Part 45 : Surat Nomor 20

626 48 2
                                    

❝Sepucuk surat nomor dua puluh telah meyakinkan untuk mengikatkan komitmen terbaiknya. Semoga pilihan kali ini tepat.❞

🌼🌼🌼

Celah-celah jendela kaca yang belum dibuka tirainya, kini telah menampakkan cahaya kuning semu oranye khas pagi hari. Suasana pulau yang cukup asri membuat kicau burung terdengar begitu jelas. Gadis yang tengah meringkuk di atas kasur resort mulai menggeliatkan tubuh.

"Hoam!" Gadis itu menguap lebar tanpa mata yang dibuka terlebih dahulu. Gadis itu bangkit, ia terduduk. Kemudian, jemari lentik itu mengambil ponsel di atas nakas.

"Jam berapa, sih?" gumam gadis itu. Perlahan ia membuka matanya. Sampai mata itu membulat sempurna saat melihat pukul berapa sekarang.

"Gila, jam tujuh! Aduh, malu gue!" seru Devina yang panik sendiri. Pasalnya ini kali pertama ia tidur sangat nyenyak. Ah, ia sampai lupa semalam melakukan apa saja dengan teman yang lain.

Gadis itu bergegas menuruni ranjang. Mandi secepat mungkin karena sudah melewatkan jam sarapan yang telah ditentukan kemarin. Tak peduli lagi dengan mandi, ia yang biasa menghabiskan waktu sampai dua puluh menit lebih untuk mandi, kini tidak sampai lima menit sudah keluar dengan kimono. Memilih baju asal yang telah ditata di lemari, Devina kembali ke kamar mandi untuk memakai bajunya.

Dress sepanjang lutut berwarna abu muda dipilihnya. Make up natural, lalu memakai sandal tanpa hak. Menyabet tas selempang kecil, lalu keluar dari kamar.

Devina terkejut. Ia mendapati Asyilla, Malvin, dan Gavin juga telat bangun. Sementara, Nevada sudah tampak segar bugar. Atau jangan-jangan memang rutinitas duda itu begadang dan tidur larut, bahkan bangun pagi pun sama sekali tidak menguras energinya.

"Kirain aku doang yang bangunnya telat," lontar Devina dengan nada yang kian mengecil.

"Loh, Devina baru bangun juga?" tanya Nevada. Gadis itu mengangguk. Pria berstatus duda itu terkekeh. Ia paling tidak paham dengan Gavin. Ke mana jiwa petualang waktu lelaki itu? Tidur pukul setengah dua belas malam, tapi masih saja loyo. Padahal bangun kesiangan.

"Ya udah, kita ke restoran aja. Kalian ini lucu banget," ajak Nevada. Asyilla yang diremehkan seperti itu langsung mencubit perut calon suaminya.

"Berisik, deh! Lagian mana ada liburan kok begadang. Yang ada liburan tidur awal biar besoknya bisa keliling. Dasar duda nggak paham style liburan!" omel Asyilla. Hal itu membuat tawa semua orang pecah. Tak luput dengan Devina yang tengah bergandengan tangan dengan Malvin. Ah, lelaki itu sangat takut jika Devina menghilang, padahal 'kan tidak begitu konsepnya. Setelah celotehan itu, mereka berlima berjalan melalui koridor, menuruni lift, lalu berakhir dengan duduk melingkar di restoran resort.

Beberapa hidangan seafood dan non seafood tersaji di atas meja berputar. Devina tampak bingung hidangan apa yang akan ia pilih. Mengambil nasi secukupnya dengan mata yang masih melihat ke arah ati ayam balado yang tampak menggiurkan, tetapi di sisi lain ada sate ayam sambal padang. Sebuah pilihan yang sulit daripada harus memilih menikah dengan Malvin atau tidak. Malvin yang melihat tatapan mupeng Devina berinisiatif mengambilkan kedua menu yang Devina tidak bisa tolak.

"Boleh milih lebih dari satu, kok. Nggak usah jaim, Kak Sisil aja nggak ada jaim-jaim kayak kamu," kekeh Malvin. Seseorang yang namanya disebut itu hanya bisa menelan salivanya. Sementara, calon suaminya menambahi kekehan di antara suasana hening itu. Devina lantas menatap Malvin dengan tajam serasa ingin membunuh. Menunduk malu, lalu memilih menikmati makanan.

"Maaf, ya, Cantik," bisik Malvin tepat di telinga Devina. Lelaki itu sempat tersenyum melihat wajah tersipu Devina. Rasanya seharian ini ia ingin sekali mengerjai Devina sebelum malam nanti.

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang