Part 47 : Engagement's Day

914 45 0
                                    

❝Janji benar-benar ditangguhkan hari ini. Sebuah kebahagiaan tanpa batas yang membuat kata tak bisa terucap. Bahagia, cukup.❞

🌼🌼🌼

Pagi menyapa indera pengelihatan Devina. Gadis yang sudah terbangun dari tadi, kini tengah menikmati secangkir teh hangat di balkon kamar. Suasana rumah yang cukup ramai membuat Devina menggelengkan kepala. Kepala gadis itu mendadak pening. Banyak sekali kegiatan dan keramaian di bawah. Orang-orang yang mengangkat karangan bunga, dekor, bahkan pihak EO lain yang bertugas. Jika saja Devina bisa kabur, sudah kabur sedari tadi. Sayangnya, gadis itu harus dirumahkan di dalam kamar. Ah, sialan. Padahal ia ingin pergi ke suatu tempat, apalagi keadaan rumah yang kacau begini. Harusnya sewa gedung saja, tapi Dirga menolak. Toh, rumah mereka cukup luas di halaman belakang sana.

"Nyebelin banget, sih!" gumam Devina. Gadis itu menyandarkan tubuh di pilar kursinya. Sampai atensinya terpaku pada notifikasi di ponsel miliknya. Gadis itu buru-buru melihat pesan yang dikirimkan. Malvin!

From : Malvin ❤

By, kita keluar, yuk! Aku udah tunggu di depan rumah kamu. Rubicon hitam

Devina membulatkan mata. Ia sontak berdiri. Berjinggit sampai ia melihat Malvin yang melambaikan tangan kepadanya. Gadis itu tersenyum. Ia pun memberikan tanda dengan mengacungkan jempol.

Devina segera menutup balkon. Ia mengambil setelan rok pendek span berwarna mocca dengan blouse model sabrina berwarna putih. Memoles wajah dengan bedak tipis, blush on, dan liptint. Lantas menyabet tas selempang warna putih, sneakers warna putih, lalu keluar dari kamar. Tentu tidak boleh gegabah, ia tidak boleh ketahuan oleh Arinda. Bukan masalah apa-apa, tetapi ... ah, taulah!

Berjalan dengan memindik. Menuruni tangga dengan celingukan. Sebisa mungkin gadis itu berlindung di antara orang-orang yang berlalu lalang. Sampai ia menyentuh halaman depan rumah. Gadis itu mempercepat langkah untuk keluar melalui gerbang yang dibuka lebar.

"Huh!" Helaan napas kasar terdengar. Devina selamat, ia tidak ketahuan. Gadis itu buru-buru berlari ke arah mobil Malvin. Langsung masuk ke dalam, lantas mobil itu melaju. Alangkah lebih baik mengobrol saat di jalan saja.

"Keringetan gitu, kasihan banget, sih," ucap Malvin. Lelaki itu menarik beberapa lembar tisu, lalu disapukan ke wajah Devina. Sampai gadis itu mengambil sendiri tisunya.

"Abisan Mama ngeselin. Masa nggak boleh keluar? Takut aku capek katanya, tapi males juga 'kan kalo di rumah terus," gerutu Devina. Wajah gadis itu cemberut. Malvin terkekeh, ia mengelus kepala Devina lagi.

"Terus kita mau ke mana?" tanya Devina. Malvin tampak berpikir keras. Ia belum merencanakan ke mana mereka akan pergi. Menunggu Malvin berpikir, Devina menoleh ke belakang. Ia mendapati bunga yang sempat akan mereka bawa untuk makam Marina, tetapi Malvin lupa.

"Bunganya belum dibuang? Udah layu gitu. Mobilnya nggak pernah kepake, ya?" tanya Devina. Tangan gadis itu sudah menggendong buket bunga daisy yang sudah layu. Malvin menoleh, ia pun terkekeh.

"Lupa aku, By. Iya, mobilnya nggak pernah kepake. Kamu taruh belakang lagi aja, nanti aku buang," balas Malvin. Gadis itu mengangguk. Ah, seminggu lalu mereka benar-benar ke makam Marina untuk berziarah. Devina menyerit kembali, di belakang sana ada kardus-kardus besar yang tidak diketahui isinya.

"Itu apa?" tanya Devina seraya menunjuk kardus di jok belakang mobil.

"Oh, itu. Nanti kamu juga tahu, aku rasa aku tahu mau ke mana, deh," ujar Malvin. Devina mengembuskan napas. Ya sudahlah, terserah Malvin saja. Ia mengikut saja kalau begitu. Gadis itu memilih melamun, ya kejadian saat di makam terdengar lucu jika dipikirkan ulang. Sakit selama berhari-hari.

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang