❝Jika kesalahan lama masih saja terulang di versi terbaik kita saat ini, bukankah lebih baik jika melepas adalah satu-satunya cara terbaik agar tidak saling terluka?❞
🌼🌼🌼
"Aku mau kita putus!" lontar Devina dengan satu kali tarikan napas. Tubuh Malvin yang menegang dan dikuasai amarah, kini melemah. Ucapan itu sontak membuatnya mundur beberapa langkah. Mulut menganga. Layaknya tersambar oleh petir, hati Malvin langsung merapuh. Rasa sesak menyebar di dadanya. Napas tercekat.
"Dev ...," lirih Malvin yang masih tidak percaya. Gadis yang masih meneteskan air mata itu tersenyum terpaksa. Ia menelan ludah. Menggigit bibir bawah seraya menutup mata. Devina melayangkan telapak tangan ke udara saat Malvin hendak mendekat. Devina menghela, lalu mengembuskan napas. Ia membuka mata seraya menghapus air mata di pipinya.
"Cukup, ya, Vin buat hari ini. Aku capek. Aku pikir ini keputusan yang paling tepat dan yang bisa aku ambil sekarang. Sekian kali mencoba membangun hubungan, berulang kali juga kamu melakukan kesalahan yang sama. Aku minta maaf karena aku memancing keributan ini, aku sadar. Tapi sikap kamu yang kayak tadi nggak pernah bisa aku maafin. Aku malu, Vin. Aku pernah bilang, secinta apa pun sama kamu, kalau itu menyangkut mimpi aku, aku minta maaf karena nggak bisa ninggalin itu," ujar Devina. Gadis itu menghela napas sebelum melanjutkan dialognya. Setitik air mata meluncur lagi, lantas gadis itu menghapusnya.
"Hubungan ini sejak awal adalah kesalahan, Vin. Kita nggak akan pernah bisa sefrekuensi. Kebersamaan ini bukan membahagiakan, justru menyakitkan. Kita jalan sendiri-sendiri aja, ya?" sambungnya.
"Enggak! Enggak mau, Dev! Aku minta maaf karena lepas kontrol. Dev, aku mohon!" bujuk Malvin. Lelaki itu sudah meraih tangan kanan Devina, tetapi gadis itu memalingkan wajah. Sakit rasanya, tetapi Malvin lebih dulu mengedepankan egonya.
"Lepas, Vin! Aku capek. Hari ini aku resmi melepaskan kamu," lirih Devina. Gadis itu mencoba menepis tangan Malvin, tetapi lelaki yang menangis itu menggeleng. Sekuat apa pun lelaki, air matanya akan tetap jatuh jika menyangkut orang-orang yang ia sayang.
Berhasil meloloskan diri, Devina langsung masuk ke taksi yang kebetulan lewat. Malvin sempat mengejar. Lelaki itu berlari, sampai akhirnya harus terduduk di atas jalan karena sudah tidak mampu. Begitu perih. Ini semua salahnya.
"Devina!" teriak Malvin. Sorot lampu mobil mengarah ke arahnya. Ada mobil yang berhenti di depan lelaki itu. Tak berselang lama, seorang lelaki keluar dari sana.
"Malvin!" pekik Aiden. Lelaki yang baru saja mengantarkan kekasihnya—Pinky—menghampiri Malvin. Lelaki itu membantu Malvin berdiri. Kemudian, memapah Malvin ke dalam mobilnya. Persetan dengan mobil milik Malvin, nanti juga ada yang mengurus. Tidak mau menanyai banyak, Aiden memilih untuk pergi ke apartemen. Bukan tanpa alasan Malvin seperti ini. Pasti ada masalah besar yang terjadi pada lelaki itu.
Sementara itu, Devina menangis di sepanjang perjalanan. Hujan turun malam ini. Gadis itu membeku di dekat jendela mobil. Ia menatap ke arah luar. Air mata itu tak pernah sekalipun ingin berhenti mengalir.
"Maaf, Mbak. Udah sampai," tegur seorang sopir di depan sana. Devina menggelengkan kepala. Ia mencoba meraih kesadaran lagi. Gadis itu mengelap air mata, lalu memberikan uang kepada sopir.
"Makasih, Pak," ujar Devina. Gadis itu keluar dari taksi. Ia mengambil lari kecil di antara hujan.
"Non Devina baru pulang? Kok sama taksi, Non?" tanya Pak Sabdo seraya memberikan payung setelah membuka gerbang.
"Iya, Pak. Makasih payungnya," balas Devina. Gadis itu tidak membalas pertanyaan Pak Sabdo lain, persetan ia sedang di suasana tidak baik sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovestuck Syndrome [END]
Romansa[REAL ESTATE SERIES] Didukung playlist di spotify. Diamond Real Estate No. 7 Wijaya's Family. Pernah dengar, jika cinta pertama adalah cinta yang paling seru, lucu, bahkan terlampau sulit untuk dilupakan? Bagi sebagian orang, mungkin cinta pertama a...