41. Tanda Tanya

2.1K 620 222
                                    

Dua hari terasa singkat begitu Maira menginjakkan kakinya di kota Bandung. Setelah sekian lamanya, akhirnya dia baru bisa kembali merasakan indahnya liburan. Dan hal paling berkesan adalah saat dia berkunjung ke rumah serta ruko milik Bu Nur dulu. Ternyata tidak banyak hal yang berubah dari rumah itu, malah masih nampak sama. Hanya saja, ruko yang dulu digunakan Bu Nur sebagai ladang pencahariannya, kini sudah terlihat tidak terawat lagi. Teringat kembali semua kenangan indahnya ketika tinggal di sana, betapa baiknya Bu Nur, Maira sangat dan selalu menyayanginya, namanya tidak pernah tertinggal dalam doanya, sama halnya dengan nama kedua orang tuanya.

Abbas begitu niat membawa Maira dan Haidar berkeliling Bandung, sampai-sampai dia meminjam mobil Arqam untuk menemani perjalanan mereka. Selain mengunjungi rumah lama Bu Nur, Abbas pun membawanya ke taman balai kota, melewati sekolahnya dulu, dan tempat-tempat menarik lainnya. Hari itu, akan menjadi hari yang sulit Maira lupakan demi apapun.

Malam ini Maira sudah kembali ke indekos, dia pandangi wajah anaknya yang tengah tertidur di sampingnya. Haidar memerlukan sosok ayah, dan Maira tidak bisa terus begini. Kebahagiaan anaknya tentu adalah hal yang akan dia utamakan, tapi jika untuk menikah dengan Anfal, sampai detik ini... entahlah.

Ucapan Abbas pagi itu masih dia ingat dengan jelas, dan dia belum berani menjawab apa-apa sebelum dia benar-benar yakin dengan apa yang akan dia katakan. Maira masih ragu untuk mengambil keputusan, satu-satunya jalan terbaik adalah mengadukan semuanya kepada Allah.

Maira harus secepatnya mengambil keputusan, Maira tidak boleh menggantungkan harapan seseorang lagi. Dia harus segera memilih, lelaki yang tepat untuk menjadi suaminya juga ayah untuk Haidar kelak.

Maira mengusap pelan rambut anaknya, menyentuh penuh sayang setiap inci wajah anak itu. Maira tidak menyangka, bisa membesarkan anaknya hingga kini telah berusia 7 tahun. Bangga sekaligus terharu, kepada Haidar yang bisa menjadi anak baik.

Kening Haidar dicium, lama. Betapa dia sangat menyayangi Haidar, tapi secara tidak sadar dia telah membuat Haidar tersiksa karena keegoisannya.

Maafkan Mama, Nak. Kamu sabar sebentar saja lagi ya, untuk memiliki seorang ayah. Mama selalu ingin yang terbaik buat kamu, itulah sebabnya Mama perlu waktu untuk memilih, siapa yang berhak menjadi ayah kamu. Semoga, apapun keputusan Mama nanti, kamu bisa menerima dan bahagia. Batin Maira.

Kedua mata Haidar terbuka perlahan ketika merasakan tetes demi tetes air mata yang jatuh pada wajahnya. Dia mengucek matanya, lalu terbelalak ketika melihat ibunya menangis. Menyadari anaknya terbangun, dengan cepat Maira menyeka air matanya lalu tersenyum.

"Mama kenapa nangis?" tanyanya, lalu duduk di sebelah sang ibu.

Maira merentangkan sebelah tangannya, menggapai tubuh Haidar untuk dia peluk. Setelah Haidar berada dalam pelukannya, dia kembali usap rambut Haidar penuh kasih sayang.

"Mama minta maaf."

Haidar mendongak, memandang lekat wajah cantik ibunya.

"Mama gak punya salah sama aku, kenapa Mama harus minta maaf?"

"Enggak, Sayang. Mama punya banyak salah sama kamu, banyak sekali ...."

Hal yang paling Haidar benci di dunia ini adalah melihat tangis ibunya, sebab dadanya menjadi sesak jika melihat sang ibu menangis.

"Mama jangan nangis, kalau emang Mama punya salah sama aku, aku gak akan pernah marah sama Mama." Haidar semakin mengeratkan pelukan ibunya.

Maira tersenyum, merasa senang atas jawaban anaknya. Dia kecup puncak kepala Haidar.

"Nak, boleh Mama tanya sesuatu sama kamu?"

"Boleh."

"Kamu lebih sayang siapa, Paman Anfal atau Paman Abbas?"

Haidar terdiam sesaat. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Sebab, dia menyayangi keduanya sama rata. Ibarat kata, 50 persen untuk Anfal dan 50 persennya lagi untuk Abbas. Haidar selalu senang jika bersama dua orang itu, terlebih ketika melihat ibunya juga senang.

"Sayang dua-duanya, Ma."

"Kamu lebih nyaman dekat Paman Anfal atau dekat dengan Paman Abbas?"

Maira berharap, semoga jawaban anaknya kali ini menemukan titik terang. Siapa sebenarnya yang lebih Haidar harapkan untuk menjadi ayahnya?

"Nyaman dua-duanya, Ma."

Atas jawaban yang selalu jujur dan apa adanya dari Haidar, Maira hanya bisa mengembuskan napas berat.

×××

Anfal sudah pulang dari rumah sakit, dan pagi ini atas permintaan Haidar, Maira datang ke rumahnya. Betapa bahagianya Anfal menyambut kehadiran mereka.

Beberapa kali Maira pernah datang ke rumah ini, dan entah kenapa sampai sekarang Maira tetap merasa tidak pantas menginjakkan kakinya di sini. Bukan apa, tapi ini rumah memang mewahnya sudah keterlaluan, sampai dia saja sering merasa seperti gembel kalau masuk ke sini.

Sejatinya manusia memang memerlukan uang, tapi Maira tidak setuju kalau kekayaan bisa menjadi sumber kebahagiaan. Buktinya, Anfal sejak lahir sudah menjadi kaya, tapi dia terlihat tidak bahagia-bahagia amat atas kekayaannya, malah dia terlihat seperti memikul beban teramat berat. Pastilah berat, sebab memiliki hotel banyak, dan saham di mana-mana.

Haidar tengah asyik memakan brownies kukus bersama Bu Aisha di ruang tengah. Alangkah bahagianya Bu Aisha karena brownies buatannya itu dimakan lahap oleh Haidar, bahkan dipuji enak. Sementara Maira, tengah duduk di dekat kolam ikan bersama Anfal.

Dini hari tadi seusai melaksanakan salat istikharah, Maira akhirnya yakin dengan apa yang akan dia putuskan. Dia ingin membicarakan ini pada Anfal, tapi bingung harus memulai dari mana.

Anfal memperhatikan gelagat aneh Maira, lalu tersenyum.

"Kenapa, Mai?"

Maira menggigit bibir bawahnya, dia mengalihkan perhatiannya pada kolam ikan koi itu. Dari kolam ikan yang terlihat tenang, dia pun harus berusaha tenang. Perempuan itu membuang napas perlahan, lalu memandang wajah Anfal begitu serius.

"Anfal, mulai hari ini aku akan mengizinkan Haidar untuk memanggil kamu 'Papa'."

Terbelalak mata Anfal mendengar perkataan Maira. Benarkah apa yang Maira katakan?

"Tapi ...."

"Tapi apa, Mai?"

Maira memejamkan matanya sejenak, berusaha tenang. Dia belum siap melihat reaksi Anfal setelah dia mengatakan yang sebenarnya. Namun, dia juga tidak bisa memendamnya lebih lama lagi. Perasaan ini harus segera dikatakan, tidak boleh terlalu lama dipendam, sebab Maira tidak ingin lagi membuat seseorang menyimpan harapan padanya.

Butuh keberanian besar bagi Maira memandang wajah Anfal. Wajah itu, wajah yang sejak dulu selalu diagungkan gadis-gadis. Wajah yang tidak pernah membosankan untuk terus dipandang. Pancaran mata tajam yang terlihat menawan, siapapun akan tersesat jika dibiarkan terlalu lama menatap mata seindah itu.

Keduanya saling mengunci pandangan dalam diam. Belum ada yang berani kembali memulai percakapan, suara air yang mengucur ke kolam dibiarkan mengambil alih, menjadi pemecah keheningan.

Pikiran Anfal ramai saat ini. Apa sebenarnya yang akan Maira katakan? Mungkinkah Maira akan mengatakan bahwa dia memang masih menyimpan rasa padanya, dan kini dia telah siap untuk menjadi istrinya? Namun, kenapa dia harus mengatakan 'tapi'?

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang