❝Setelah penantian panjang yang tak pernah tahu ujungnya, akhirnya satu nyawa bersarang di dalam kehangatan sebuah cinta.❞
🌼🌼🌼
Waktu berjalan layaknya air yang mengalir. Empat tahun sudah setelah pernikahan, Malvin dan Devina harus menunggu. Mencoba berbagai cara, tetapi Devina masih saja belum dipercayakan Tuhan untuk menjadi ibu. Sedih, kalut, dan kecewa. Bahkan, sampai mereka memilih untuk tinggal di Bandung karena kondisi psikis Devina yang tidak baik. Memilih untuk memegang restoran di Bandung saja.
Pagi menyapa kala itu. Indera pengelihatan terusik karena cahaya masuk melewati celah-celah jendela yang masih tertutup tirai. Dua insan yang masih tertidut pulas, tetapi salah satu dari mereka merasa terusik. Devina, wanita yang tertidur di pelukan Malvin itu merasakan rasa tidak nyaman, terlebih di perutnya.
Devina membuka mata. Menjauhkan diri dari Malvin yang masih pulas. Duduk mengumpulkan kesadaran. Namun, tiba-tiba saja rasa mual mengerumuni perut Devina. Wanita itu bergegas menuruni ranjang, lantas berlari menuju kamar mandi.
"Huek! Huek!" Devina tidak mengeluarkan apa pun dari perutnya. Namun, rasanya begitu mual. Mata wanita itu berair. Devina menangis karena rasa tidak nyaman ini. Berulang kali membasuh mulut, berulang kali juga memuntahkan semacam air liur.
Mendengar kerusuhan dari kamar mandi, Malvin pun terbangun. Pria itu tidak mendapati Devina di sampingnya. Lantas ia berlari menuju kamar mandi. Terkejut. Pria itu melihat Devina yang mual-mual di wastafel.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Malvin dengan nada khawatir. Pria itu mengurut tengkuk Devina agar istrinya mudah mengeluarkan sesuatu di perutnya.
Setelah berkumur, Devina malah menangis. Sontak Malvin menarik tubuh Devina ke pelukannya. Menenangkan sang istri dengan mengecup, serta mengelus puncak kepalanya. Tak sampai di situ, pria itu mengelus perut Devina.
"Kamu kenapa? Ke rumah sakit aja, ya? Aku nggak tega lihat kamu kayak gini," usul Malvin. Devina menggeleng dalam pelukannya. Wanita itu sudah cukup tenang, sampai ia mengurai pelukan dari Malvin. Lantas Malvin membingkai wajah pucat istrinya itu.
"Muka kamu pucat gini. Ke rumah sakit aja, ya. Aku takut ada sesuatu yang serius sama kamu," bujuk Malvin. Devina masih menggeleng. Wanita itu memasang wajah sendu. Malvin mendengkus. Tanpa aba-aba, ia menggendong Devina meninggalkan kamar mandi. Pria itu mendudukkan Devina di atas ranjang mereka. Bersandarkan pilar dengan bantal sebagai penyangga. Malvin meraih minyak angin di dalam kotak P3K di laci nakas. Pria itu duduk menyamping di tepi ranjang. Kemudian, Malvin mengangkat baju piyama Devina, lalu mengoleskan minyak angin ke perut wanita itu. Mengelusnya berulang kali sampai Devina merasa baik. Bahkan, wanita itu sudah menyandarkan kepala di bahu Malvin.
"Hari ini aku yang masak, ya? Kamu tiduran aja. Kalau masih nggak baik sama perut kamu, kita ke rumah sakit hari ini," putus Malvin. Devina tidak bisa menolak. Sebelum pergi, Malvin membantu Devina untuk merebahkan diri. Menyelimuti tubuh istrinya, lalu mengecup dahi Devina cukup lama.
"Aku ke dapur dulu," pamit Malvin. Lantas pria itu bergegas menuju dapur.
Berkutik dengan alat masak bukan suatu hal yang sulit bagi Malvin. Jika dulu, ia pria yang akan menghindar jika melihat dapur atau pria yang akan mengonsumsi obat-obatan jika merasa cemas atas ingatan memori kehilangan tempo dulu melayang, atau pria yang akan meledak jika seseorang yang dicintai terluka karena memasak, kini sudah tidak melekat pada Malvin. Bahkan, dua menu highlight di restorannya adalah buatan pria itu. Jadi, bukan suatu masalah jika ia harus memasak di dapur. Bahkan, adanya ART hanya untuk bersih-bersih rumah karena Malvin tidak ingin mengambil risiko jika Devina sakit atau kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovestuck Syndrome [END]
Romansa[REAL ESTATE SERIES] Didukung playlist di spotify. Diamond Real Estate No. 7 Wijaya's Family. Pernah dengar, jika cinta pertama adalah cinta yang paling seru, lucu, bahkan terlampau sulit untuk dilupakan? Bagi sebagian orang, mungkin cinta pertama a...