Part 13 : Pekatnya Stigma

929 87 2
                                    

Ketika hati mulai menghangat, stigma itu semakin pekat dalam paradigma masyarakat. Mungkin, memang Tuhan tak menakdirkan kita.

🌼🌼🌼

Devina berjalan di koridor sendirian. Gadis itu meninggalkan Heaven karena ada jadwal ulangan. Tak seperti biasa. Bisik-bisik mulai terdengar di telinga Devina. Bukan hal yang baik.

"Gue denger kemarin dia pelukan sama Malvin pas kumpul ADC. Padahal di sana 'kan ada Sephora," bisik beberapa kelompok di sana. Lirih, tetapi masih terdengar samar di telingan Devina.

"Gue kira selama ini orangnya baik. Aduh, mana pas pelatihan di Labuan Bajo, dia pake acara kecebur. Pasti modus biar dikasih napas buatan." Bisikan itu lagi. Devina mempercepat langkah.

"Dev!" seru seorang gadis dari arah lain. Avi, gadis itu berlari menghampiri Devina. Avi buru-buru memeluk Devina di dalam lift.

"Lo yang sabar, ya," ujar Avi. Devina hanya tersenyum miris.

"Gue yang salah. Harusnya gue abai aja kayak dua tahun lalu," balas Devina dengan nada yang pelan. Avi menatap iba.

"Udahlah, lupain aja. Gue nggak apa-apa, kok," putus Devina.

Mereka pun telah sampai di lantai dua. Lift terbuka, menampakkan banyak pasang mata yang melihat ke arah Devina. Miris. Apa yang membuat mereka percaya begitu saja? Sepersuasif itukah mulut Sephora saat berbicara?

🌼

Ulangan dari Pak Arvin sudah selesai. Hanya satu mata kuliah hari ini. Mungkin Devina akan pulang dan menceritakan semua kepada Asyilla. Namun, saat ia hendak keluar dari kelas, Heaven pun menghadang. Lelaki itu menarik Devina. Ia langsung pergi ke lantai bawah menuju basement.

"Ven! Ada apa, sih?" tanya Devina panik. Bagaimana tidak? Heaven langsung menariknya tanpa sepatah kata pun.

Suara pintu mobil ditutup adalah akhir dari pelarian mereka. Napas terengah karena harus menaiki tangga darurat untuk sampai ke basement.

"Foto lo di acara ADC sama Labuan Bajo udah tersebar di sosial media kampus," ujar Heaven. Mata Devina melotot. Gadis itu mengambil ponsel milik Heaven untuk melihat postingan itu.

"Kok bisa, sih? Pantes gue diomongin dari pagi. Siapa coba yang sebar?" Devina terdengar putus asa. Gadis itu mengembalikan ponsel, lalu menundukkan kepala. Mata ia tutup dengan kedua telapak tangan.

"Dev? Gue minta maaf," cicit Heaven. Punggung Devina naik dan turun. Sudah dipastikan bila gadis itu menangis.

"Diam dengan keterlukaan ini udah buat gue capek. Kenapa Malvin selalu bikin gue capek hati, meskipun kita udah nggak ada apa-apa?" ungkap Devina. Heaven merasa bersalah. Ia juga terlibat semalam. Begitu juga saat di Labuan Bajo. Harusnya ia yang terjun ke bawah, bukan Malvin. Heaven menghela napas. Ia mengelus punggung Devina.

"Gue bakal pikir caranya. Lo nggak perlu nangis kayak gini. Papa Dirga bisa curiga kalo lo nangis," ucap Heaven. Devina mendongakkan kepala. Hidung gadis itu memerah. Devina memeluk Heaven begitu saja.

"Apa pun itu, jangan sampai Papa tau, Ven," ujar Devina. Ia pun melepas pelukan. Mengelap air mata dan ingus dengan tisu. Menyandarkan kepala seraya menatap ke arah luar.

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang