Semula Abbas pikir Maira tidak lagi memiliki sifat cuek seperti dulu, tapi ternyata dia salah.
Setelah dia kembali berteman dengan Maira, dan hampir tiap hari mereka bertemu, ternyata sikap Maira begitu-begitu saja. Abbas selalu bercerita banyak hal tentang kehidupannya pada Maira, dan sayangnya tidak ada sedikitpun hal yang mau Maira ceritakan padanya. Maira begitu pendiam, tertutup, dan misterius. Hal itu membuat Abbas bertanya-tanya, apakah Maira masih trauma untuk kembali membuka hatinya?
Setiap teringat hal itu, Abbas selalu merasa bersalah. Jika saja ketika di Bandung dulu dia tidak memberitahukan Anfal keberadaan Maira, mungkin hal begini tidak akan terjadi. Abbas pun merasa takut, apa yang akan terjadi jika suatu saat Maira tahu jika Anfal adalah sepupu Abbas?
"Mai, kamu mau ke mana? Kenapa selalu buru-buru tiap habis nganterin Haidar?"
Abbas mencoba menghalangi langkah Maira yang sudah bersiap untuk pergi meninggalkan area sekolah. Kali ini dia harus tahu ke mana Maira akan pergi setelah ini, mumpung dirinya tidak ada jadwal mengajar atau kuliah.
Maira menggeleng dengan kepala tertunduk. Dia tidak mau memberitahu Abbas jika dirinya akan mencari pekerjaan, dia sadar, sudah sering sekali dirinya merepotkan Abbas selama ini. Di mulai dari ketika Abbas mengantarnya mencari rumah Binar, mengantarkan Haidar jika Maira telat menjemput, sampai membela Haidar jika ada yang meledeknya. Dan karena Abbas lah, Haidar kini bisa bersekolah dengan tenang karena tidak ada lagi anak-anak nakal yang meledeknya karena tidak tahu siapa ayahnya.
"Cerita aja Mai, siapa tau aku bisa bantu."
"Gak perlu."
Maira kembali melangkah, dan tentu Abbas tidak tinggal diam. Dia mengejar langkah Maira dengan tanya yang kian besar.
"Kita berteman, kan? Bukannya teman itu harus saling membantu?"
"Kamu udah terlalu sering membantu aku, Bas. Jadi, kali ini gak usah ya? Lagian, aku juga gak yakin kamu bisa bantu."
"Jangan bikin aku makin penasaran deh, kenapa bisa gak yakin gitu sementara kamu aja belum kasih tau apa masalahnya."
Maira menghela napas berat. Semakin kenal Abbas semakin Maira tahu jika Abbas ini tipe pemaksa. Jika kali ini Maira tidak mau cerita, Abbas pasti tidak akan membiarkannya pergi.
"Aku lagi cari kerja." kata Maira, akhirnya.
Dia harus pergi sekarang, sebelum hari beranjak siang. Bagaimana pun juga, dirinya harus segera mencari pekerjaan agar berhenti merepotkan Binar. Meski Binar tidak pernah keberatan dan bilang senang ada Maira dan Haidar di rumahnya, tapi tetap saja lama-lama Maira makin merasa sungkan. Terlebih jika ada Galih di rumah, bukannya tidak percaya jika suami Binar itu orang baik. Hanya saja, Maira tidak mau kejadian seperti di rumah Tantenya dulu kembali terjadi. Dia tidak mau menimbulkan kesalahpahaman, Binar adalah sahabat satu-satunya, jadi dia tidak mau kehilangan Binar.
"Tuh kan kamu diem, udah, biarin aku pergi ya?"
Abbas menggeleng, tidak habis pikir dengan Maira.
"Kenapa kamu gak pernah bilang hal ini sama aku? Aku tentu bisa bantu kamu, kamu tinggal bilang aja, mau kerja di mana."
Memiliki jiwa humoris membuat relasi pertemanan Abbas luas. Hampir di tiap kota dia punya kenalan, apalagi di Jakarta ini. Sudah banyak temannya yang telah memiliki bisnis sendiri, sayangnya Abbas tidak pernah tertarik untuk ikut terjun ke dunia bisnis.
"Aku cuma tamatan SMP."
Maira merasa amat kerdil setelah mengatakan hal itu. Ya, dia sadar dia hanya lulusan SMP. Di zaman sekarang mana ada sih perusahaan yang mau menerima ijazah SMP? Sejujurnya, berteman dengan Abbas pun membuat Maira tidak nyaman, rasanya Maira tidak pantas punya teman seperti Abbas. Itulah sebabnya, dia selalu berusaha bersikap sewajarnya bahkan terkesan cuek. Bukan karena dia tidak suka berteman dengan Abbas, tapi lebih kepada tahu diri.
"What's wrong? Maira, hei ... jangan kecil hati begitu, itu bukan masalah besar."
"Enggak, itu masalah besar. Aku tidak cerdas, tidak juga cukup menarik, makanya sampai sekarang aku belum juga dapat kerja."
"Mai, kok kamu pesimis gitu sih? Oke, sekarang kamu ikut aku ya? Aku akan cariin kamu kerja, dijamin deh kamu bakal keterima."
Maira malah menggeleng.
"Mungkin aku akan diterima, tapi hal itu gak akan bisa buat aku senang, Bas. Karena aku dapat pekerjaan bukan hasil kerja keras aku sendiri. Maaf, aku harus pergi sekarang."
Maira melanjutkan langkahnya, Abbas berdecak, dan kali ini dia tidak lagi menahan langkah Maira. Sejak dulu selalu begitu, Abbas selalu gagal memahami pikiran perempuan. Tidak, Abbas tidak kesal pada sikap Maira, tapi dia kesal pada sikapnya sendiri.
~
Sudah jam 9 lewat 10 menit, langkah Maira kian terasa berat. Peluh membasahi pelipisnya, dia menyekanya dengan cepat. Ke mana lagi dia harus mencari kerja? Hampir semua toko, rumah makan, atau kafe-kafe sudah dia kunjungi, tapi tidak ada satupun yang membutuhkan tenaganya. Dia bahkan sudah mencoba juga datang ke beberapa rumah sakit dan perusahaan, siapa tau ada yang membutuhkan office girl. Namun, lagi-lagi belum rezekinya.
Merasa lelah, Maira memilih menghentikan langkahnya sebentar di bawah pohon. Dia memandang sebuah hotel yang terletak tidak jauh dari pohon itu.
Hai Dear Hotel 2
Apakah harus Maira mencoba melamar kerja ke sana? Namun, ketika diperhatikan lebih saksama, hotel itu terlihat sangat megah. Entah ada berapa lantai, Maira sampai tidak bisa menghitungnya saking tingginya bangunan itu. Apakah mungkin bangunan semegah itu mau menerima pekerja yang hanya lulusan SMP? Tentu saja jawabannya tidak.
Maira menggeleng. Apa salahnya mencoba? Dia sudah biasa menerima penolakan, dan kalau ditolak lagi ya harusnya tidak apa-apa, bukan? Baiklah, ini usaha terakhir. Jika gagal lagi, maka Maira harus segera kembali ke sekolah untuk menjemput Haidar.
Kali ini harus Maira akui jika dirinya benar-benar nekad. Dia memasuki hotel itu lalu melangkah menuju pos satpam. Dan seperti yang telah dia duga, satpam itu menggeleng penuh iba sambil mengucapkan kata maaf setelah membaca berkas lamaran kerja Maira. Padahal, Maira melihat jelas sekali ada selembaran kertas lowongan pekerjaan yang terpampang di depan pos satpam. Namun, dia pun sadar jika kriterianya tidak memenuhi.
"Coba ditempat lain saja ya, Mba." ucap pak satpam klise, lalu mengembalikan map cokelat Maira.
"Pak, saya mohon ... saya mau kok kerja jadi apa saja di sini." Rupanya Maira belum putus asa, dia memandang satpam itu penuh permohonan.
Pak satpam kembali memandang Maira. Wajah cantik Maira tidak berhasil menyakinkan pak satpam jika Maira adalah pekerja keras. Lagipula, lowongan kerja minimal untuk lulusan SMA/sederajat. Bisa diamuk bosnya jika pak satpam main terima saja berkas lamaran kerja Maira.
"Pak—"
Belum sempat Maira kembali memohon, satpam itu sudah berlari untuk menyambut mobil bosnya yang baru saja tiba.
Bodohnya, Maira belum juga beranjak dari sana. Entah kenapa dia merasa sangat yakin jika pak satpam itu akan berubah pikiran, semoga saja dia mau membujuk bosnya agar mau menerima Maira kerja di sini. Oleh sebab itu, Maira tidak akan mau pergi, kecuali jika pak satpam sudah mengusirnya dengan cara kasar.
Hai Dear... readers tersayang pasti tau siapa pemilik cabang hotel itu, tututu~
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...