Ketika sinar matahari mulai menyapa dengan hangat, senyum Abbas tidak kalah hangat saat melihat seorang perempuan berjalan bersama anaknya, menuju sekolah tempatnya mengajar.
Abbas memilih untuk menunggu dua orang itu di depan gerbang. Beberapa murid yang melewatinya pun memberi salam serta mencium punggung tangannya dengan sopan.
"Hai," sapa Abbas, ketika Maira dan Haidar berjalan mendekat.
"Abbas?" Maira terlihat keheranan saat memperhatikan Abbas mengenakan seragam cokelat seperti yang dikenakan guru-guru lain.
"Kenapa liatin aku sampe segitunya?"
"Kamu guru di sini?"
"Sampingan," balas Abbas lalu nyengir.
Maira hanya mengangguk paham, lalu kembali melangkahkan kakinya untuk memasuki gerbang dengan tangan kanan yang tidak lepas menggenggam Haidar.
"Eh, Mai! Tunggu dong!" Segera Abbas berlari mengejar Maira. Menyebalkan, kok Maira terlihat biasa saja sih?
"Haidar mau pindah sekolah ke sini?"
"Iya."
"Kelas berapa?"
"Kelas satu." jawab Maira, tanpa mengalihkan pandangannya pada koridor sekolah.
"Wah, aku juga ngajar kelas satu. Berarti, Haidar bakal jadi murid aku," ujar Abbas begitu antusias.
Haidar lalu mendongak, menatap wajah Abbas penuh harap.
"Berarti sekarang aku panggil Paman ... Paman Guru? Paman Guru gak galak, kan?"
Paman Guru? Kok terdengar lucu ya jika keluar dari mulut Haidar? Abbas menggeleng dengan senyuman manis.
"Tentu tidak, Paman adalah guru paling baik di sini." ucapnya, sekadar meyakinkan Haidar.
Haidar tersenyum. Jika dilihat dari wajahnya yang sering tersenyum, Paman Guru ini sepertinya memang baik. Jadilah Haidar percaya.
"Eum, ruangan guru di mana ya?" tanya Maira, yang terlihat kebingungan. Sejak tadi dia berjalan saja, padahal belum tahu di mana letak ruangan guru.
"Ayo ikut aku," ajak Abbas, Maira dan Haidar pun mengikuti langkahnya dari belakang.
~
Pintu kamar yang masih dikunci kembali diketuk. Awalnya pelan, tapi lama-kelamaan semakin keras karena tidak kunjung dibuka.
"Anfal! Ayo buruan! Kamu gak lupa kan sama ajakan Mama tadi pagi?" teriak Bu Aisha dari balik pintu kamar Anfal.
Anfal memutar bola matanya malas. Sungguh dia muak mendengar suara ketukan pintu itu, tapi dia juga enggan membukanya.
"Fal, bentar lagi jam delapan loh. Mama gak mau ya kalo keluarga Kamila sampe nunggu kita."
Anfal menutup telinganya menggunakan bantal ketika sang ibu menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang akhir-akhir ini sangat meresahkan hidupnya. Sungguh Anfal tidak habis pikir, kenapa coba kedua orang tuanya mesti mendekatkan dia dengan perempuan itu?
Baiklah, ayah Kamila memang sahabat baik Pak Ilyas, tapi apakah harus Anfal juga menjadi sahabat dari anak sahabat ayahnya itu? Sungguh mengherankan.
Bu Aisha kembali mengetuk pintu dengan keras. "Anfal, buka pintunya atau Mama suruh Papa dobrak pintu ini?!" teriaknya yang mulai hilang kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takut Salah Singgah
Romance(Sekuel Di Usia 16) Pengalaman pahit sekaligus menyakitkan di masa lalu membuat Maira tumbuh menjadi perempuan yang sulit untuk kembali jatuh cinta, dan beranggapan jika semua lelaki sama; manis diawal, lalu kemudian menyakiti. Jika dia terus berpik...