Epilog

3.2K 563 132
                                    

Maira membuka matanya perlahan, melihat jam di dinding kamar masih menunjukkan pukul 02:15 pagi. Namun, tidurnya tidak bisa tenang karena kram di perutnya yang menggangu sejak sore tadi akibat haid hari pertama.

Perempuan itu membalikkan tubuhnya ke samping, dia tidak menemukan suaminya di sana, sebab lelaki itu tengah melaksanakan salat tahajud. Sambil meremas perutnya, Maira tersenyum kecil melihat pemandangan sejuk di depan matanya. Setiap hari sang suami selalu bangun tengah malam untuk beribadah, dan jika tidak sedang halangan mereka selalu melaksanakannya bersama.

Maira tahu jika sebuah hubungan tidak akan selalu lurus lurus saja, tapi dia percaya bahwa dirinya dan Abbas bisa menghadapi gelombang yang akan datang sebesar apapun itu.

Setengah jam berlalu, Abbas masih nampak khusyuk menjalankan ibadahnya. Sepertinya lelaki itu tidak menyadari jika Maira tidak bisa kembali tidur, dan masih terus memperhatikannya. Maira memejamkan matanya sambil tersenyum saat lantunan ayat suci dibaca oleh suaminya, sejenak dia bisa melupakan rasa sakit di perutnya.

Matanya kembali terbuka ketika menyadari Abbas sudah berhenti berdoa, cepat-cepat dia kembali membalikkan tubuhnya dan pura-pura tertidur. Kasihan suaminya itu, seharian ini sudah sangat lelah mengajar, mengurus kafe, lalu menemani Haidar mengerjakan tugas. Maira tidak ingin menambah bebannya dengan dia menceritakan hal sepele seperti ini, jadi lebih baik dia mencoba untuk kembali tidur saja. Sayangnya, nyeri itu tidak kunjung pergi, sampai tanpa sadar dia meringis pelan, dan Abbas mendengarnya.

Abbas meletakkan dagu di bahu Maira, lalu mengusap lembut tangan perempuan itu.

"Sayang, kamu kenapa?"

Maira tidak menjawab, kedua matanya masih dia pejamkan erat.

Abbas tersenyum kecil, kali ini tangannya sibuk mengusap pipi sang istri, membuat pipi itu menjadi bersemu tanpa Maira sadari.

"Pipi kamu sampe kemerahan gini, nahan sakit atau malu, hm?" tanya Abbas, setengah berbisik.

Maira tetap diam, masih berpura-pura tidur, tapi tentu saja Abbas tidak bisa dibohongi olehnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Abbas kembali turun dari kasur, lalu berjalan keluar kamar. Maira membuka matanya kembali saat menyadari kepergian Abbas. Dia mau pergi ke mana? Apa dia marah karena tahu Maira hanya pura-pura tidur?

Pikiran buruk Maira langsung tersingkir saat Abbas kembali dengan membawa segelas air putih hangat. Maira sudah tertangkap basah, dia tidak bisa berpura-pura tidur lagi. Abbas meletakkan gelas yang dibawanya ke meja, lelaki itu kembali mendekati Maira yang kini tengah menggigit bibir bawahnya karena gugup.

"Aku pernah dengar kalau air putih hangat bisa meredakan kram saat haid, apa itu benar?"

Maira hanya bisa mengangguk pelan. Sudah dua bulan dia menyandang status sebagai seorang istri, tapi rasanya masih selalu deg-degan tiap dekat dengan sang suami. Apalagi jika suaminya memberikan perlakuan yang manis, seperti mengusap lembut puncak kepalanya, atau mengecup keningnya.

"Apa yang bisa aku lakukan, buat ngurangin rasa sakit yang sedang kamu alami sekarang?"

Ya Allah, kenapa hati suaminya ini lembut sekali? Maira memberanikan diri untuk memandang wajah Abbas, terlihat ada kekhawatiran dalam sorot mata hitam yang meneduhkan itu, dia pun terkekeh kecil, sekadar berusaha menyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Sakit seperti ini udah biasa, tapi kadang aku emang lebay, gak usah khawatir ya?"

Maira akhirnya bangkit duduk, lalu berusaha meraih air yang baru diambil Abbas tadi. Namun pergerakannya terhenti karena Abbas segera mengambilkannya, setelah Maira meminumnya hingga tersisa setengah, gelas itu kembali diletakkan ke tempat semula.

Perempuan itu bertopang dagu sambil terus tersenyum memperhatikan tiap inci wajah suaminya, yang tidak pernah bosan dia pandangi, bahkan kini sudah menjadi hobinya. Apalagi jika sang suami masih menjaga wudhu dan mengenakan kopiah, hati Maira selalu tentram melihatnya.

Merasa diperhatikan, Abbas merentangkan kedua tangannya untuk membawa sang istri dalam pelukan. Maira akhirnya mendekat, dan memeluknya. Abbas mengusap punggung Maira lembut, berpikir kalau Maira masih merasa sakit. Maira hanya diam sambil menyandarkan kepalanya pada dada bidang sang suami.

"Mas, terima kasih."

Awalnya panggilan itu memang terdengar aneh untuk Maira ucapkan, tapi atas dasar perintah suami, dia pun menurut. Malah kini dia senang setiap kali mengucapkannya.

Abbas menaikkan satu alisnya heran. Maira mendongak sambil tersenyum padanya. Begitu banyak perubahan yang terjadi dari keduanya setelah mereka menikah. Hal yang berubah dan amat Abbas sukai adalah, Maira setelah menjadi istrinya jadi banyak tersenyum dan selalu bicara dengan tutur yang lembut.

"Untuk apa, hm?"

"Untuk semuanya. Terima kasih karena kamu sudah menyayangi aku, menyayangi Haidar, dan menjadi ayah yang baik untuk Haidar."

Maira sangat bersyukur memiliki suami seperti Abbas, karena selain menyayangi dirinya, Abbas juga menyayangi Haidar layaknya anak sendiri. Lelaki itu bersungguh-sungguh membuktikan kepada Maira jika dirinya benar menyayangi Haidar.

Di mata Maira, suaminya telah berhasil menjadi ayah yang baik untuk Haidar. Dia selalu mementingkan Haidar lebih dari apapun, tidak peduli seberapa lelahnya aktivitas yang dia lalui, tapi jika menyangkut Haidar, dia pasti akan mengutamakan nya. Bahkan masih sangat Maira ingat beberapa minggu lalu, saat Haidar demam, Abbas sampai begitu panik langsung membawanya ke rumah sakit, padahal dia baru saja pulang dari rapat. Dan setelah dibawa ke rumah sakit, tanpa Maira duga suaminya itu terduduk lemah di sudut ruangan, menenggelamkan wajahnya di atas lutut, ternyata menangis. Saat Maira bertanya kenapa dia menangis, dengan lirih dia bilang bahwa dia sangat menyesal karena kurang menjaga Haidar, hingga anak itu sakit. Maira tersenyum haru sambil mengusap bahunya, dan bilang kalau Haidar sakit bukan karenanya, toh Haidar juga hanya demam biasa karena habis hujan-hujanan, dia pasti akan segera sembuh. Barulah, setelah Maira menenangkan, Abbas akhirnya bisa sedikit tenang.

Entah sudah berapa banyak Maira mengucapkan kata terima kasih, sampai Abbas tidak bisa menghitungnya. Akhirnya yang bisa dia lakukan hanya mengusap lembut rambut istrinya, lalu menyelipkan beberapa helainya ke belakang daun telinga.

"Aku bahagia, sangat bahagia," kata Maira, memberikan senyuman terindahnya.

Sejatinya kita tidak pernah bisa mengharapkan kebahagiaan dari orang lain, karena bahagia itu letaknya di hati kita, dan hanya kita yang bisa menciptakan bahagia itu sendiri. Kepada Abbas, Maira tidak lagi meragukan hatinya untuk singgah selamanya. Karena hanya bersama Abbas, dia bisa menciptakan kebahagiaan yang nyata setiap harinya.

Abbas telah berhasil membuktikan kepada Maira jika tidak semua lelaki itu sama. Karena Abbas, Maira bisa merasakan jika dirinya benar-benar berarti untuk seseorang. Maira bisa merasakan jika dirinya berhak dicintai.

.

Sekali lagi terima kasih kepada siapapun yang sudah mau membaca cerita ini sampai end. Wassalamu'alaikum wr.wb.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang