***
Sudah jam 9 malam, namun hujan belum juga reda. Dea menyibak tirai kamarnya untuk melihat keadaan diluar, namun belum ada yang berubah. Ia membuka pintu bankon itu, dan berjalan keluar, walau Dea akan terkena percikan hujan, namun ia telah melakukan ini berulang kali. Padahal hawanya semakin dingin, namun Dea tetap betah melakukannya. Ia duduk didepan pintu balkon sambil memeluk kakinya, sesekali ia menaikkan selimut yang menutupi tubuhnya.
"haa, mama papa kok belum sampe sih", ucapnya kecil.
21.09
Dea melihat jam yang tertera diponselnya yang membuat ia menghembuskan nafas lesu. Selain orang tuanya, sebenarnya ada hal lain yang ia tunggu, walau hanya sebatas notifikasi masuk. Namun ia tak mau mengakuinya.
Dea bangkit dan kembali masuk kekamarnya, ia langsung merebahkan badannya kekasur. Dea menatap langit-langit kamarnya, sepanjang jalan pulang dari pantai tadi, hatinya terasa gemuruh, ternyata begini rasanya tidak ada yang mengistimewakan. Bisa ditinggal kapan saja oleh orang lain, ya karna dia memang bukan siapa-siapa.
Dea makin tenggelam dalam pikirannya. Sebenarnya cuaca seperti ini sangat enak jika dibawa tidur, namun Dea belum bisa memejamkan matanya sesaat pun.
Tok... Tok... Tok...
Dea tersadar ketika ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ia langsung bangkit dan membuka pintu itu, sontak ia langsung tersenyum melihat siapa yang mengetuk.
"mama!", serunya sambil memeluk Dina.
Dina hanya terkekeh, "belum tidur heum?"
Dea menggeleng,"nunggu mama, laper", jawabnya sambil memegang perut nya.
"nih makanan", tiba-tiba Arif muncul sambil mengangkat totebag berisikan makanan.
"makan di kamar Dea aja ya", ucap Dina yang langsung mendapat anggukan dari Dea.
Bisa dbilang kamar Dea adalah kamar paling luas dirumah ini, kamar Dea satu-satunya kamar yang mempunyai balkon yang langsung mengarah ke lapangan Golf. Mereka duduk di sofa yang ada di kamar itu, Dea lebih memilih lesehan lantai yang dilapisi karpet tebal yang lembut.
"papa tadi ada meeting mendadak?", taya Dea.
Arif mengangguk, "iya, i'm sorry", ucapnya sambil mengelus lembut kepala Dea.
Dea mengangguk sambil mulai membuka bungkusan sumpit, "it's okay"
Mereka membicarakan banyak hal, dari mulai Dea yang datang ke acara dirumah keluarga Ara, Dea yang tadi pagi bermain kerumah Naysa, sampai siang tadi ketika Dea dan Althaf kepantai.
"hooo, kayaknya makin deket aja sama Althaf ni", goda Dina sambil membersihkan bekas saus dipipi Dea dengan tisu.
"you like him?", pancing Arif.
Dea menggeram, "ah,No!!! we just friend, lagi pula tadi Dea ditingal sendiri kok",
Dian dan Arif saling menatap, " he leave you alone?", tanya Dina memastikan.
Dea mengangguk, "heum, he leave me alone"
"kenapa?", tanya Dina hati-hati. Dea mengangkat bahunya, "i don't know, dia ada urusan mendadak katanya, yaudah Dea pesan Grab aja", Dea lebih memilih menjawab singkat, ia tak mau memperpanjang soal ini.
"oh iya, oleh-oleh buat Dea?", alih Dea langsung. Ia tak mau orang tuanya jadi ikutan sedih karna masalahnya. Ia bercerita benar-benar hanya untuk berbagi cerita, ini sudah menjadi rutinitasnya menceritakan aktivitasnya sehari-hari. Namun orang tuanya paham, bahwa anak mereka sudah dewasa, Dea bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Terkadang anak-anak memang hanya perlu didengarkan, tanpa harus memberikan saran apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADOX
Spiritual[CERITA SELESAI] ✔️ Adakalanya perasaan itu salah memilih tempat berlabuh. padahal perjalanan cinta masih jauh. Namun, ia telah lebih dulu berhenti. serasa terapung ditengah lautan, dengan keadaan hilang daratan. panggil dia Dea. Yang terpaku rasa p...