37. Sabar Menunggu

2.4K 669 160
                                    

Pagi ini Maira kembali membuatkan bubur untuk Anfal. Karena hari ini dia libur kerja, jadi tidak ada alasan baginya untuk pergi cepat-cepat dari rumah sakit. Betapa bahagianya Anfal karena bisa sarapan bubur ditambah ditemani pembuatannya, kalau saja Maira juga mau menyuapinya, bisa dipastikan hari ini juga Anfal akan sembuh karena semua rasa sakitnya tergantikan oleh kebahagiaan.

Wajah tampan yang masih dibalut perban di kepala dan robekan pada tulang pipinya itu terus ditekuk, konon masih kesal, karena ingat rencana liburan Maira bersama Abbas.

Dulu, jika Anfal memasang ekspresi seperti itu Maira selalu merasa gemas, karena wajah ganteng itu memang terlihat sangat imut. Meski harus diakui sekarang Anfal sudah jauh lebih tampan dari dulu, tapi entah kenapa kini Maira malah merasa risi melihatnya.

"Kenapa?" Maira akhirnya bertanya, membuat Anfal mati-matian menahan senyum.

Anfal pandang wajah Maira, bubur dalam wadah yang ada di tangannya sejak tadi hanya diaduk-aduk. Dia bingung harus melakukan cara apa agar membatalkan liburan itu, sementara keadaannya masih menghawatirkan begini.

"Mai ...."

Maira berdecak, lalu menarik wadah bubur itu, seolah paham apa yang Anfal inginkan.

"Katanya mau cepat sembuh, tapi males makan. Gimana sih? Kalau kamu terus kayak gini, kamu gak bakal sembuh-sembuh tau gak?" omel Maira, sambil mengaduk-aduk bubur itu, dengan emosi tertahan.

Anfal hanya memperhatikan dengan senyum yang terus mengembang. Apakah seperti ini rasanya diomeli sang istri? Duh, kok Anfal malah berimajinasi ke sana sih.

"Buka mulutnya," pinta Maira, membuat Anfal malah melongo.

"Buka mulut kamu, atau aku lempar bubur ini ke wajah kamu?"

Anfal tersenyum lagi dan lagi, kemudian membuka mulutnya. Sumpah demi apapun rasanya dia ingin berteriak andai tidak ingat kalau ini rumah sakit.

Satu suapan mendarat di mulut Anfal, dan bubur itu jadi sejuta kali lebih nikmat rasanya. Dalam diam Anfal sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena sudah mengabulkan doanya.

"Aku berbuat ini cuma karena ingat Haidar, dia sedih banget liat kamu sakit kayak gini, jadi kamu harus cepat sembuh, biar Haidar gak sedih lagi," ucap Maira, yang masih menyuapi Anfal.

Maira merasa, dirinya jadi seperti seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Haidar pun begini jika sedang sakit, sangat sulit untuk makan. Ish, kenapa sikapnya harus sama sih?

"Apapun alasan kamu, aku sangat bahagia, sampai-sampai gak bisa ngerasain sakit lagi saking bahagianya."

Maira menatapnya malas, lalu menyenggol lengan Anfal yang masih dililit perban dengan wadah bubur di tangannya. Sontak saja Anfal meringis kesakitan.

"Katanya gak bisa ngerasain sakit lagi," sindir Maira, Anfal hanya terkekeh.

"Mai, batalin ya rencana liburan sama guru alay itu, masa kamu tega ninggalin aku sendirian di sini."

"Mama kamu kan ada, dokter sama perawat juga ada. Dan lagi, Abbas bukan guru alay ya."

Panas rasanya mendengar Maira membela Abbas.

"Spesial banget ya dia, sampai dibelain begitu?"

Satu demi satu suapan terus mendarat, sampai bubur itu kini hampir habis.

"Udah ah, ngapain sih bahas hal kayak gitu? Lagian, aku sama Haidar pergi ke Bandung cuma dua hari kok."

Anfal langsung tersedak, cepat-cepat Maira meletakkan wadah bubur itu di meja, lalu meraih gelas berisi air putih, dan menyerahkannya kepada Anfal. Anfal segera meminumnya, lalu dia menatap Maira tidak percaya.

"Jadi, kamu bakal nginep di sana?" tanyanya, setelah merasa tenggorokannya lebih baik.

"Iya."

"Mai—"

"Fal, aku kenal Abbas, dia orang baik. Aku percaya dia gak akan berbuat macam-macam."

Sebegitu berpengaruh kah Abbas dalam hidup Maira, sampai Maira sudah begitu mempercayainya? Sial, jika terus begini Anfal bisa tertinggal jauh dari Abbas. Ah, ini semua salahnya juga, yang sampai saat ini masih tetap sibuk dengan segudang pekerjaannya. Dia pun merasa bersalah, karena dulu pernah bilang pada Maira kalau dirinya akan mencari cara untuk mengurangi kesibukan, tapi sampai saat ini dia belum juga menemukan orang yang bisa dipercaya. Jika harus menjual sebagian hotelnya, itu juga dirasa bukan pilihan yang tepat, karena harapan ayahnya dulu adalah Anfal bisa mengembangkan bisnisnya, bukan malah menciutkan.

"Maira, maaf ya."

"Buat apa?"

"Kalau tidak mengalami kecelakaan, aku pasti masih sibuk dengan pekerjaan ku. Maaf, karena sampai sekarang aku belum bisa menyakinkan kamu, jika aku benar-benar mencintai kamu."

"Ya, aku memang belum yakin kalau kamu mencintai aku, tapi aku sangat yakin jika kamu mencintai Haidar."

"Kalau kamu sudah yakin jika aku mencintai Haidar, lalu kenapa sampai sekarang kamu belum mengizinkan dia untuk mengetahui siapa aku?"

Maira menunduk. Bukannya dia tidak mau atau masih belum siap memberitahukan semua ini kepada Haidar, tapi dia merasa Haidar masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. Bagaimana jika setelah Maira memberitahukan kalau Anfal adalah ayah Haidar, anak itu akan bertanya-tanya, yang berujung Maira tidak tahu harus menjawab apa?

Maira yakin sekali, kalau Haidar tahu sekarang jika Anfal adalah ayahnya, anak itu pasti akan berharap mereka bisa tinggal satu rumah lalu menjalani hidup bahagia seperti keluarga pada umumnya. Sementara di sisi lain, Maira merasa belum atau mungkin tidak akan siap hidup dengan Anfal. Tentu, dia selalu menginginkan kebahagiaan untuk buah hatinya, tapi menghabiskan waktu seumur hidup dengan orang yang salah jelas adalah siksaan.

"Aku bingung, Fal ... aku gak tau gimana cara ngejelasinnya. Haidar masih terlalu kecil, dia gak akan paham—"

"Tidak perlu menjelaskan semuanya, kita menikah, dan Haidar akan tahu siapa ayahnya."

Maira menggeleng. "Enggak semudah itu, aku gak bisa."

"Maira ...."

"Kamu tau, setelah aku menyadari kalau aku salah menjatuhkan hati, sampai detik ini aku selalu takut untuk jatuh cinta lagi. Aku selalu beranggapan, jika semua lelaki adalah sama dengan kamu di masa lalu, bajingan. Namun, aku juga sadar kalau aku harus menyingkirkan pikiran itu, aku harus percaya bahwa tidak semua lelaki seperti itu."

Anfal diam saja, dia malu, menyesal, marah, pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa begitu bajingan?!

"Anfal, aku tau kamu gak seperti dulu lagi, kamu udah berubah, menjadi lebih baik. Dan, alangkah baiknya jika lelaki baik-baik seperti kamu, bisa mendapatkan perempuan yang baik-baik juga."

"Aku hanya ingin jatuh cinta dan selalu jatuh cinta sama kamu, kamulah perempuan baik-baik itu."

"Gimana kalau aku gak bisa buka hati lagi buat kamu? Perasaan gak bisa dipaksa, kan?"

"Aku gak sanggup, Mai. Aku gak akan bisa melihat kamu bersama lelaki lain, lalu Haidar memanggil lelaki itu 'Papa'. Kamu tentu bisa membayangkan gimana sakitnya aku jika hal itu terjadi."

Maira hanya tersenyum kecil. "Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, kamu harus terima qadha dan qadar. Apapun yang akan terjadi, adalah takdir terbaik dari Allah," ucapnya, berusaha meyakinkan Anfal.

Anfal mengembuskan napas berat, lalu meletakkan kembali gelas di tangannya ke atas meja. Wajah Maira dipandangnya, begitu dalam.

"Dan aku sangat berharap, Allah menyatukan kita. Aku akan selalu sabar Mai, nunggu kamu, nunggu sampai kamu benar-benar siap kembali menerima aku."

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang