Abbas tidak bisa berdiri dengan tenang, sejak tadi wajahnya nampak gelisah, pandangannya terus tertuju pada gerbang kampusnya, menantikan kehadiran Maira dan Haidar.
Mereka ke mana? Kenapa belum juga datang? Tidak mungkin kan Maira lupa? Tuhan tolong, datangkan lah Maira dan Haidar, karena ini hari bersejarah bagi Abbas. Abbas sangat mengharapkan kehadiran dua orang itu.
"Bas, yuk masuk aula," ajak Axel, teman seangkatannya.
Abbas menggeleng, dia belum mau masuk sebelum Maira dan Haidar datang.
"Udah Bas, masuk aja duluan, nanti gue sama Arqam yang nunggu Maira," ujar Fajar.
Arqam mengangguk. "Iya, kalau dia udah dateng, pasti langsung kita ajak ke aula kok."
Selain mengundang Maira dan Haidar ke acara wisudanya, Abbas juga mengundang kedua sahabat SMA-nya dulu; Fajar dan Arqam. Hanya mereka, dia tidak mengundang Bu Aisha dan Anfal karena belum siap jika Maira mengetahui siapa dia sebenarnya. Sejak Abbas kembali bertemu dengan Maira, Abbas langsung membagikan kebahagiaannya itu kepada dua sahabatnya. Mereka kaget, tidak percaya, dan ikut senang. Bahkan melalui sambungan video call bertiga saat itu, Arqam langsung menyeletuk ketika ingat ucapannya waktu SMA dulu.
"Percaya sama gue, kalo lo sama Maira berjodoh, kalian pasti akan bertemu lagi."
Kali ini bukan dibalas dengan gelengan, Abbas justru mengamini ucapan sahabatnya.
Karena mahasiswa lain sudah memasuki aula, dan halaman kampus pun telah nampak sepi, Abbas akhirnya melangkah mengikuti Axel dan teman-teman lainnya. Sambil terus berjalan, sesekali lelaki itu menoleh ke belakang, berharap Maira berlari tergesa memasuki area kampus dan datang padanya. Namun, harapan Abbas sia-sia, karena sampai dirinya benar-benar memasuki aula, dan acara akan segera dilaksanakan, Maira dan Haidar tidak kunjung datang.
×××
"Ma, kita gak jadi datang ke acara wisuda Paman Guru?" tanya Haidar, yang terus berjalan mengikuti langkah ibunya dengan ransel yang sebelumnya berisi peralatan sekolah, tapi telah beralih fungsi menjadi ransel penuh pakaian, sampai menjadi gendut dan sangat berat.
Ingin rasanya dia mengeluh, berteriak, lalu melemparkan ransel di punggungnya itu ke mana saja, karena dia sudah sangat lelah. Namun, jika melihat sang ibu yang bawaannya tiga kali lipat lebih banyak darinya, dia pun hanya bisa tabah, bahkan dengan sok pahlawannya menawarkan diri untuk membawa satu tas di tangan ibunya yang segera ditolak oleh sang ibu.
"Enggak."
"Kenapa?"
"Kita kan harus cari kostan."
"Tapi tadi Mama sudah banyak temuin kostan, kenapa masih cari lagi?"
Hari sudah beranjak siang, dan sudah ada banyak kostan yang Maira singgahi, tapi dia merasa tidak ada yang cocok. Bukan karena terlalu pemilih, melainkan harga kost-an mahal-mahal, yang rata-rata tiap bulannya sudah menghabiskan separuh gajinya. Sekalinya dia dapat kostan yang lebih murah, kost-an itu berada di pinggiran kali, kotor, dan bau. Jangankan untuk tinggal di sana, masuk ke gang nya saja Haidar tidak mau karena banyak premannya.
"Gaji Mama gak cukup kalau sewa kost yang mahal."
"Kalo gitu, kenapa kita harus pergi dari rumah Aunty Binar? Padahal aku senang tinggal di sana, Aunty Binar baik, Papa Galih apalagi. Tadi aja, Aunty sampai nangis karena kita pergi."
Maira berdecak.
"Kamu bisa gak sih diem aja, gak usah banyak tanya, Mama capek."
Bibir mungil Haidar langsung mengerucut, langkahnya makin pelan, dia selalu ingin menangis jika ibunya marah. Namun, sekuat tenaga dia coba untuk tidak menangis.
Karena tidak mau membuat ibunya semakin marah, Haidar pun tidak lagi bertanya-tanya, dia ikuti saja langkah kaki ibunya. Sampai ketika azan zuhur berkumandang dari sebuah masjid yang terletak di seberang jalan yang dilalui, sang ibu menarik tangannya menyebrangi jalan, menuju masjid itu.
"Kita salat dulu di sini," ajak sang ibu setelah azan selesai dikumandangkan.
Haidar mengangguk, masih berdiri ketika ibunya sudah membuka sandalnya dan duduk di ubin masjid. Maira memintanya untuk duduk. Ragu, Haidar tetap duduk di samping ibunya setelah membuka sepatunya, dengan kepala tertunduk.
Maira melihat kaki Haidar yang memerah dan sedikit lecet setelah dibuka kaus kakinya. Ini pasti karena terlalu jauh berjalan, kaki Haidar sampai merah begini. Pelan, Maira mengusap kaki itu.
"Maafin Mama, Sayang, kamu pasti cepek banget. Setelah salat, kita istirahat dan makan dulu ya," ucap Maira lembut.
"Iya."
Maira tersenyum, dalam hati merasa sangat bersalah karena sudah marah pada Haidar. Tidak ingin membuang waktu terlalu lama, dia segera mengajak Haidar mengambil wudhu. Setelah itu keduanya masuk ke dalam masjid.
Selesai melaksanakan salat, Maira membawa Haidar ke rumah makan yang terletak tidak jauh dari masjid. Sampai di sana, ketika Maira menawarkan Haidar ingin makan apa, anak itu hanya mengatakan sama dengan ibunya saja.
Dua piring berisi nasi beserta sayur dan tempe goreng dihidangkan, mereka mulai makan setelah membaca doa. Dan hingga selesai makan, Haidar masih tidak banyak bicara.
"Kamu marah ya sama Mama?" tanya Maira, setelah membayar makannya, dan pergi meninggalkan tempat makan itu.
"Enggak," jawab Haidar, jujur.
"Terus, kenapa mukanya ditekuk gitu?"
"Aku mikirin Paman Guru, Ma. Dia pasti nungguin kita."
Kita gak sepenting itu, Nak. Mau kita datang atau enggak, hal itu pasti gak akan jadi masalah buat Abbas. Batin Maira.
Maira bisa saja datang ke kampus Abbas sekarang, tapi dia merasa memang sepertinya mau dia datang atau tidak, Abbas tidak akan peduli. Lagipula, Maira merasa tidak pantas untuk masuk ke sana. Karena di sana pasti akan ada banyak teman Abbas. Apa yang akan mereka pikirkan jika Abbas mengundang seorang perempuan yang tidak berpendidikan sepertinya? Apa Abbas tidak akan malu kalau teman-teman nya bertanya? Dan lagi, perempuan bernama Sophia yang cantik jelita serta glamor itu, pasti juga akan datang, atau dia pun diwisuda juga? Ah, memang lebih baik jika Maira tidak ke sana.
"Mai, aku berharap banget kamu dan Haidar datang, karena ini hari bersejarah aku."
Maira tidak bicara apapun, dia enggan memberi janji, takutnya tidak bisa menepati.
"Maira, kok diam aja? Ya, datang ya?"
Karena Maira tidak kunjung merespon, satu-satunya cara terampuh adalah mendekati Haidar. Abbas kemudian berbisik pada anak itu.
"Hae, bantu Paman dong," ucapnya.
Haidar mengangguk antusias, lalu tersenyum pada ibunya, senyum penuh makna. Dan Maira, hanya bisa menghela napas.
"Ma ...."
"Aku usahain ya, tapi gak janji."
Abbas tersenyum lebar, segera membawa Haidar dalam gendongannya, berteriak begitu bahagia.
Maira menggeleng ketika ingat kejadian semalam. Iya, dia tidak salah, dia tidak berjanji pada Abbas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...