21. Tak Terkendali

3.3K 915 136
                                    

Ditengah kesibukannya mengerjakan tugas, Abbas diganggu oleh ponselnya yang terus berdering. Sambil berdecak, akhirnya dia mengabaikan sejenak tugas-tugasnya dan meraih ponselnya, lalu mengangkat panggilan itu tanpa sempat melihat nama yang tertera dilayar.

Lelaki itu mengerutkan keningnya ketika mendengar suara isak tangis seorang wanita di seberang sana.

"Abbas, ke rumah Mama sekarang ya ...."

Itu suara Bu Aisha, Abbas membulatkan matanya terkejut.

"Ma, ada apa? Kenapa Mama nangis?"

"Anfal ...."

"Anfal kenapa?"

Belum sempat mendengar jawaban Bu Aisha, Abbas mendengar suara barang-barang terbanting keras disertai umpatan penuh kemarahan. Itu suara Pak Ilyas, ada apa sebenarnya? Abbas segera memutuskan sambungan telepon, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dan bergegas menuju rumah Anfal.

×××

Anfal menatap sayu wajah teduh ibunya, lalu menunduk. Dia siap, apapun yang akan terjadi padanya setelah ini, dia siap. Meski kedua orang tuanya amat murka padanya setelah mengetahui hal ini, sekurang-kurangnya dia merasa akan jauh lebih lega karena rahasianya telah terkuak.

"Haidar anak aku, Ma."

Bu Aisha menggeleng, lalu terkekeh tidak percaya. "Ya, Mama setuju kalau dia memang mirip kamu, tapi ... mana mungkin? Anfal, tolong jangan bercanda sama Mama." katanya.

"Aku serius, aku telah menghamili seorang gadis saat masih SMA dulu. Dan sekarang, anak itu sudah besar. Anak yang tadi aku bawa ke sini, Ma. Dia mirip aku waktu kecil kan, Ma? Sangat mirip?"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Anfal. Sang ibu menatapnya penuh kemurkaan.

"Kamu jangan ngaco! Kalau dia memang anak kamu, lalu kenapa baru sekarang kamu bilang sama Mama? Kenapa baru sekarang kamu berani bawa anak itu?!"

"Karena dulu aku belum siap, Ma ... untuk bilang semua ini."

Apa semua ini? Kenapa Anfal bisa begini? Dia sudah merusak seorang gadis, dan baru sekarang dia mau mengatakannya pada Bu Aisha?

"Belum siap apa?"

Bu Aisha menoleh ke belakang, matanya terbelalak melihat kehadiran sang suami.

Anfal sudah tertangkap basah, dia tidak akan mau mengelak apapun lagi. Maka, dengan tenangnya dia mendekati sang ayah, lalu meraih ponselnya, dan menunjukkan salah satu foto Haidar.

"Pa, aku minta maaf. Aku sudah gagal menjadi anak yang bisa membanggakan Papa. Anak Papa ini pengecut, anak Papa ini ... sudah merusak seorang gadis—"

Brak!

Setelah melihat foto itu, Pak Ilyas melemparkan ponsel Anfal begitu kuat hingga remuk menjadi beberapa bagian. Ditatapnya tajam mata sang anak, dengan kedua tangan yang sudah terkepal kuat.

Di sudut ruangan, Bu Aisha hanya bisa membeku melihatnya. Dia yakin, sesuatu buruk akan terjadi tidak lama lagi. Perasaannya sudah tidak karuan, di satu sisi dia amat marah pada Anfal, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melihat Anfal menderita. Semoga saja, suaminya tidak melakukan hal gila hanya karena kemarahannya.

"Katakan dengan jelas, siapa anak itu?" desis Pak Ilyas.

"Anak aku."

Bugh!

Bu Aisha memejamkan matanya, tidak kuasa melihat darah yang telah mengalir dari sudut bibir Anfal. Sementara Anfal, masih terlihat begitu tenang. Baginya, sebesar apapun penderitaan yang akan dia dapatkan hari ini, tidak akan sebanding dengan semua penderitaan yang telah Maira alami.

Pak Ilyas tidak pernah suka banyak berkata-kata, dan hanya dengan tatapan matanya yang memerah saja sudah berhasil menjelaskan semuanya. Anfal tahu betul, jika sekarang ayahnya benar-benar sedang murka.

Kerah baju Anfal ditarik keras, lalu tubuh itu didorong dengan kasar sampai membentur tembok. Setelah itu, perut Anfal ditendang beberapa kali sampai mulutnya memuntahkan darah. Bu Aisha sudah menjerit ketakutan, tapi dia tidak berani menghentikannya. Karena dia tahu, jika dia coba menghentikan, bukan tidak mungkin kalau suaminya itu malah semakin murka.

Turun naik napas Pak Ilyas saat ini. Dia enggan mempercayai perkataan anaknya, tapi dengan melihat wajah di foto itu, dirinya tidak bisa untuk tidak yakin. Menyesal sungguh kerena selama ini dia sangat menyanjung anaknya. Dia sadar jika selama ini dia mungkin terlalu keras pada Anfal, tapi dia tidak pernah mengajarkan anaknya itu untuk lari dari tanggung jawab. Bagaimana bisa Anfal menyimpan rahasia besar serapat itu? Entahlah, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa selain terus menganiaya anaknya sendiri untuk melampiaskan segala kekesalan di dada.

"Mama!" teriak Abbas, berjalan memasuki rumah Anfal.

Dia melihat sekelilingnya, keadaan rumah tampak sepi. Di mana Bu Aisha dan Anfal?

"Bi Asti!" panggilnya, pada Bu Asti yang berlari dari belakang, menuju ke arahnya.

"Tolong, Den ...." pinta Bu Asti, dengan wajah pucat gelisah.

"Tolong apa, Bi?"

"Tuan ... di belakang, jantungnya kumat."

"Apa?!" pekik Abbas.

Bi Asti mengangguk, lalu kembali melanjutkan larinya untuk memanggil sopir pribadi di depan.

"Pa, tenang, Pa ...." ucap Bu Aisha lemah, mencoba menenangkan suaminya yang sudah terbaring dengan detak jantung tidak beraturan.

Sudah lama Pak Ilyas menderita penyakit jantung koroner. Bukan hal sulit untuk penyakit itu datang jika perasaannya kacau. Anfal pun demikian, sudah tidak sadarkan diri dengan luka di sana-sini.

"Ma," panggil Abbas.

"Bas, tolong Mama ...."

"Tenang ya, Ma. Papa pasti bakal baik-baik aja, kok." kata Abbas, berusaha menenangkan Bu Aisha. Padahal, saat ini perasaan juga sama khawatirnya.

Melihat wajah pucat Pak Ilyas, detak jantung yang kian melemah, serta mata yang tidak lagi awas, membuat Abbas ragu dengan perkataannya sendiri.

Dengan cepat Abbas berusaha mengangkat tubuh Pak Ilyas, sementara Anfal diangkat oleh sopir, untuk segera dibawa ke rumah sakit.





Begitu banyak kekurangan dalam cerita ini, so jangan sungkan ya berikan kritik dan saran mu❤️

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang