Part 31 : Bencana

545 51 0
                                    

❝Harusnya hubungan ini biarlah seperti ini. Terlebih dengan keadaan yang tidak memungkinkan untuk mendapat ketenangan. Maaf, harusnya aku tidak menerimamu kembali dengan semudah itu. Sampai lupa arti bahaya dan bencana yang mengintai kita.❞

🌼🌼🌼

Mentari selalu menampakkan diri dengan penampilan paling indah di kala pagi. Tidak hujan, tetapi dedaunan berembun. Mungkin karena udara sejuk yang membuat gasnya berubah jadi titik-titik air. Devina meregangkan kedua tangan ke atas. Gadis itu tersenyum, tepat saat Malvin keluar dari tenda. Lelaki berusia dua puluh tahun itu melambaikan tangan kepada Devina.

"Pagi-pagi udah bucin! Dasar otak micin!" cibir Sephora yang baru saja keluar dari dalam tenda.

"Ya biarin aja, deh, Sep! Lo kenapa sih ngiri mulu? Mending cari pacar daripada nyerocos nggak jelas. Masih pagi juga," sahut Yura yang sedari tadi tengah duduk di depan tenda. Tangan gadis itu sibuk mengikat tali sepatunya. Sephora mendecak. Ia memutar bola matanya jengah.

"Nggak nyambung! Bisanya ikutan sewot. Dasar tampang cewek gaya laki!" gerutu Sephora. Saat Yura menatap tajam gadis itu, Sephora langsung menarik tangan Mauren untuk pergi. Takut-takut Yura ngamuk.

Yura terkekeh, "Baru dipelototin udah kabur. Gimana kalo dihajar?" ujarnya. Yura pun menatap ke arah Devina.

"Lain kali jangan diam aja, Dev. Jangan mau ditindas sama cewek norak kayak Sephora," usul Yura. Devina pun mengangguk.

"Makasih, ya, Yur," ucap Devina. Yura pun mengangguk. Gadis itu berdiri saat Malvin menghampiri.

"Kalian have fun, ya. Buat lo, Vin jangan lupa sama tanggung jawab," pesan Yura sebelum meninggalkan dua insan yang berhubungan dekat itu.

"Beres!" sahut Malvin seraya mengacungkan jempol.

Sepeninggalan Yura, belum ada obrolan apa pun. Keduanya masih hening. Ah, pesta api unggun yang membuat mereka harus tinggal berdua sampai kayu-kayu habis, membuat kecanggungan yang begitu kuat. Terlebih lagi Devina yang sempat ketiduran dan kata Yura Malvin mengantarkan sampai depan tenda. Malvin berdehem.

"Kamu apa kabar? Tidurnya nyenyak?" tanya Malvin yang mulai membuka percakapan. Devina mengangguk.

"Baik, kok. Nyenyak juga tidurnya. Kamu sendiri gimana?" tanya Devina balik.

"Baik juga," balasnya singkat. Devina mengangguk mengerti. Sampai mereka kehabisan topik lagi. Malvin pun berdehem kembali.

"Oh ya, hari ini ada permainan outdoor. Lumayan menantang karena adu rintangan. Kamu mau ikut? Kalau enggak juga nggak apa-apa, biar aku jelasin ke Miss Erlita," ujar Malvin. Devina merengut. Bagaimana bisa ia tidak ikut? Ia harus ikut! Lagipula, apa gunanya dia ikut camping kalau tidak melakukan apa pun?

"Aku ikut! Lagian aku udah capek-capek minta perizinan Papa, tapi sampai di sini nggak ngapa-ngapain, ya percuma, dong!" sangkal Devina. Malvin terkekeh. Lelaki itu memegang kedua pundak Devina.

"Nggak percuma, kok. 'Kan bisa berduaan sama aku," balas Malvin yang mulai bucin. Devina mendecak. Gadis itu mencubit perut Malvin.

"Udah, ah! Aku mau siap-siap dulu. Mandi sana! Bau tau, kamu belum mandi," suruh Devina. Gadis itu tahu saja kalau Malvin belum mandi. Mau bagaimana? Sehabis subuh udara tambah dingin, ya jelas ia akan memilih balik tidur daripada mandi.

Setelah Malvin kembali ke tenda, Devina pun memutuskan untuk masuk ke tenda. Gadis itu mengambil ponsel untuk menghubungi Dirga. Takut-takut Dirga menelefon dan ingin menanyakan kabar, tetapi Devina tidak tahu. Bisa panjang urusan kalau begitu.

Lovestuck Syndrome [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang