❝Bukan salah jika tubuh tumbang sebelum waktunya, kadang tubuh juga lelah, merasa perlu diistirahatkan.❞
🌼🌼🌼
Ruangan serba putih mendominasi. Aroma khas farmasi tercium begitu kuat. Tubuh tertidur di atas brankar. Selang infus menancap di punggung tangan. Hari kedua perawatan. Bukan lagi di Labuan Bajo, tetapi Jakarta.
Kaki-kaki itu berlari di atas pasir, menggendong tubuh yang terkulai. Sampai di batas pantai, sebuah mobil ambulans mengangkut mereka. Membawa tubuh itu ke rumah sakit terdekat.
Malvin tak henti-henti mengelus punggung tangan Devina. Membawa kehangatan di sana. Mata itu cemas meskipun tak mengeluarkan air mata. Bams, lelaki itu juga masuk ke dalam mobil. Ah, baju-baju renang itu masih basah, tetapi siapa peduli? Malvin lebih mementingkan Devina.
Perjalanan berakhir singkat. Untung ada rumah sakit terdekat. Mereka segera membawa Devina ke IGD untuk mendapat penanganan khusus. Malvin duduk di kursi tunggu. Tak lama, Heaven datang. Lelaki itu memberikan tas berisi baju kering untuk Malvin, begitu juga tas kecil milik Devina.
"Ganti baju dulu! Gue udah telefon Om Dirga. Kalo hari ini Devina udah ditangani dan boleh flight, Om Dirga mau Devina dipindahin ke Jakarta," jelas Heaven. Malvin pun mengangguk.
"Tapi, lo yang nemenin Devina. Gue bakal maju buat jadi perwakilan sama Sephora," ujar Heaven lagi tatkala Malvin berjalan melewati koridor menuju toilet.
Devina bangun dari tidurnya. Ia bosan, tetapi tak ada daya untuk melawan kuasa Dirga. Pintu terbuka menampilkan Malvin dengan paperbag di tangan. Malvin menghampiri brankar Devina, duduk di kursi yang disediakan di sana.
"Gue bawa bubur ayam Mang Yusuf, lo mau makan?" tanya Malvin. Devina mengulas senyum tipis. Mang Yusuf adalah tempat bubur andalan mereka selama pacaran dulu. Warung bubur yang berlokasi di Senayan. Devina mengangguk. Malvin tersenyum.
"Gue suapin, ya?" tawarnya. Devina terkejut. Hendak menggeleng, tetapi Malvin lebih dulu menyahut.
"Gue diminta Om Dirga, kok. Lagian tangan lo masih lemes," sahut lelaki itu. Devina menghela napas. Ia kesal, apakah permintaan Papanya lebih penting daripada mengakui perasaan sendiri? Namun, mengingat tangannya memang masih lemas.
"Karena amanah dari Papa, boleh deh. Gue juga nggak mau lo disalahin lagi kayak tempo itu," balas Devina tak kalah mengangkat egonya.
Suapan itu memasuki mulut. Bukan rasa makanan yang dirasa, tetapi memori masa lalu menari-nari di sana. Andai sekarang masih seperti ini.
Pagi itu sekolah dimulai lebih awal karena ada kelas tambahan sebelum kelas reguler. Biasa bagi murid SMA Alexandria. Bagi yayasan, bukan hanya fasilitas yang diunggulkan, tetapi juga kualitas.
Malvin menepuk dahi. Lelaki itu menoleh ke arah Devina yang satu mobil dengannya. Mereka lupa akan kelas tambahan.
"Terus gimana?" tanya Devina. Gadis itu panik. Ia takut Dirga mengetahui soal ini.
"Bolos aja, yuk! Hari ini fisika, kamu tau sendiri 'kan sifat Bu Mila kayak gimana?" tanya Malvin. Devina menelan ludah, gadis itu mengangguk.
"Mau bolos ke mana? Kalau Papa tau gimana?" tanya Devina. Gadis itu terlalu sibuk menyikapi tanggapan Dirga nanti. Pasalnya Devina tak pernah absen. Bahkan, nama itu selalu berada di urutan teratas ranking paralel rumpun IPA, disusul oleh Malvin sebagai peringkat kedua. Ya, Devina dulu adalah murid IPA, tetapi memilih linjur agar tak satu gedung dengan Malvin karena Dirga hanya memberinya pilihan teknik atau bisnis.
Mobil itu melaju meninggalkan depan gerbang Alexandria. Mereka menjauh, Malvin punya rencana. Ia akan mengajak Devina ke festival musik di Senayan. Persoalan tiket, gampang. Lelaki itu punya chanel percaloan milenial, Micky.
Malvin benar-benar mengajak Devina ke konser itu. Raisa sebagai pengisi acara dan masih banyak solois lain. Devina bersorak gembira meskipun agak malu karena rok sekolah yang terlihat berbeda. Apalagi dominasi penonton di sini adalah anak-anak kuliahan. Namun, mereka tak peduli. Asal punya duit, kenapa enggak?
Makan siang yang terlambat. Perut Devina melilit sekarang. Malvin mengambilkan obat Devina. Lelaki itu juga memesankan dua mangkuk bubur ayam demi mudah dicerna oleh Devina. Melahap bubur enak itu. Bubur ayam 'Mang Yusuf', Devina akan mengingat nama itu. Begitu juga Malvin. Hal spektakuler terjadi di tempat itu.
Hari berlalu cepat. Mentari sudah dilahap oleh rembulan. Langit senja sudah digantikan oleh langit malam penuh bintang. Mereka baru saja pulang. Pukul delapan malam, Malvin mengantarkan Devina ke rumah megah Wijaya. Penampakan tak mengenakan ada di sana. Dirga berdiri seraya berkacak pinggang.
"Papa? Kok di luar?" tanya Devina takut.
"Masuk!" suruh Dirga terdengar menyeru. Hendak menyangkal, tetapi Dirga menatap tajam Devina sampai nyali gadis itu ciut. Devina masuk, tetapi tak benar-benar masuk. Gadis itu menguping di balik pintu.
"Kenapa baru pulang? Kata Bu Mila kalian bolos, ke mana? Vin, Om hargai kamu. Restui hubungan kalian, tetapi nggak kayak gini. Om restui dengan maksud kalian bakal rajin untuk belajar. Boleh pacaran, Om nggak ngelarang, tapi tolong jangan di jam seperti itu. Kamu ngerti 'kan maksud Om? Bisa janji buat nggak diulangi?" omel Dirga. Malvin menatap mata itu. Ia ingat, tak boleh berbicara tanpa menatap lawan bicara. Ia harus berani dan menghargai.
"Maaf, Om karena Malvin nggak kasih tau Om sebelumnya. Maaf udah bawa anak gadis Om dan ngajak bolos. Saya ngerti dan paham maksud Om. Saya sadar saya salah, saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulangi lagi. Saya akan membuat restu Om agar tidak sia-sia," balas Malvin dengan tegas. Ketegasan inilah yang Dirga suka dari Malvin. Lelaki yang bukan letoy, lelaki tegas dan berani. Lelaki yang mau bertanggung jawab.
Kali pertama Malvin dimarahi oleh Dirga. Begitu juga filosofi bubur ayam ini. Devina terus mengingat semua itu. Begitu berharga. Tanpa sadar, gadis itu meneteskan air mata.
"Dev? Kenapa? Ada yang sakit?" cecar Malvin panik. Gadis itu menggeleng seraya mengelap air matanya. Malvin menghela napas lega. Ia tersenyum, lalu membantu Devina menghapus air mata itu.
"Inget soal masa lalu, ya? Bubur ayam 'Mang Yusuf'," ungkap Malvin. Devina membeku. Bagaimana Malvin tahu?
"Kadang hal-hal unik semacam itu nggak akan pernah bisa dilupain, meskipun ratusan bahkan ribuan kali untuk melupakan. Memori akan terus melekat. Seenggak sukanya, cukup dikenang," ujar Malvin seraya menatap dalam Devina. Tersenyum kepada gadis itu. Sampai Devina memalingkan wajahnya.
"Maaf dan terima kasih," singkat Devina setelah meminum air putihnya.
"Buat apa?" tanya Malvin.
"Maaf gara-gara gue, lo nggak bisa maju mewakili lomba dan gara-gara gue juga, lo dimarahin sama Papa habis-habisan. Makasih buat lo yang udah kasih napas buatan di bawah air, gue bisa sedikit napas karena itu," ungkap Devina. Malvin mematung. Ia kira Devina tak merasakan. Ia malu sekarang. Ah, rasanya ingin membuang muka sejauh mungkin.
🌼🌼🌼
He yoo! Haduh, haduh! Kukasih harapan nih buat Malvin Devina, awokawok. Kenapa juga Devina bahas itu lagi? Ngakak sih. Jangan lupa vomment. Terima kasih.
Big luv,
Vanilla Latte.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovestuck Syndrome [END]
Romance[REAL ESTATE SERIES] Didukung playlist di spotify. Diamond Real Estate No. 7 Wijaya's Family. Pernah dengar, jika cinta pertama adalah cinta yang paling seru, lucu, bahkan terlampau sulit untuk dilupakan? Bagi sebagian orang, mungkin cinta pertama a...