Bu Aisha meminta dengan sangat agar Maira mau datang ke rumah sakit, menemui Anfal, tapi Maira bilang dia sedang bekerja. Kemudian Bu Aisha segera meminta izin pada Bu Aini, dan Bu Aini pun mengizinkan Maira untuk pergi.
Setibanya di rumah sakit, tubuh Maira mendadak lemas saat melihat Anfal terbaring lemah, dengan luka-luka cukup parah, dan berbagai peralatan medis yang terpasang di badannya. Separah itu, apakah dia bisa bertahan? Itu yang Maira tanyakan dalam hatinya.
Ngilu rasanya mendengar tangisan Bu Aisha, Maira tahu, dia pasti amat takut kehilangan anak satu-satunya itu.
Melihat kondisi Anfal kritis seperti ini, membuat Maira jadi teringat Haidar. Bagaimana jika Haidar tahu? Dia pasti akan sangat sedih, karena beberapa hari lalu Haidar pernah bilang pada Maira, kalau dia menyayangi Anfal. Dia senang setiap kali Anfal datang, bermain dengannya, dan mengusap rambutnya. Katanya, dia ingin merasakan hal itu setiap hari. Ya Allah, Maira tidak sanggup melihat reaksi Haidar nanti kalau tahu Anfal saat ini.
Tidak kuasa melihat kondisi anaknya lama-lama, Bu Aisha pun mengajak Maira untuk keluar, karena memang dokter juga melarang mereka untuk berada di sana terlalu lama. Kemudian mereka duduk pada kursi yang berjejer di depan ruangan itu.
Bu Aisha masih terus menangis. Dia tidak sanggup mendengar hal yang lebih buruk lagi dari ini. Walaupun Anfal telah mengecewakan nya, tapi tidak sedikitpun rasa sayangnya berkurang, sebab hanya Anfal lah satu-satunya anak yang dia miliki. Sekarang suaminya telah berpulang, demi apapun dia tidak sanggup jika kembali merasakan kehilangan. Luka atas kepergian sang suami saja belum kering, harus kah penderitaan nya bertambah lagi? Andai nyawa bisa ditukar, ingin rasanya dia yang ada di posisi Anfal saja saat ini.
"Tante, sabar ya ...." Maira tahu ucapannya memang terdengar klise, tapi dia tidak tahu harus bilang apa selain kata itu, sambil terus mengusap bahu Bu Aisha dengan lembut, sekadar berusaha membuatnya agar lebih tenang.
"Tante gak sanggup, Mai, kalau harus kehilangan Anfal."
"Anfal akan sembuh, selama kita terus mendoakan dia."
Dengan matanya yang sembap, Bu Aisha pandang wajah Maira dengan ketidakpercayaan. Benarkah Maira mau mendoakan kesembuhan untuk Anfal?
"Kamu tau, Mai, semalam Anfal telpon Tante, dia bilang rindu sama Haidar. Makanya, dia pulang pagi-pagi sekali, agar bisa mengantarkan Haidar ke sekolah ...." Bu Aisha kembali menangis saat mengingat percakapan dengan anaknya semalam.
Anfal pekerja keras, dia tidak akan tidur sebelum segala pekerjaannya selesai. Kecelakaan ini terjadi pasti karena semalaman dia kurang tidur, lalu dini hari sudah pulang menuju Jakarta, agar bisa mengantarkan Haidar sekolah. Itulah sebabnya, dia hilang fokus hingga mobil yang dikendarainya menabrak tiang pembatas di jalan tol pagi tadi. Bu Aisha juga tidak paham, kenapa Anfal tidak pernah mau memiliki sopir pribadi, selalu saja nyetir sendiri.
"Maira, Anfal sangat mencintai kamu, menyayangi anaknya ... kalian lah sumber kebahagiaan Anfal."
Jika memang itu benar, tapi kenapa aku tidak bisa menerimanya lagi? Kenapa aku masih ragu, kalau aku akan bahagia bila hidup dengannya? Dan kenapa aku masih ragu, jika dia bisa menjadi ayah yang baik untuk Haidar?
Tidak jauh dari tempat itu, seorang lelaki yang masih mengenakan seragam dinasnya berlari tergesa-gesa setelah mendapat kabar dari sopir Bu Aisha, yang mengatakan kalau Anfal kecelakaan. Selain menghawatirkan keadaan Anfal, Abbas pun menghawatirkan keadaan Bu Aisha. Wanita itu pasti sangat sedih dan gelisah, itulah sebabnya Abbas ingin segera menemuinya dan memberinya kekuatan.
Namun, belum sampai di ruangan yang sempat diberitahukan pak sopir, Abbas segera menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik tembok saat melihat di samping Bu Aisha ada Maira. Sungguh, Abbas tidak menyangka hal ini.
Tidak, dia belum siap Maira mengetahui semuanya. Ini bukan saat yang tepat, Anfal sedang kritis, Bu Aisha sedang bersedih, tambah kacau lah keadaan nanti kalau Maira tahu siapa dia sebenarnya.
Terpaksa, dia pun tidak jadi melihat kondisi Anfal, dan memilih untuk kembali meninggalkan tempat itu.
×××
Sudah hampir siang, sebentar lagi Haidar pulang, dan betapa kagetnya Maira saat dia izin pada Bu Aisha untuk menjemput Haidar dulu, Bu Aisha malah mengatakan tidak perlu, karena dia sudah mengirim pesan pada sopirnya untuk menjemput Haidar dan membawanya ke sini.
"Tante, sebaiknya Haidar jangan diberi tau dulu, dia bisa sangat sedih mengetahui kabar ini."
"Biarkan dia tau, Mai. Dia anak yang saleh, doa anak saleh pasti selalu dikabulkan oleh Allah. Anfal berhak mendapatkan doa dari anaknya."
"Tante—"
"Tante tau, sampai sekarang kamu belum bisa menerima Anfal kembali apalagi membiarkan Haidar memanggilnya Papa, tapi bagaimanapun juga mereka punya ikatan batin yang kuat. Sekalipun kamu memilih lelaki lain untuk dia panggil Papa, tapi rasa sayang Haidar kepada lelaki itu tidak akan pernah seimbang dengan rasa sayangnya pada Anfal."
Maira tidak bisa membantah, karena apa yang Bu Aisha katakan memang benar. Sampai terakhir mereka bertemu beberapa hari lalu Anfal masih sama, lelaki yang tetap sibuk dengan pekerjaannya. Dia akan menemui Haidar paling sering tiga kali dalam seminggu, itupun terkadang tidak lama. Dan ya, kehadirannya selalu dan sangat dinantikan oleh Haidar. Namum, entah kenapa sampai sekarang Maira masih belum bisa jika menerimanya kembali apalagi untuk memulai kehidupan baru dengannya.
Seolah ada sebagian hati yang tidak terima kalau Maira kembali mencintai Anfal. Maira sungguh tidak paham kenapa hatinya bisa begini. Apakah karena sebagian hati itu sudah terlampau terluka hingga tidak bisa disembuhkan? Atau, karena sebagian hati itu telah dimiliki orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...