19. Perasaan Ini...

3.6K 976 130
                                    

Kebahagiaan itu terpancar dari wajah Haidar. Bola matanya yang indah berbinar penuh semangat ketika lelaki di sampingnya ini bilang akan membawanya jalan-jalan.

Haidar memandang takjub Anfal yang begitu lihai mengemudikan mobil mewahnya, dan kemudian anak itu kembali menatap seisi mobil. Udara dingin, kursi empuk, dan aroma wangi. Begitu nyaman rasanya dia berada di sini, dia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

"Paman, ini namanya apa?" tanya Haidar begitu penasaran, menyentuh sebuah benda yang melindungi tubuhnya.

Rasanya jika dia naik angkutan umum bersama sang ibu, tubuhnya tidak pernah diikat begini.

"Seat belt atau sabuk pengaman."

Haidar membulatkan mulutnya sambil mengangguk mengerti. Lalu dengan masih dipenuhi rasa penasaran, dia bertanya dan terus bertanya tentang benda-benda apa saja yang ada di dalam mobil itu. Dan dengan sabarnya Anfal menjelaskan satu per satu begitu detail, ketika Anfal menjelaskan, Haidar mendengarkan begitu serius. Hal itu membuat Anfal gemas, sampai-sampai tanpa sadar sesekali dia mencubit pipi tembam Haidar sambil terkekeh. Ajaibnya, Haidar sama sekali tidak marah, malah terkikik geli.

"Coba aja aku punya ayah seperti Paman, pasti menyenangkan." ujar Haidar, tiba-tiba.

Anfal seketika membisu, pandangannya kembali dialihkan ke depan.

Ayah kamu di sini, Nak. Ini ayah...

"Kenapa menyenangkan?" tanya Anfal, setelah berhasil mengontrol dirinya. Tidak. Jangan sampai dia keceplosan, dia harus menghargai perasaan Maira.

"Punya ayah pasti menyenangkan kan, Paman?" tanya dibalas tanya, karena Haidar sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan Anfal.

Anfal tersenyum kecil, lalu meraih satu tangan Haidar, dia kecup lama tangan itu penuh kasih sayang. Sungguh dia sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena masih memberi kesempatan kepadanya untuk kembali bertemu Haidar. Tanpa sadar air matanya perlahan mengalir, hingga mengenai tangan mungil yang seolah tidak mau dia lepaskan itu.

"Paman kenapa nangis?"

"Paman sayang kamu, jangan benci Paman ya?" tanya Anfal, lalu meraup udara sebanyak-banyaknya, berusaha menyingkirkan sesak di dada.

Haidar mengangguk dengan polosnya, lalu menarik tangannya yang masih digenggam tangan kiri Anfal. Kini berbalik, malah Haidar yang menggenggam tangan besar Anfal, lalu meletakkannya di pipi. Haidar memejamkan mata sekejap, menghirup aroma tangan itu, wangi. Haidar suka wangi parfum Anfal, sangat menenangkan.

Atas perlakuan Haidar, Anfal dibuat tertegun sampai dia hampir kehilangan fokus. Karena mobilnya sedikit oleng, Haidar pun segera memeluk Anfal dengan napas memburu ketakutan. Anfal terkekeh ketika mobilnya kembali dalam keadaan normal, lalu mengusap rambut anak itu, berusaha menenangkannya.

~

Dua orang satpam berlari, membuka gerbang tinggi itu lebar-lebar ketika menyadari mobil majikannya datang.

Anfal menghentikan mobilnya di halaman rumah, lalu membuka sabuk pengaman Haidar. Dia keluar, saat sudah membukakan pintu untuk Haidar, anak itu masih duduk di tempatnya dengan wajah melongo.

Rumah megah terpampang di depan mata. Bangunan berlantai tiga dengan arsitektur bergaya klasik itu hampir mirip dengan istana raja Eropa, sangat menakjubkan. Di halaman depan ada kolam di mana air mancur keluar dari sebuah patung kuda. Rumput teki tumbuh memenuhi halaman, tidak ketinggalan beraneka ragam jenis bunga yang indah. Selain itu ada juga gazebo, dan tidak jauh di depannya ayunan kayu yang terletak tepat di samping pohon mangga, sungguh terlihat nyaman untuk disinggahi.

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang