28. Jalan

2.9K 719 77
                                    

Tiga piring nasi goreng yang masih mengeluarkan kepulan asap panas memenuhi meja makan di pinggir jalan itu, ditemani tiga gelas es teh manis, segelas susu cokelat, dan kerupuk.

"Yakin bakal habis es teh sama susu cokelat itu?" tanya Abbas, pada Haidar.

Haidar tersenyum sambil memegang gelas susu cokelat yang tersisa setengah, karena baru saja diminumnya.

"Yakin dong Paman, sekarang aja susunya tinggal setengah, hehe."

Abbas ikut terkekeh, lalu mengusap sisa susu cokelat di kedua sudut bibir Haidar menggunakan tangannya. Maira menyaksikan hal itu, dan dia jadi ingat apa yang juga Anfal lakukan pada Haidar tadi siang. Anfal pun mengelap mulut Haidar yang belepotan bekas es krim, tapi dia mengelapnya menggunakan tisu, hingga tangannya masih bersih. Sementara Abbas, dia mengelapnya langsung menggunakan tangannya sendiri, dan tanpa rasa jijik sama sekali. Atas apa yang Abbas lakukan, entah kenapa Maira merasa lebih tersentuh.

"Mau tambah lagi?"

"Enggak, nanti pengen pipis," tolak Haidar sambil menggeleng.

Abbas mengangguk, lalu mengusap rambut anak itu dengan gemas. Dia memang tidak memiliki ikatan darah dengan Haidar, tapi dia menyayangi Haidar. Adalah hal yang menyenangkan saat melihat senyum indahnya, bermain bersamanya, apalagi saat memeluknya. Jika kelak Haidar mau memanggilnya 'Papa', maka Abbas akan berusaha menjadi 'Papa' seperti yang Haidar dambakan.

"Nasi gorengnya udah mulai dingin nih, Hae pimpin doa ya?"

Haidar mengangguk antusias. Dia selalu senang setiap kali dapat kepercayaan untuk memimpin sesuatu oleh Abbas. Ya, Abbas memang sering memberikan kepercayaan kepada Haidar. Seperti memintanya untuk maju ke depan mengerjakan tugas, menjadi pemimpin doa saat masuk dan pulang sekolah, dan masih banyak lagi. Tujuan Abbas hanya satu, berharap apapun yang terjadi, Haidar bisa menjadi anak yang selalu percaya diri dan bisa diandalkan.

Haidar mengangkat kedua tangannya, diikuti oleh Maira dan Abbas, kemudian dia mulai membacakan doa makan dengan khusyuk seperti yang selalu diajarkan oleh ibunya. Selesai berdoa, mereka pun mulai menyantap nasi goreng itu.

Maira perempuan yang hebat, dia berhasil mendidik Haidar jadi anak yang sangat baik, meski tanpa seorang suami. Perempuan sehebat dan sebaik Maira, apa pantas memiliki pasangan seperti gue? Atau seperti Anfal?

Kadang kala Abbas sering merasa minder. Walau di luar dia memang selalu terlihat begitu percaya diri bahkan kepedean, tapi tidak ada yang tahu kedalaman hati lelaki itu. Dia mencintai Maira, sejak dulu. Namun, melihat kondisinya saat ini yang hanya berprofesi sebagai guru honorer dan mahasiswa yang tinggal di kostan kecil dengan penghasilan pas-pasan, membuat Abbas ragu apakah dia bisa membahagiakan Maira dan Haidar? Bagi Abbas, uang memang bukan segalanya, tapi seperti pepatah yang tidak asing di telinganya, segalanya tetap membutuhkan uang.

Melihat dari segi materi, dia kalah jauh dari Anfal. Jadi, siapa yang lebih punya peluang untuk membahagiakan Maira?

Ah, jangan gitu, Bas. Maira bukan cewek matre, kalau dia mau suami tajir, mungkin dia udah terima Anfal dari dulu.

"Bas, kok gak dimakan sih?" tanya Maira, karena sejak tadi Abbas malah terus menatap wajahnya, dengan nasi goreng yang hanya diaduk-aduk.

"Hah? Oh, iya," ujar Abbas sedikit salah tingkah, lalu perlahan mulai memakan nasi gorengnya.

Malam ini dengan kerudung berwarna putih, dan gamis merah muda bermotif bunga-bunga kecil, entah kenapa pesona Maira makin kuat. Wajah cantik itu selalu cocok menggunakan kerudung warna apapun, tidak bisa ditampik kalau wajah Maira semakin terlihat bersinar dengan kerudung putih itu. Pantas saja Kara sampai ikut suka pada Maira, sebab wajah Maira memang tidak pernah membosankan untuk dilihat. Terutama tatapan matanya yang teduh, sangat menyejukkan hati. Beruntung Maira sudah keluar dari kafe itu, menyesal Abbas telah meminta bantuan pada Kara.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang