah kembali menatap ibunya, takut ibunya marah kalau dia asal menerima pemberian orang yang baru dikenalnya.

"Ambil, dan ucapkan terima kasih. Paman Abbas teman Mama, dia baik, kok." bisik Maira. Cukup Tuhan, dirinya dan Haidar saja yang mendengar.

Meski bingung sejak kapan ibunya dan lelaki di depannya ini menjadi teman, tapi tangan mungil Haidar tetap mengambil roti dan susu itu.

"Terima kasih, Paman." ucapnya sambil menunduk.

"Wah, gak ikhlas bilang makasih nya."

"Ikhlas, kok."

"Kalo ikhlas, bilangnya sambil lihat wajah Paman dong, syukur-syukur kalau sambil dicium." gumam Abbas, sambil memandang ke samping, seolah memberi kode agar Haidar mencium pipinya.

"Tapi aku belum mandi sejak pagi, Paman. Bau ...."

Abbas tidak peduli, dia malah makin mendekatkan pipinya pada wajah Haidar. Hingga akhirnya, Haidar mengembuskan napas pasrah, lalu kembali mengucapkan terima kasih sambil menatap intens mata Abbas dan mencium singkat pipi lelaki itu. Setelah itu, baru dia bisa makan dengan tenang.

Dan seiring berjalannya jarum jam, hubungan Abbas dan Haidar pun menjadi kian akrab. Mulanya Haidar memang agak kesal pada sikap sok akrab Abbas, tapi setelah makin kenal, entah kenapa anak itu malah mulai nyaman dekat Abbas.

"Berapa jam lagi kita sampai, Paman?" tanya Haidar, lalu menguap penuh rasa bosan.

Lama-lama banyak bercerita pada Abbas melelahkan juga, dan kini anak itu sudah mulai mengantuk lagi. Haidar bertanya pada Abbas, karena ibunya sudah tertidur.

Abbas mengangkat bahu, tidak tahu. "Entah, kamu ngantuk lagi?"

Haidar mengangguk. Abbas lalu tersenyum, dan menepuk kedua pahanya, meminta Haidar agar duduk di sana.

"Duduk di sini, lihat deh pemandangan di luar, bagus."

Dengan rasa antusias, Haidar pun menuruti perintah Abbas, duduk di pangkuannya, dan dipeluk. Mulut anak itu langsung menganga takjub saat melihat pemandangan di luar: gemerlap lampu dari bangunan-bangunan tinggi, Haidar belum pernah melihatnya, dan dia sangat terpana.

"Indah sekali!"

Tidak lebih indah dari wajahnya.

Batin Abbas tanpa sadar, terus tersenyum memandang wajah Maira yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang