5. Menuju Jakarta

5.6K 1.1K 81
                                    

Lelaki berjaket hitam itu menyapu pandangannya ke segala penjuru, mencari kursi yang masih kosong untuk dia singgahi. Tidak lama kemudian, senyumnya mengembang indah kala melihat ada kursi kosong di depan seorang anak lelaki yang tengah tertidur dengan kepala bersandar pada bahu seorang perempuan di sampingnya. Sebelum tempat itu diduduki orang lain, dengan cepat dia melangkah ke sana.

Ransel hitam yang sejak tadi digendongnya diletakkan di sebelah, lalu dia mengambil duduk di samping jendela, berhadapan tepat dengan perempuan berkerudung navy yang tengah menatap pemandangan dari balik jendela.

Iris hitam lelaki itu langsung terbelalak kaget begitu pandangannya bertemu dengan perempuan di depannya. Saking kagetnya, dia sampai menutup mulut, menahan diri untuk tidak berteriak karena takut membangunkan anak di depannya.

Setelah berhasil meminimalisir kekagetannya, dia pun mengucek matanya beberapa kali, takut salah lihat.

"Maira?"

Sama kagetnya dengan lelaki itu, Maira pun sampai kebingungan harus mengucapkan kata apa pada lelaki di depannya. Hingga akhirnya, keadaan hening menemani sampai kereta mulai melaju.

Salah tingkah, itu yang kini Maira rasakan. Karena bingung, akhirnya Maira kembali membuang pandangannya ke jendela. Dan tiba-tiba, tawa renyah terdengar dari lelaki itu.

"Gila ya, bener apa kata orang, dunia ini emang sempit." kata Abbas, dan kembali terkekeh.

Seperti virus, tanpa bisa dicegah tawa itu ikut menyebar pada Maira. Maira kembali memandang Abbas yang masih tertawa entah karena apa.

Bahagia, rasanya Abbas amat bahagia dalam perjalanan panjang kali ini, karena selama perjalanan dirinya tidak akan mati kebosanan sebab di depannya ada Maira; temannya di masa lalu, yang menyedihkannya hanya bertahan sebentar.

"Masih ingat aku?" tanya Abbas setelah menghentikan tawanya.

Maira menggeleng tidak habis pikir. "Jangan bercanda, aku belum amnesia." balas Maira, dengan nada sedikit ketus, tapi masih disertai senyuman.

"Jadi kamu ninggalin Bandung untuk tinggal di Malang?"

Abbas tentu masih ingat kali terakhir pertemuan dirinya dan Maira di Bandung dulu, malam yang penuh aura dingin. Sampai hari-hari setelahnya, dirinya tidak bisa bertemu lagi dengan Maira.

Jika benar Maira selama ini tinggal di Malang, lalu kenapa dirinya baru bertemu dengan Maira di sini? Baiklah, Malang memang bukan kota yang kecil. Malang, kota ke-2 terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya, dan kota ke-12 terbesar di Indonesia. Namun, Abbas pikir adalah hal aneh kalau memang Maira sudah tinggal lama di sini, tapi dirinya tidak tahu. Sebab, empat tahun Abbas tinggal di Malang untuk menimba ilmu, dan selama tinggal di Malang pun dia tidak pernah banyak menghabiskan waktu di kostan. Memiliki sifat yang tidak bisa diam membuat Abbas mudah bosan jika hanya tinggal di sekitar kostan dan kampusnya, jadilah dia sering sekali berkeliling kota jika sedang libur. Dan bahkan, dia sudah hafal hampir setiap sudut kota ini.

Ya, setelah lulus SMA di Bandung, Abbas memang memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Malang. Selain karena mendapatkan beasiswa, alasan terkuat yang membuatnya ke sini adalah kepergian sang kakek. Di Bandung, setelah kakeknya wafat, dia menyewakan rumahnya. Sampai akhirnya, setiap kali libur kuliah pun dirinya tidak pernah meninggalkan kota Malang. Karena dia merasa, Malang sudah seperti rumahnya.

Empat tahun berlalu setelah lulus, Abbas pindah ke Jakarta karena dia mendapatkan beasiswa S2 di salah satu universitas yang ada di sana. Sejujurnya Abbas tidak begitu tertarik untuk melanjutkan pendidikannya, tapi karena dia bingung harus bekerja apa yang notabennya mengambil jurusan sejarah, maka dia terima saja beasiswa itu. Iya, sejak dulu Abbas memang tertarik pada dunia sejarah, tapi anehnya waktu SMA dia malah masuk jurusan IPA.

Tiga hari lalu, karena beberapa kawannya di Malang mengajak bertemu dan Abbas pun rindu pada mereka, maka selagi dirinya sedang libur, dia pun pergi ke Malang. Namun, dia tidak bisa berlama-lama di Malang karena tiga hari lagi dia akan kembali masuk kuliah. Mengingat perjalanan jalur kereta Malang-Jakarta menghabiskan waktu lebih dari 15 jam, jadi Abbas memilih tidak lama-lama di sini.

"Mai?"

Abbas menatap Maira penuh tanya, karena sejak tadi Maira belum menjawab pertanyaannya. Perempuan itu sedikit tersentak, lalu kembali tersenyum.

"Yah, kok malah ngelamun sih," ujar Abbas sebal, karena pertanyaannya diabaikan.

"Maaf, tadi kamu nanya apa?"

Abbas menipiskan bibirnya membentuk garis lurus, menatap Maira dengan raut bete. Detik berikutnya, dia kembali mengubah raut wajahnya dengan aura hangat.

"Kamu selama ini tinggal di Malang?"

Maira menggeleng. "Baru satu bulanan, dulu di Bengkulu." jawab Maira, jujur.

Abbas mengangguk mengerti. Oh, pantas saja, pikirnya. Dia memandang wajah lugu yang tengah tertidur di samping Maira, sepertinya anak itu terlihat sangat kelelahan. Apakah dia, anak Maira? Itu berarti, dia... anak dari sepupunya?

Ish! Entah kenapa Abbas selalu kesal jika mengingat lelaki yang sialnya adalah sepupu satu-satunya itu; Anfal. Memang, lelaki itu sudah berubah, tapi tetap saja jika mengingat kesalahannya di masa lalu, membuat Abbas sering kesal sendiri. Baiklah Abbas, jangan pikirkan dia, karena kamu tidak punya urusan apapun dengan masalahnya.

"Gimana kabar Bu Nur?"

Senyum Maira langsung memudar, dia kembali memandang jalanan, tidak mau Abbas melihat raut sedihnya.

"Sudah tenang di alam sana."

Abbas mengumpat dalam hati, menyesal. Harusnya dia tidak boleh menanyakan hal itu!

"Maaf."

"Gak apa kok."

Dan, keadaan canggung kembali mengambil alih.

"Kenapa kamu bisa di sini? Habis liburan?"

Kini giliran Maira yang bertanya. Sungguh Abbas tidak menyangka, Maira mau memulai obrolan dengannya? Wah, Abbas senang sekali.

"Eum, ketemu sama teman-teman aja sih."

"Kamu mau ngapain ke Jakarta?" tanya Abbas begitu ingin tahu.

"Tinggal di sana."

Tanpa sadar Abbas tersenyum lebar.

"Serius?"

"Iya."

"Di mana?"

Maira lagi-lagi tidak mengerti dengan dirinya, yang tanpa berpikir panjang langsung menyodorkan kertas alamat rumah Binar pada Abbas.

"Maira, kamu bakal tinggal di sini?" tanya Abbas, tanpa mengalihkan pandangannya pada secarik kertas itu.

"Iya. Kenapa?"

Abbas kembali memandang Maira. "Alamat rumah ini, gak jauh dari kampus aku, Mai." katanya.

Ekspresi Maira masih sama; biasa saja. Sangat kontras dengan Abbas yang terlihat begitu speechless.

"Berarti, kamu gak tinggal di Bandung lagi?"

"Aku udah gak punya siapa-siapa di sana," ucap Abbas, lalu terkekeh. "Walaupun, di mana-mana juga aku gak punya siapa-siapa sih." lanjutnya.

Maira memandangnya tidak mengerti. Apa Abbas tidak punya keluarga lagi? Entah kenapa, Maira jadi penasaran pada kehidupan lelaki itu.

Menjadi yatim piatu sejak kecil membuat Abbas sudah terbiasa hidup sendiri. Karena itulah, meski dirinya masih punya bibi, tapi dia lebih memilih tinggal di kostan sendiri. Baginya, hidup seperti yang kini dia jalani jauh lebih baik, daripada hidup penuh kemewahan tapi diselimuti rasa sesak dan tekanan, seperti yang dirasakan oleh sepupunya.

Walaupun, di mana-mana juga aku gak punya siapa-siapa sih. Kalimat itu, entah kenapa terasa begitu miris saat Maira mendengarnya. Apakah mungkin, karena dia juga mengalami hal yang sama?

Takut Salah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang