13. Iri

4.8K 1.1K 531
                                    

Anfal turun dari mobilnya. Membalas senyum ramah pak satpam yang berdiri di hadapannya. Dengan setelan jas hitam, tatanan rambut rapi, serta kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, membuat pesona Anfal amat memikat. Tidak heran, kedatangannya pun selalu didamba oleh para pekerja perempuan yang hanya bisa mengagumi sosoknya secara diam-diam.

"Siapa itu, Pak?" tanya Anfal sambil menyangkutkan kacamatanya pada kerah kemeja, saat melihat punggung seorang perempuan berhijab hitam yang berdiri di depan pos satpam.

"Oh, pelamar kerja, Bos. Dia maksa banget mau kerja di sini."

"Bapak terima CV-nya?"

"Enggak. Dia hanya lulusan SMP."

Anfal diam sambil terus memperhatikan perempuan itu. Hanya dengan melihat punggung perempuan itu dari jarak jauh, entah kenapa Anfal merasakan hal aneh. Sampai akhirnya, tanpa disadari lelaki itu sudah melangkah menuju pos satpam.

Pak satpam dengan sigap berusaha mencegah.

"Bos, biar saya saja yang urus. Saya akan coba usir perempuan itu."

Sungguh, pak satpam berkulit sawo matang dengan tubuh tinggi besar itu amat takut jika bosnya marah. Dia tidak tega jika sampai Anfal yang harus mengusir perempuan itu. Memang, selama ini bosnya dikenal baik dan royal, tapi jika sedang marah dia akan lebih menyeramkan dari singa kelaparan.

Namun, sayangnya Anfal sama sekali tidak menghiraukan ucapan pak satpam. Sampai dirinya sekarang benar-benar sudah berdiri tepat di belakang Maira.

"Hai."

Bahu Maira tersentak. Deru napasnya tidak beraturan mendengar suara itu. Dia mengenal suara itu, tapi tidak mungkin kan jika itu suara... Tidak! Membayangkannya saja Maira sudah tidak karuan.

"Mba, mana berkas lamarannya, boleh saya lihat?"

Maira membeku, pun dengan pak satpam.

Tidak perlu membalikan badan hanya untuk sekadar mengetahui siapa orang itu, karena dengan mendengar suaranya saja Maira sudah bisa menduga siapa dia. Karena hal itu lah, Maira segera melarikan diri. Dia tidak tertarik lagi untuk bekerja di sini, dia hanya ingin pergi sejauh mungkin agar tidak melihat wajah lelaki itu. Semoga saja lelaki itu tidak mengejarnya.

Sayangnya, apa yang Maira harapkan justru malah sebaliknya. Anfal terus mengejarnya, dan mau tidak mau Maira menghentikan langkahnya karena sudah tidak sanggup lagi berlari.

"Mau sampai kapan kamu lari dari aku, Mai?" tanya Anfal.

Rasanya tidak percaya, haru, bahagia semua bercampur jadi satu. Kali ini Anfal tidak akan melepaskan Maira lagi, tidak ada alasan untuknya akan hal itu.

Maira menunduk, berkas lamaran yang masih digenggamnya tanpa sadar sudah dia remas begitu kuat. Anfal yang menyadari hal itu, hanya bisa memandang penuh kegetiran.

"Maafin aku ...."

Kata itu terucap lagi dari mulut Anfal. Lelaki dengan ego setinggi langit itu kembali meruntuhkan harga dirinya di depan Maira. Namun, demikian lah perempuan yang telah hancur hatinya, sangat sulit rasanya untuk menerima maaf itu. Apalagi, jika harus mempercayai jika lelaki di hadapannya ini benar-benar sudah berubah.

Banyak hal yang ingin Anfal tanyakan pada Maira. Tentang bagaimana keadaannya selama ini? Di mana Haidar? Bagaimana juga kabar anak itu? Lalu, di mana Maira tinggal. Dan yang lebih utama, apakah Maira belum memiliki pasangan?

"Aku udah coba cari kamu di Bengkulu, tapi pencarian itu selalu gagal," Anfal lalu terkekeh singkat. "Sekarang, tanpa aku cari kamu udah ada di depan aku. Ternyata rencana Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya memang selalu tidak bisa disangka," lanjutnya.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang