Satu jam sudah Maira dan Haidar berada di stasiun, menunggu kereta yang akan membawanya menuju Jakarta. Kabarnya kereta itu akan berangkat dua jam lagi, tapi mereka terpaksa berada di sini jauh lebih awal, karena tidak punya lagi tempat untuk menunggu.
Secarik kertas bertuliskan sebuah alamat yang berada digenggaman tangan, Maira pandang dengan raut serius. Dia mencoba mengingat alamat itu, takut kertasnya sewaktu-waktu hilang. Itu adalah alamat rumah Binar, yang baru menikah lima bulan lalu.
Setelah meninggalkan rumah Hanum, Maira langsung mencoba menghubungi sahabatnya itu. Dan Binar, sang sahabat pun merasa begitu iba mendengar penderitaan Maira. Dia memaksa Maira untuk tinggal di rumah barunya. Maira sudah menolak, dia tidak mau merepotkan. Karena niatnya menelpon Binar hanya untuk bercerita. Namun, Binar bilang dia akan senang kalau Maira dan Haidar tinggal di rumahnya, sebab suaminya bekerja di luar kota, jadi dirinya lebih sering ditinggal sendiri di rumah.
Di saat Maira belum mengiyakan tawarannya, Binar bahkan sudah meminta izin pada suaminya, dan sang suami langsung menyetujui. Binar sering bercerita, kalau suaminya itu orang baik dan dermawan. Jadi, Maira tidak perlu merasa sungkan apalagi takut.
"Kalo kamu nolak, terus kamu mau tinggal di mana? Mai, jangan pikirkan diri kamu aja, pikirkan juga Haidar. Udah, kamu tinggal di rumah aku aja ya? Untuk sementara deh, sampe kamu dapat kerja. Nanti, kalau udah nyampe sini aku akan bantu kamu nyari kerja."
"Gimana kalo aku gak dapat-dapat kerja?"
"Mai, kok kamu pesimis gitu sih? Ya udah, kalo kamu emang gak nyaman tinggal di rumah aku, nanti aku pinjemin kamu uang buat sewa kost."
"Gimana aku bisa bayar kalo gak kerja, Nar? Aku gak mau ngerepotin kamu."
Terdengar decakan di seberang sana. "Ini nih, yang aku sebel dari kamu. Kamu tuh ya, kayak ke siapa aja! Kita ini sahabatan udah lama, udah kewajiban buat saling bantu. Pokoknya, kamu harus cepat beli tiket kereta buat pulang ke Jakarta sekarang, aku tunggu di rumah, titik." Setelah itu panggilan terputus.
Maira mengembuskan napas berat kala mengingat percakapannya dengan Binar beberapa jam lalu. Hingga akhirnya, dia tidak tahu kali ini keputusannya benar atau salah; dirinya langsung meminta alamat rumah baru Binar, lalu menulisnya. Setelah itu, dia menjual ponselnya untuk membeli tiket kereta. Dan berakhirlah dia berada di sini sekarang, dengan perasaan yang masih gamang.
"Mama," panggil Haidar yang wajahnya mulai terlihat bosan.
Setelah mengemasi barang-barangnya, Maira langsung menjemput Haidar lalu membawanya ke mari. Anak itu bahkan masih mengenakan seragam sekolah yang dibalut jaket. Haidar masih bingung, kenapa tiba-tiba ibunya menjemputnya ketika masih belajar di kelas, lalu membawanya ke sini.
Sejak tadi mulut Haidar sudah gatal ingin bertanya mereka akan pergi ke mana, tapi melihat wajah ibunya yang terluka disertai sisa air mata di sudut matanya, membuat Haidar merasa segan untuk menanyakan hal itu.
"Kenapa, Nak?"
Haidar mengusap pelan sudut bibir Maira yang sedikit robek disertai darah yang sudah mengering. Dia ingin bertanya, kenapa wajah ibunya terluka, tapi dia takut pertanyaannya akan membuat ibunya menangis. Sudah terlalu sering dia membuat sang ibu menangis hanya karena pertanyaan anehnya, yang sialnya juga selalu berujung tidak ada jawabnya.
"Jangan sakit," pinta Haidar pelan, lalu memeluk erat tubuh ibunya.
Dia ingin melihat ibunya selalu tersenyum bahagia seperti ketika masih ada neneknya dulu. Dia tidak mau melihat ada lagi air mata membasahi pipi ibunya, karena ketika ibunya terluka, dia pun merasakan hal yang sama.
"Mama baik-baik aja, Sayang." balas Maira, kemudian mengecup puncak kepala anaknya.
"Selama kamu selalu ada didekat Mama, Mama akan baik-baik aja."
Haidar semakin mengeratkan pelukannya.
Apa kita akan bertemu Papa, Ma? Seperti apa wajah Papa? Apa mirip aku? Atau, lebih ganteng dari aku? Hehehe. Batin Haidar, bertanya sendiri, dan terkekeh geli sendiri.
"Ma, apa kita akan naik kereta itu?" tanya Haidar sambil menunjuk salah satu kereta yang ada di hadapannya.
"Iya. Kamu pasti suka, kan?"
"Tidak akan pusing seperti naik kapal kan, Ma?"
Maira terkekeh saat melihat wajah anaknya nampak panik, seperti trauma mengingat betapa tersiksanya dia berjam-jam terapung di tengah lautan.
"Enggak, kok. Diperjalanan nanti, banyak pemandangan bagus, kamu gak akan pusing, Mama yakin."
Mata anak itu langsung berbinar cerah.
"Memangnya kita mau ke mana, Ma? Apa, kita akan bertemu Papa?"
Ups, haduh kenapa Haidar malah keceplosan? Dengan cepat kedua tangannya menutupi mulutnya.
Yah, mulut, kenapa kamu nakal? Nanti Mama sedih lagi baru tau rasa!
Tanpa sadar anak itu sudah menampar-nampar mulutnya karena dirasa sudah kurang ajar. Tidak! Dia tidak mau melihat ibunya menangis lagi.
Maira menarik pelan tangan Haidar, menghentikan aksi konyol anaknya dengan senyuman kecil. Mungkin karena sudah terlalu banyak air mata yang mengalir hari ini, jadi dia tidak menangis.
"Kita akan tinggal di Jakarta, di rumah Aunty Binar, sahabat Mama yang sering telpon dan nanyain kabar kamu itu, dia orang baik. Kamu akan senang tinggal di sana."
Entah kenapa, penjelasan ibunya malah membuat dia merasa kecewa. Hilang sudah perasaan excited itu, setelah tahu jika ibunya membawa dia pergi meninggalkan kota Malang, bukan untuk bertemu sang ayah.
![](https://img.wattpad.com/cover/285117554-288-k636943.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...