Part 41 : Bandara

592 45 7
                                    

❝Jika hari ini aku terbang dengan burung besi itu, maka jangan lagi cari aku. Jangan terluka, ya. Semoga menemukan atma paling baik untuk menyembuhkan luka.❞

🌼🌼🌼

Pukul setengah empat dini hari, Malvin sudah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sesuai dengan keinginannya, lelaki itu akan ke Jerman. Penerbangan akan diadakan pukul tujuh pagi nanti. Malvin menatap Yeslina sendu. Adik perempuannya itu terus saja menangis atas keputusan Malvin.

"Kamu jangan nangis, dong, Dek. Kakak 'kan nggak enak lihatnya, nggak tega," ujar Malvin seraya membelai wajah Yeslina. Gadis itu menggeleng. Ia terus saja menangis.

Malvin pun menarik tubuh Yeslina ke dalam pelukannya. Rasanya memang berat, tetapi jika di sini rasa sakit di hatinya semakin menusuk. Malvin mengelus rambut Yeslina sambil mengecupi puncak kepala gadis itu.

"Harus banget pergi, ya, Kak? Yeslina sama siapa kalau Kakak pergi?" rancau gadis itu. Malvin melerai rengkuhan itu. Lelaki itu mengangguk.

"Kakak minta maaf," lirih Malvin. Tangis Yeslina semakin pecah, tetapi hari ini tidak bisa dihindari. Keputusan Malvin sudah bulat. Jefan pun segera menarik Yeslina untuk menjauh. Malvin butuh waktu untuk check-in.

"Kamu jaga kesehatan," pesan Adriana. Malvin tersenyum tipis. Lelaki itu berbalik, menarik koper untuk pergi ke check-in point.

"Jakarta dan Devina, terima kasih sudah memberikan pengalaman paling berharga," gumam lelaki itu.

Beberapa menit berlalu, lelaki yang sudah check-in itu, memutuskan untuk pergi ke salah satu kafe di sana. Costa Coffee, kafe yang berada di Gate 5 keberangkatan internasional, Terminal 3 Soekarno-Hatta. Toast dan cappuccino tersaji di hadapan Malvin. Makan terakhir di Jakarta sebelum pergi ke Jerman.

Sementara itu, di tempat yang sama Avi terkejut bukan main. Gadis yang berencana pergi ke rumah kakek dan nenek di Jerman malah bertemu dengan Malvin. Mata gadis itu terbelalak.

"Malvin mau ke mana? Anjir, kok dia malah mau pergi, sih!" gerutu Avi. Pasalnya sesuai peraturan bandara di Terminal 3, hanya penumpang yang dapat menjangkau sampai terminal keberangkatan. Beda dengan Terminal 2 domestik yang pengantar boleh jajan di toko bandara. Itu pun hanya sampai SCP 2.

Avi meraih ponsel di sakunya, lalu menekan nomor Devina. Persetan masih subuh, Devina perlu tahu. Lagipula, gadis itu semalam mengatakan akan memaafkan Malvin. Bisa sia-sia rencananya kalau Malvin malah pergi.

"Babi, ini anak masih molor apa gimana, sih?" gerutu Avi saat ia menempelkan ponsel ke telinganya.

"Aduh, setan! Lagi genting juga!" umpat Avi. Gadis itu terus menelefon Devina. Sampai di panggilan keempat, baru telefon darinya dijawab.

"Lo kenapa, sih, Vi? Mau gue anterin juga ke ban—"

"Berisik! Mending lo ke Soetta sekarang, Malvin mau flight hari ini!" seru Avi.

"A-apa? Lo serius?" tanya Devina tergagap.

"Menurut lo? Gue aja lihat dia di kafe terminal keberangkatan internasional. Kalo bukan pax, ngapain bisa masuk ke dalam, Dev!" jelas Avi. Tut! Sambungan itu terputus. Sepertinya Devina bergegas ke bandara.

"Anjir!" umpat Avi. Gadis itu terbelalak ketika Malvin hendak meninggalkan kafe. Sontak gadis itu pun mengikuti.

"Malvin!" seru Avi. Sang pemilik nama itu menoleh ke belakang.

"Avi? Lo kok di sini?" tanya Malvin yang tampak panik. Mungkin saja kepergian lelaki itu tidak ingin diketahui oleh siapa pun.

Avi yang geram pun menarik Malvin kembali ke kursi yang tadi. Avi menatap lekat Malvin dengan tatapan menusuk. Bagaimana bisa lelaki itu menyerah?

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang