Abbas mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam saku kemejanya, lalu memandang Maira yang masih menunduk, terlihat berusaha menghentikan tangisnya. Nyalinya kian menyala saat Maira mengatakan bahwa dirinya tidak menyangka bisa dicintai olehnya. Apakah mungkin bahwa Maira mau mencoba membuka hati padanya? Ini kesempatan emas, Abbas tidak boleh menyia-nyiakan waktu terlalu lama lagi.
Lelaki itu membuka kotak merah di tangannya, lalu meminta Maira untuk berhenti menunduk.
"Mai, take a look at this."
Maira menurut, dan dia segera menutup mulutnya tidak percaya ketika melihat sebuah cinta berwarna silver diarahkan oleh Abbas padanya. Abbas memberikan senyuman hangat, berusaha menutupi kegugupannya saat ini. Jangan sampai dia salah bicara yang berujung merusak suasana. Duh, semoga saja Maira tidak marah dengan apa yang dia lakukan sekarang ini.
"Terima ini ya, kalau kamu mau menggunakannya, berarti kamu menerima aku," kata Abbas, terdengar memohon.
"Kalaupun kamu gak mau terima aku, enggak masalah, enggak masalah kalau kamu gak mau memakainya, tapi aku sangat berharap kamu mau menerima cincin ini."
"Menerima sebagai apa, Bas?"
What? Bisa-bisanya Maira masih menanyakan hal itu? Apakah harus Abbas menjelaskan berulang kali lagi?
"Menurut kamu?"
"Teman?"
"Yap, teman hidup."
Maira tersenyum kecil, karena tidak mau membuat Abbas kecewa, dia pun menerima cincin itu, tapi langsung memasukkannya ke saku jaket.
"Aku terima, tapi aku masih perlu waktu apakah harus memakainya, atau membiarkan cincin ini berkarat."
"Itu memang cincin murah, setahun tidak digunakan, sepertinya memang akan berkarat."
Sejujurnya Maira tidak peduli berapapun harga cincin itu, karena dia tetap menyukainya. Bagaimana tidak? Cincin itu terlihat sangat cantik dengan mata berbentuk love, meski sederhana, tapi mampu memberi daya pikat hanya pada pandangan pertama Maira melihatnya. Abbas pandai juga memilih cincin, apakah cincin itu muat juga di jari manisnya? Ingin sekali Maira mencobanya, tapi dia tidak mau karena belum berani memberi Abbas kepastian.
"Apakah hati kamu juga akan begitu?"
"Jahat banget, masa samain hati aku dengan cincin, jelas enggak lah, Mai."
Maira kembali tersenyum mengingat kejadian itu. Tawa Abbas, senyum hangatnya, sudah seminggu lebih ini tidak Maira dapatkan. Dia memang sangat kecewa karena Abbas membohonginya, tapi dia sadar bahwa hatinya tidak pernah bisa membenci lelaki itu. Abbas lelaki yang baik, dia pun telah menjelaskan kepada Maira alasan dibalik kebohongannya itu. Lalu, kenapa Maira masih belum mau menemuinya? Entahlah, isi kepala Maira benar-benar ramai akhir-akhir ini, sampai dia tidak bisa berpikir jernih. Oleh sebab itu, dia lebih memilih tidak menemui siapapun dulu.
Sudah larut malam, Haidar telah terlelap. Maira membuka lemari, lalu mengambil kotak merah yang diberikan Abbas ketika di Bandung beberapa waktu lalu. Dia membukanya, dan tanpa sadar dia memasangkan cincin itu pada jari manisnya, dan alangkah terkejutnya saat tahu jika ukuran cincin itu pas. Seulas senyum kembali terbit, perempuan itu memandang cincin yang kini melingkar cantik di jari manisnya. Tidak ada keraguan lagi, tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi, sebab Tuhan sudah memberinya jawaban siapa yang harus dia pilih. Besok Haidar sudah kembali masuk sekolah, dan Maira harus menemui Abbas, untuk membicarakan banyak hal.
...
Setelah Haidar masuk ke sekolah dan terdengar suara bel berbunyi, Maira masih mematung di depan gerbang, sebab belum juga menemukan Abbas. Apakah hari ini Abbas tidak ada jadwal mengajar? Tapi bukankah ini hari pertama kembali masuk sekolah setelah libur panjang? Harusnya Abbas ke sini kan, meski hanya tidak lama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...