48. Feel Lose

37 11 1
                                    


***

So what about this girl right now? I mean Dea.

Yeah, she look so bad. Dea meringkuk diatas kasurnya, sambil memegang kepalanya. Rasanya sungguh lelah. Ini sudah minggu kedua, namun belum ada hasil yang berarti dari diklat yang ia ikuti.

Dea mendongak sedikit, melihat kearah meja dimana banyak kertas yang bertumpuk dan berserakan disana. Yang benar saja, hasil ujiannya semuanya dibawah rata-rata, bahkan tidak mencapai batas nilai minimum sekalipun.

Dea menutup wajahnya dengan telapak tangannya, apa yang harus ia katakana kepada orang tuanya ketika mereka kembali nanti.

Ya, orang tua Dea kembali ke Indonesia dua hari lalu, dan akan kembali hari ini. Dea bangkit dari kasurnya dan mendekati meja itu. Ia melihat mengambil beberapa kertas disana.

Ini sungguh buruk!

Dea memejamkan matanya, tanpa sadar ia sudah meremas kertas itu dengan kuat.

"Ya Allah...", lirihnya yang tanpa sadar sudah meneteskan air mata. Dea runtuh, ia duduk dilantai masih tetap meremas kertas itu.

"hiks... hiks... kenapa aku sebodoh ini", ucapnya sambil sesunggukan.

Dea melempar kertas itu sembarangan, ia meringkuk dilantai sambil sesekali menjambak rambutnya.

Bagaimana bisa semua hasilnya seburuk itu. Dea sudah berusaha sebaik mungkin, bahkan ia sangat kekurangan tidur. Dimalam hari ia hanya tidur sekitar 3 sampai 4 jam. Dan akan belajar sepanjang waktu disiang hari.

Ia terus menangis, ia benar-benar berantakan. Bukan hanya kamarnya, semuanya.

Ceklek..

Pintu terbuka membuat cahaya sedikit masuk kedalam kamar remang-remang itu.

Dina langsung melebarkan bola matanya ketika melihat anaknya sudah tergeletak lemah dilantai.

"De, kamu kenapa?", panik Dina yang baru saja sampai ke apartement dan sudah menemukan Dea dengan keadaan seperti ini.

Pintu kamar makin terbuka lebar ketika Arif masuk, Arif langsung menyalakan lampu kamar dan sungguh terkejut melihat kamar Dea yang sangat berantakan. Kertas penuh coretan dan buku berserakan dimana-mana.

Dea masih menangis dalam pelukan mamanya. "hisk... Dea gagal ma, nilai Dea anjlok, hasilnya sama sekali gak seperti yang kita rencanakan ma hiks..."

Arif ikut berimpuh disamping putrinya, ia mengambil remasan kertas yang ada didekat tubuh Dea. Arif membuka kertas itu, ia hanya menunduk. Saat ini istri sudah ikutan menangis sambil memeluk anak semata wayangnya.

Setelah beberaapa saat, Dina sudah memindahkan Dea keatas kasur. Arif juga membereskan kamar Dea yang sudah seperti kapal pecah. Setelahnya, Arif duduk kesamping tubuh Dea yang sedang tidur dipeluk oleh istrinya.

Ia mengelus surai Dea lembut, hatinya terasa hancur melihat keadaan Dea seperti ini. Apakah ia sudah menjadi orang tua yang egois sudah memaksa anaknya untuk memenuhi keinginannya.

Tanpa sadar, perlahan mata Dea terbuka, ia sedikit menggeliat membuat Dina tertegun.

"sayang....", panggil Dina lembut sambil mengusap kepala Dea.

Dea menatap kedua orangtuanya dengan mata yang sembab.

"pa, ma... nilai Dea kok jelek banget ya", liriknya lemah.

Tak tahan, Dina kembali mengeluarkan air matanya.

"jangan dipikirin ya, sekarang Dea istirahat aja", ucap Arif. Namun Dea menggeleng, ia malah bangkit dan duduk membuat Dina juga ikut bangun.

"kita berhenti aja ya, papa gak mau Dea sampe sakit karna ngabulin permintaan mama papa", ucap Dina kemudian, membuat Dea makin keras menggeleng.

"Dea udah terlanjur suka ma, pa. Kasih waktu untuk Dea sedikit lagi. Dea gak mau gagal. Mama sama Papa mau Dea ngelakuin ini dengan suka relakan, Dea udah suka, tapi Dea belum berhasil", ucapnya, air mata Dea kembali lolos dari pelupuk.

Dina sudah terdengar terisak, "jangan dipaksa nak", ucap Dina.

Dea menggeleng lagi, "Dea sama sekali gak terpaksa, Dea cuma belum mampu, Dea hanya minta waktu"

"boleh kan ma, pa", pinta Dea sambil menatap kedua orang tuanya bergantian. Ia tau, pasti orang tuanya sudah memutuskan untuk menyerah karena keadaannya sekarang. Namun ia benar-benar sudah bertekat, ia harus bisa meyakinkan orang tuanya kalau dia bisa mencapai target yang telah mereka rencanakan sebelumnya.

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Arif angkat bicara, "papa gak akan nuntut Dea apa-apa, sekarang lakukan apa yang Dea mau. Dea mau minta waku sebanyak apapun akan papa beri. Tapi tolong, tetap sehat, jangan sampai anak papa satu-satunya sakit", ucap Arif sambil mengelus lembut punggung tangan Dea.

Dea langsung mengangguk setuju, ia memeluk papanya. Walau terlalu sulit, namun ia benar-benar ingin memenuhi keinginan orang tuanya, ia sudah berusaha untuk menyukai ini, hanya tinggal berusaha untuk mendapatkan hasilnya.

***

Disisi lain, Althaf duduk termenung dipojok kamarnya. Lampunya kamarnya sudah paham, padahal ini masih jam 9 malam. Ia memutar-mutarkan ponsel ditangannya tampak linglung.

Apakah mungkin ini kutukan teman-temannya, atau ini adalah balasan atas semua perbuatannya kepada Dea.

Setelah kejadian dikantin tempo hari, Althaf belum juga mulai berbicara dengan Daffa, Althaf sadar dia salah, namun menurutnya Daffa juga salah, bukankah mereka harusnya sama-sama meminta maaf.

Althaf kembali membuka roomchat yang beberapa jam lalu sudah sepi, dan mungkin akan selamanya sepi.

Sore tadi, Althaf bertemu dengan Nabiela ditaman dekat dengan perumahan Nabiela. Niat Althaf ingin mencari teman untuk berbicara. Nasipnya yang hanya mempunyai dua sahabat, dan dua-duanya sedang marah kepadanya, ah, lebih tepatnya hanya Daffa, ia tidak tau bagaimana dengan Rafqi.

Niatnya ingin mencari teman mengobrol malah berakhir pahit, hanya untuk dirinya.

"Althaf, lo masih suka sama gue?", pertanyaan Nabiela membuat Althaf menoleh.

Tatapan Althaf tidak berubah, seakan dia tidak terkejut dengan pertanyaan itu, "masih, sampe lo ngasih jawaban yang jelas, perasaan gue gak akan berubah"

"lo bakal terima apapun jawaban gue?"

Althaf mengalihkan pandangannya, "emang jawaban lo apa?"

"ini akan menjadi jawaban pertama dan terakhir gue, dan gue gak akan ubah jawaban gue sampai kapanpun"

Althaf masih diam yang menandakan dia menunggu jawaban dari Nabiela.

"gue berusaha untuk balas perasaan lo, tapi gue tetap gak bisa. Maaf perlakuan gue seakan ngasih lo harapan. Gue Cuma mau bikin kenangan yang menyenangkan sama lo Thaf, walau akhirnya mungkin gue bakal nyakitin lo"

"setelah ini, gue gak punya alasan untuk nemuin lo lagi, dan gue harap lo bisa hapus pelan-pelan perasaan lo ke gue. Gue sadar diri, lo juga manusia, lo pasti perlu waktu. Maka dari itu, gue akan stop ngehubungi lo dan ketemu sama lo"

Tatapan Althaf sungguh tenang, namun siapa sangka saat ini dia sedang menahan marah. Marah kepada dirinya, yang sudah keras kepala. Bukannya selama ini ia tidak sadar bahwa Nabiela hanya menganggapnya tidak lebih dari teman, namun ia tetap memaksa diri untuk mendengarnya langsung dari Nabiela.

Dan sekarang, ia sudah mendengarnya langsung. Ternyata rasanya jauh lebih buruk yang dia bayangkan, ini benar-benar menyedihkan.

Althaf membuang nafas kasar ketika mengingat obrolannya dengan Nabiela sore tadi. Ia memejamkan matanya, jujur saja ia butuh tempat untuk bersandar saat ini.

Namun, ia hanya punya sahabatnya dan...

Dea.

Dea sudah menjadi tempat Althaf biasanya meluahkan isi pikirannya, namun karena kebodohannya, ia malah kehilangan Dea disaat seperti ini.

Memang benar, semua hal akan berarti ketika ia sudah hilang. Althaf merasakan itu.

"De, gue minta maaf, lo kemana sih", lirihnya kecil.

PARADOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang