42. Berterus Terang

2K 609 282
                                    

"Tapi apa, Mai?" Anfal sekali lagi bertanya, sebab Maira masih larut dalam diamnya.

Maira mengembuskan napas berat, lalu tersenyum kecil. Kenapa dia jadi merasa berat sekali untuk mengatakannya?

Katakanlah Maira!

"Aku mengizinkan Haidar memanggil kamu 'Papa', tapi ... maaf, untuk kembali membuka hati kepada kamu, aku gak bisa."

Anfal terkekeh singkat. "Maira, bukankah sudah sering aku katakan, kalau aku akan selalu sabar menunggu kamu?" tanyanya.

"Tapi aku sudah yakin dengan perasaanku, kalau aku tidak mencintai kamu lagi. Aku gak mungkin bisa hidup bersama seseorang yang tidak aku cintai, sekalipun kamu ayah kandung Haidar."

Anfal menggeleng tidak terima.

"Kenapa kamu bisa bicara begitu? Apa kamu sudah yakin kalau kamu benar-benar tidak mencintai aku? Oh, atau karena ada laki-laki lain di hati kamu saat ini?"

Maira tidak menjawab, sampai kemudian Anfal kembali berujar, "Abbas kah lelaki itu?" tebak Anfal.

"Iya."

Bak dihantam batu besar saat Maira mengatakan satu kata itu, dadanya sesak sekali. Kedua tangan Anfal sudah terkepal kuat. Matanya memerah, dia tidak percaya jika ketakutannya selama ini menjadi kenyataan. Dia kalah dari Abbas, bagaimana ini bisa terjadi?

"Aku sudah memikirkan banyak hal, dan kini aku makin yakin kalau jodoh aku adalah Abbas, bukan kamu. Semoga kamu bisa segera mendapatkan pengganti aku, yang tentu saja jauh lebih baik dari aku."

Tidak sanggup Maira melihat wajah Anfal saat ini, sebab dia merasa sangat bersalah. Semoga saja Anfal bisa menerima kenyataan, jika Maira dan dirinya memang tidak berjodoh. Setelah mengatakan itu, Maira segera bangkit dari duduknya. Namun, baru saja dia berjalan beberapa langkah, Anfal berteriak, hingga membuatnya mematung di tempat buat seketika.

"Abbas sepupu aku, Mai!"

Maira menggeleng enggan percaya. Mana mungkin? Sudah hampir satu tahun Maira mengenal kehidupan Abbas di Jakarta ini, dan Abbas selalu mengatakan bahwa dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kalau dia sepupu Anfal, lalu kenapa dia selalu bersikap seolah tidak mengenal Anfal? Dan lagi, kenapa sikap Anfal pun begitu padanya?

"Almarhum ayahnya adalah adik Mama aku. Dia dekat dengan keluargaku, orang tuaku bahkan sudah menganggapnya seperti anak sendiri."

Maira berbalik, memandang Anfal tidak habis pikir.

"Enggak, Abbas udah gak punya siapa-siapa," protes Maira.

Anfal tersenyum miring, lalu melangkah mendekati Maira.

"Kalau kamu gak percaya, silakan tanya sendiri."

"Jika memang benar, lalu kenapa kamu gak pernah menceritakan hal ini sejak awal?"

"Sebab aku menghargai perasaan Abbas, dia takut dibenci oleh kamu kalau sampai kamu tau, jika dia adalah sepupu aku. Sudah lama aku tau kalau dia mencintai kamu, tapi aku rasa yang berhak mendapatkan kamu hanya aku, Mai."

Terlalu mengejutkan bagi Maira mendengar hal ini, sampai dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia berlari meninggalkan Anfal, dan segera pamit pada Bu Aisha setelah menarik tangan Haidar.

Anfal tentu saja tidak tinggal diam, dia mengejar langkah Maira, membuat Bu Aisha ikut gelisah melihat apa yang terjadi di depan matanya.

"Maira! Aku yang lebih mencintai kamu! Jangan tinggalin aku, Mai ...."

Anfal terlihat amat pilu. Maira tahu, pasti berat baginya untuk menerima hal ini, tapi bukankah cinta tidak bisa dipaksa? Maira sudah memaafkan semua kesalahannya, tapi untuk kembali membuka hati pada Anfal, Maira tidak bisa. Pernah dia belajar untuk menerima Anfal kembali, sayangnya semakin dia berusaha, dia malah kian yakin bahwa cinta yang dulu pernah ada di hatinya untuk Anfal, kini benar-benar telah tiada. Maira bisa menerima Anfal, hanya sebagai ayah kandung Haidar, bukan pendamping hidupnya.

"Anfal, tapi aku gak cinta sama kamu, tolong jangan memaksa."

Bu Aisha yang telah berdiri di depan gerbang rumahnya hanya bisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca mendengar ucapan Maira. Apa yang dia duga ternyata terbukti, kalau Maira memang tidak bisa menerima Anfal menjadi suaminya. Ya Tuhan, pasti Anfal amat terluka saat ini.

Haidar tidak paham apa yang terjadi, tapi dia sedih melihat Anfal menangis. Ingin rasanya dia peluk Anfal, tapi tangannya sejak tadi digenggam erat oleh ibunya. Maka yang bisa dia lakukan hanya diam dan menatap iba wajah Anfal, sampai kemudian ibunya kembali menarik tangannya, semakin menjauh dari rumah Anfal.

Anfal sudah terduduk lemas, tidak punya kekuatan lagi untuk mengejar Maira. Hatinya teramat sakit, bak dihantam ombak besar berkali-kali. Kenapa Maira tega melakukan ini padanya? Tidakkah dia melihat perjuangan Anfal barang sedikit saja? Tuhan, kenapa rasanya sulit sekali untuk menerima semua ini?

"Anfal," panggil Bu Aisha, lembut sambil mengusap bahu Anfal.

"Sayang, kalaupun Maira tidak bisa hidup bersama kamu, tapi kamu masih bisa kan bertemu dengan Haidar? Maira tidak mungkin melarang kamu untuk menemuinya, kan?"

"Aku gak bisa, Ma, terima kenyataan ini, terlalu menyakitkan ...." Suara Anfal terdengar hilang pada kata terakhirnya.

Bu Aisha mendongak, menahan air matanya yang hampir jatuh. Dia peluk tubuh Anfal, dan semakin menjadi lah tangis Anfal dalam pelukannya.

"Aku gak rela mendengar Haidar memanggil lelaki lain dengan panggilan 'Papa', apalagi jika melihat Haidar dekat dengan lelaki itu. Dan menyakitkannya, lelaki itu adalah orang yang aku kenal, Ma ... saudaraku sendiri."

Terbelalak mata Bu Aisha mendengar apa yang dikatakan Anfal.

"Ab-abbas?"

Anfal mengangguk lemah. "Iya. Dia guru yang sangat disayangi Haidar, dan juga lelaki yang berhasil memikat hati Maira."

Kalau Abbas selama ini juga mencintai Maira, kenapa dia tidak pernah mengatakan apapun padanya? Kenapa ketika Anfal menceritakan semua masa lalunya di depan keluarga besar, saat itupun Abbas hanya diam dan terlihat biasa saja? Ya Tuhan, kenapa kisahnya jadi serumit ini? Kalau benar Abbas mencintai Maira, dan Maira pun memiliki perasaan yang sama, maka Bu Aisha tidak akan bisa melakukan apapun selain ikut bahagia. Sebab dia pun menyayangi Abbas, dan amat yakin kalau Maira bisa bahagia hidup bersamanya. Masalahnya sekarang, Bu Aisha tidak tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan hati sang anak yang sedang terluka ini.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang