Karena pulang malam dan kelelahan, Maira sampai lupa dengan janjinya kepada Abbas. Maira yakin, Abbas pasti semakin kecewa padanya.
Pagi-pagi sekali setelah selesai mengerjakan salat subuh, Maira pergi ke rumah makan Bu Aini, dan meminta izin untuk numpang membuat bubur. Beruntung Bu Aini sudah bangun dan sedang merapikan rumah makannya, jadi Maira tidak terlalu merasa segan.
"Bikin bubur spesial buat siapa, Mai?" tanya Bu Aini, sambil menyapu dapur dan sesekali tersenyum melihat kesibukan Maira.
Maira mengaduk bubur yang masih mengeluarkan kepulan asap panas itu, lalu menuangkannya ke dalam wadah yang juga sekalian dia pinjam pada Bu Aini.
"Bukan bubur spesial kok, Bu. Ini ... buat orang sakit. Oh iya, sisanya juga masih banyak nih, nanti Ibu makan ya?"
Bu Aini kembali tersenyum. Maira selalu begitu, sangat tertutup jika menyangkut perasaan. Sejak Maira kerja di sini, ada dua lelaki yang sering menemuinya, tapi sikap Maira selalu biasa saja. Bahkan, sejak Maira kerja di sini juga, pelanggan jadi semakin banyak, terutama dari kalangan laki-laki. Tidak sedikit dari mereka yang berusaha memikat hati Maira, tapi lagi-lagi Maira tetap biasa saja. Kehadiran Maira membawa hoki untuk Bu Aini, itulah sebabnya Bu Aini sangat senang memiliki pekerja sepertinya.
"Iya, pasti Ibu makan. Masakan kamu kan gak pernah gagal, selalu enak. Beruntungnya orang sakit itu, pasti langsung sembuh setelah makan bubur dari kamu," canda Bu Aini, Maira hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Setelah pekerjaannya selesai, Maira pamit kembali ke kost-an karena harus mempersiapkan keperluan sekolah Haidar.
×××
Di depan sekolah, sambil membawa dua kotak makan berisi bubur buatannya, Maira celingukan seperti mencari seseorang.
"Ma, cari siapa?" tanya Haidar, yang merasa aneh atas sikap ibunya.
"Eum, Paman Abbas," jawab Maira.
Karena semakin merasa bersalah, maka Maira pun membuatkan bubur untuk Abbas. Namun, kenapa dia tidak kunjung datang?
"Hari ini kan Paman Guru tidak ada jadwal mengajar, Ma."
Maira membisu, kenapa dia bisa lupa hal itu? Ah, berarti sia-sia dia buatkan bubur untuk Abbas.
"Oh iya, Mama lupa. Ya udah, kamu masuk, Mama juga mau berangkat nih," ucap Maira, sambil mengulurkan tangannya.
Haidar menerima uluran tangan itu, lalu mengecupnya. Namun, dia masih berdiri di hadapan ibunya.
"Ma, Mama bakal ke rumah sakit dulu, kan? Buat anterin bubur ke Paman Anfal?"
"Iya."
"Pulang sekolah nanti, aku boleh jenguk Paman Anfal lagi, kan?"
Maira mengangguk. "Iya, boleh. Semalam kan Tante Aisha suruh sopirnya buat langsung jemput kamu pulang sekolah nanti, jadi kamu bisa jenguk dia lagi," jelas Maira.
"Mama?"
"Mama akan ke sana kalau pekerjaan Mama sudah selesai, buat jemput kamu pulang. Oke?"
Haidar mengangguk, lalu mengecup pipi Maira saat Maira sedikit mencondongkan wajahnya, sebelum dia masuk ke kelas.
×××
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Maira terus dihantui rasa bersalah karena tidak bisa menepati janjinya untuk makan malam bersama Abbas. Apakah semalam Abbas menunggunya? Tapi di mana? Ah, ini juga salah Maira yang sampai sekarang tidak punya ponsel, jadilah susah sendiri. Dia tidak tahu apakah semalam Abbas menunggunya atau tidak, dia juga tidak tahu apakah Abbas masih marah atau tidak, dan dia juga tidak tahu di mana Abbas sekarang.
"Abbas?"
Tidak, Maira tidak sedang berhalusinasi. Abbas ada di depannya, berjalan dari arah berlawanan, baru keluar dari lift. Maira segera menghampirinya, semoga saja dia tidak salah orang.
"Abbas," panggil Maira.
Abbas membelalakkan matanya ketika melihat Maira. Sumpah, dia tidak menyangka kalau Maira akan kembali ke sini sepagi ini. Haduh, semoga Bu Aisha tidak ikut turun, dan melihat jika saat ini Abbas sedang berdiri di depan Maira.
"Eh, Maira," ucap Abbas, raut wajahnya memperlihatkan keterkejutan.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Maira, bingung.
Haduh, gue harus jawab apa nih?!
Tidak mungkin kan kalau dia jawab habis menjenguk Anfal?
"Oh, itu, jenguk temen, ada yang sakit."
Santai, Bas. Itu bukan bohong kok, Anfal kan sepupu sekaligus temen lo. Batin Abbas, berusaha menyakinkan dirinya bahwa apa yang barusan dia katakan pada Maira bukan sebuah kebohongan.
"Siapa?"
"Eum ... temen. Terus kamu, ngapain ada di sini, siapa yang sakit?" Abbas mencoba cover line, karena dia tidak mau membuat kebohongan yang semakin panjang.
"Anfal," jawab Maira, berterus terang.
Maira tahu jika Abbas sudah mengetahui nama Anfal, sebab beberapa kali Haidar pernah menyebut nama itu bahkan menceritakan orangnya pada Abbas. Dan, Abbas juga sering bertemu Anfal di rumah Binar dulu, tapi setiap kali bertemu di depan Maira, mereka pasti jadi orang yang seperti tidak saling mengenal, jadilah sampai detik ini Maira tidak tahu apa-apa tentang mereka.
"Oh."
Kebetulan sekali Maira bertemu Abbas di sini, jadi dia akan meminta maaf sekaligus memberikan bubur pada Abbas, semoga saja Abbas mau menerimanya.
"Bas, maaf karena semalem aku lupa buat makan bareng itu," ucap Maira, benar-benar menyesal.
Gak perlu minta maaf, Mai. Karena semalam pun aku nginep di sini.
"Aku lupa kalo hari ini kamu gak ngajar, tapi alhamdulilah kita ketemu di sini, jadi aku bisa kasih bubur ini ke kamu. Nih, semoga kamu suka, dimakan ya?" kata Maira, sambil menyodorkan satu kotak makan pada Abbas.
Abbas menerimanya dengan senyum bahagia. Pasti lah dia suka, apapun yang Maira masak, dia akan menyukainya.
"Makasih, kebetulan benget aku belum sarapan, tapi ... itu satunya buat siapa?"
"Orang sakit."
Abbas memutar bola matanya malas. Huh, dasar manja. Kenapa sih Maira membuatkan untuknya bubur segala? Bubur dia rumah sakit kan juga ada?
"Kamu mau nganterin bubur itu aja, kan?"
"Iya. Aku kan harus berangkat kerja."
"Kalo gitu, ke tempat kerjanya aku antar ya?"
"Hah? Enggak perlu."
"Perlu, karena kamu masih punya utang penjelasan sama aku."
"Penjelasan apa?"
Abbas menghela napas. "Banyak lah, terutama alamat kost kamu. Udah kamu gak punya hp, pindah tempat tinggal tanpa aku tau lagi, aku tersiksa, Mai."
Entah apa yang lucu, tapi Maira malah terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
"Dasar aneh, sekarang aja aku ada di depan kamu."
"Hm, ya udah, buruan anterin buburnya ke orang sakit itu, aku tunggu di depan."
Orang sakit jiwa. Batin Abbas, sungguh kesal. Semoga saja di dalam sana Anfal tidak membuat drama hingga Maira harus lama-lama di sana. Entahlah, katakan jika Abbas cemburu, karena semakin ke sini nyatanya dia makin tidak suka jika Maira dekat dengan lelaki lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...