Part 18 : Hujan

691 61 4
                                    

❝Hujan serta merta membawa luka itu untuk kembali. Maaf, telah melepaskan hati yang tulus layaknya dirimu.❞

🌼🌼🌼

Kisah tak akan terancam memiliki akhir yang tragis jika masing-masing mau mengerti satu sama lain. Tak bisa api dibalas dengan api, bukan menjadikan masalah selesai, tetapi malah bertambah besar. Berlagalah seeprti air, tenang dan menenangkan. Penyesalan hanya datang di akhir. Begitu juga rasa yang ada di benak Malvin. Egonya dulu terlalu menyakiti Devina.

Malvin merenung. Lelaki itu meraih sebatang rokok milik Bagas, teman dari jurusan dan angkatan yang sama. Duduk di balkon seraya menyesap asap yang bisa saja mempercepat kematiannya. Selain Aiden, Bagas juga tahu persoalannya dengan Devina, meskipun tidak sepaham Aiden yang notabene anggota inti ADC. Malvin mematikkan korek ke ujung rokok di sela bibir.

Bul! Asap mengepul ke udara. Malvin menundukkan kepala. Keinginan untuk mencari wanita lain sirna. Selama dua tahun ini, ia mengembara. Bahkan, tak jarang bergonta-ganti pasangan. Namun, ia sadar kelakuan yang seperti itu hanya membuat Devina semakin hilang rasa terhadapnya. Bodoh. Menyesal, tetapi sudah terlambat.

"Gue saranin lo minta maaf aja, kasih tau alasan lo yang sebenernya putusin dia. Gue udah pusing lihat lo yang kayak begini," saran Bagas. Lelaki itu juga menyesap rokoknya. Tangan itu bergantian meminum soda dan menyesap.

"Gue nggak yakin Devina mau balik sama gue. Citra gue udah hancur di mata Devina," balas Malvin pesimis. Lelaki itu membuang putung yang masih panjang. Malvin belum terbiasa. Kadang kala lelaki itu sering terbatuk.

"Serah lo aja, deh, Vin! Kalo gue jadi lo, apa pun hasilnya bakal gue coba. Udahlah, gue mau cabut duluan, gue 'kan ngulang mata kuliah Pak Edo," ujar Bagas. Lelaki itu membuang putung yang tinggal sedikit. Lelaki itu menyalami Malvin sebelum pergi ke kampus. Malvin menghela napas. Ia punya tugas untuk membereskan. Ini bukan apartemen Malvin, tetapi milik Bagas. Maka dari itu, ia yang membereskan karena ia ikut andil membuat sampah.

Tangan itu tergerak untuk memunguti sampah makanan ringan dan kaleng soda. Tak sampai di situ, ia juga membereskan stick game PS yang mereka mainkan semalam.

Sementara itu, di tempat lain Devina merasa risih. Bams terlalu menjiwai peran menjadi pacar pura-pura Devina. Bahkan, setiap hari lelaki itu menjemput dan mengantar dirinya.

"Bams, besok lo nggak usah jemput gue, ya. Gue bareng sama Heaven," pinta Devina dengan hati-hati. Bams yang berada di belakang setir, menyeritkan dahinya.

"Loh, kenapa, Dev? Kamu nggak sempet sarapan karena aku jemput?" tanya Bams. Devina mendengus. Sebutan 'aku-kamu' bukan di tempat umum, Devina juga merasa canggung jadinya.

"Bukan gitu. Gue masih bisa sarapan, kok. Cuma rasanya nggak enak aja. Gue rada risih, lagian kita bisa berangkat bareng dari basement. Gue nggak enak selalu ditanyain sama keluarga gue," balas Devina. Bams menghela napas, lelaki itu meletakkan tangan di atas punggung tangan Devina. Ia mengelus dan menggenggam punggung tangan itu.

"Bams, lo apaan, sih?" gerutu Devina seraya menepis tangan Bams.

"Aku cuma mau lebih meyakinkan publik soal hubungan kita. Emang kamu mau semua orang jadi curiga sama kita kalo akting kita nggak totalitas?" sangkal Bams. Devina menghela napas kasar. Sudah cukup dengan tindakan Bams yang semakin menjadi.

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang