1

3.1K 202 10
                                    

***

Wajahnya yang dihiasi lipstik merah mempesona dijuluki Mrs. Twig, bukan karena ia punya ranting di wajahnya, bukan juga karena tubuhnya bercabang seperti ranting-ranting pohon. Mrs. Twig, punya banyak ranting dalam hidupnya, sangat banyak hingga hidupnya bisa disebut pohon raksasa.

Mrs. Twig tinggal di sebuah apartemen kelas menengah di kotanya. Ia hidup di unit yang hanya punya satu kamar tidur di dalamnya. Liftnya yang tua sering macet, membuatnya harus naik turun tangga hingga tubuhnya jadi seramping ranting. Namun tidak seperti tempat tinggal yang bobrok, penampilan dan wajahnya luar biasa mempesona. Setiap hari tubuhnya dibalut pakaian sehalus sutra, lehernya diikat perhiasan bercahaya, wajahnya dipoles krim-krim jutaan. Penampilan dan tempat tinggalnya sangatlah kontras, bak sebongkah berlian dalam kubangan kotor lumpur busuk.

"Lisa yang tinggal di unit 108 seorang pelacur, dia simpanan pejabat-pejabat tua kaya raya. Penguras uang mereka," begitu pendapat para tetangga tentang Mrs. Twig. Pendapat yang tidak lagi terasa tajam bagi Mrs. Twig. Pendapat yang bisa dengan mudah ia abaikan.

Mrs. Twig lulus dari universitas kecil di luar negeri, namun ijazahnya tidak berguna di kotanya. Meski ada embel-embel Amerika Serikat dalam ijazahnya, tidak banyak yang mengenali nama universitasnya itu. Tidak ada yang mampu melihat potensi kepalanya hanya dalam beberapa menit interview kerja. Tidak sampai di sana, kemalangannya terus berlanjut hingga akhirnya ia berhasil menciptakan tempat untuk dirinya sendiri. 

Lisa mendapatkan julukan Mrs. Twig itu setelah dua belas tahun menanam pohonnya sendiri. Ia tanam sebuah biji kecil di pekarangannya, merawatnya, memberinya air sampai pupuk hingga pohon itu berhasil membentuk banyak ranting-ranting manis di atasnya. Namun hanya menjadi sebuah pohon besar di pekarangan rumah, tidaklah cukup baginya. Ia ingin terus tumbuh. Ia ingin jadi semakin tinggi. Ia ingin ranting-rantingnya jadi semakin rindang. Karenanya, malam ini ia menerima tawaran itu.

"Hubungkan aku dengan DOG," ucap seorang pria berjas yang duduk di hadapan Mrs. Twig, di dalam sebuah restoran jepang dengan sashimi mewah diantara mereka.

"DOG? Kedengarannya tidak asing," balas Mrs. Twig, duduk di atas bantal dengan sandaran punggung sembari mengambil sepotong ikan mentah dengan sumpitnya. "Berapa komisiku? Apa pertemuan itu untuk pemilu selanjutnya? Kapan pemilu selanjutnya? Ah tiga tahun lagi? Sebentar lagi," tanyanya, mencicipi ikan segar nan kenyal itu dengan sedikit saus.

"Sebuah tas?"

"Heish... DOG lebih mahal itu. Melacaknya saja butuh banyak uang," balas Mrs. Twig, kali ini sembari menggerakkan sumpitnya ke kanan dan ke kiri, ia mengatakan tidak dengan benda ramping itu. "Aku ingin satu tas untuk mencarinya, satu tas untuk mendekatinya dan satu tas untuk membujuknya agar mau bertemu denganmu, Tuan Kim," tawarnya.

"Aku tidak bisa memberimu sebanyak itu-"

"Baiklah, kalau begitu, jangan DOG. Aku kenal banyak pengusaha lain yang bisa memberimu sedikit dana kampanye. Bagaimana?"

"Dua tas dengan satu tas kosong. Tidak bisa lebih banyak dari itu."

"Harus DOG?"

"Hm..." angguk si pria paruh baya yang sama sekali tidak menyentuh sashimi di hadapannya. "Harus DOG," tegasnya membuat Mrs. Twig menerima tawaran itu dengan sebuah anggukan kecil.

"Tapi siapa calonnya kali ini? Siapa yang anda dukung kali ini, Tuan Kim?" tanya Mrs. Twig, yang sayangnya tidak diberikan jawaban apapun. "Hm... Baiklah, cepat atau lambat aku juga akan tahu. Kalau begitu, kita sepakat. Aku akan membawakan DOG untukmu, Tuan Kim," susulnya, lantas bangkit, berpamitan, meninggalkan restoran super tertutup itu. "Terimakasih untuk makan malamnya," pamit Mrs. Twig.

Mrs. Twig pengangguran. Ia hanya gadis pekerja serabutan yang datang setiap kali Tuan Kim, Tuan Park, Tuan Jung atau tuan dan nyonya lain memanggilnya. Ia tukar koneksinya, ia tukar informasi yang dimilikinya dengan beberapa tas berisi uang. Awalnya hanya koneksi-koneksi kecil. Awalnya hanya mempertemukan anak-anak konglomerat dengan penjaja bubuk kebahagiaan. Awalnya hanya mempertemukan para pemilik pabrik yang didemo buruhnya dengan penyedia jasa keamanan. Namun entah sejak kapan, rantingnya mampu meraih para King Maker yang butuh dana kampanye.

Lepas menemui klien paling berharganya, ia langkahkan kakinya masuk ke sebuah kelab malam. Hanya dengan tersenyum pada penjaganya, gadis itu berhasil memotong antrian. Tanpa menunjukan kartu identitasnya, ia melenggang masuk, melewati segerombolan orang yang sedang menari, melewati gelas dan botol-botol minuman keras yang didentingkan, sorakan-sorakan bahagia seolah tidak lagi ada hari esok memenuhi telinganya. Mengalun bersama musik keras yang memabukan.

"Katakan pada bosmu, aku ingin bicara padanya," ujar Mrs. Twig, pada seorang bartender dingin di hadapannya. "Dan beri aku segelas whiskey, dengan es yang diukir," pintanya sembari memutar kursi barnya, memunggungi si bartender kemudian memperhatikan lautan kebahagiaan.

Gaun ketatnya yang berwarna merah, menarik perhatian beberapa pria. Membuat seorang pemberani berjalan menghampirinya. "Apa kau datang sendirian, nona?" tanya si pemberani, duduk di sebelah Mrs. Twig.

"Ya."

"Apa kau tidak keberatan kalau aku menemanimu?"

"Apa yang bisa kau berikan padaku?"

"Ah... Pelacur?" si pemberani kemudian menatap remeh pada Mrs. Twig.

"Mrs. Twig," tegur sang bartender dingin tadi, membuat si seksi bergaun merah langsung menoleh, mengabaikan tatapan remeh pria pemberani tadi. "Bos ada di ruang VIP satu," lanjut si bartender.

Kini Lisa berdiri, meraih gelas whiskey-nya, menenggaknya sampai habis lantas menatap pria pemberani tadi. "Ah... Miskin?" Mrs. Twig balas menatap remeh pada pria pemberani tadi.

Tersinggung, pria pemberani itu mengulurkan tangannya, hendak menahan pelacur bergaun merah yang menghinanya. Kulitnya hampir bersentuhan dengan kulit Mrs. Twig, namun lengan panjang si bartander yang memegang alat ukir es tajam sudah lebih dulu menghalangi mereka. Si bartender yang terlihat dingin itu, meremas bahu si pria pemberani, memintanya menahan diri dengan sangat sopan. Tapi tidak hanya sampai di sana, ia juga mengarahkan sisi tajam alat ukir esnya tepat ke leher si pria pemberani.

"Jangan sampai anda menganggu wanita yang salah, Tuan. Silahkan nikmati saja whiskey anda, free," tenang sang bartender, menciutkan keberanian pria pemberani itu.

Mrs. Twig sudah menghilang di ujung tangga. Ia naiki sebuah tangga besi yang melingkar di ujung bar, menyapa penjaga di di awal lorongnya, menyusuri lorong itu, melewati pintu-pintu besar yang tertutup rapat. Kemudian kakinya berhenti, berdiri di pintu paling ujung, di depan ruang VIP 1. Untuk beberapa detik, Mrs. Twig berdiri di sana. Mengatur nafasnya, mempersiapkan diri seolah ia akan menyelam di lautan dalam. Tabung oksigen di antara paru-parunya ia persiapkan, lantas tangannya mendorong pintu menuju lautan sesak itu.

Empat orang pria, tiga diantaranya sudah mabuk dan delapan wanita hampir telanjang ada di dalam ruang VIP yang luas itu. Sebagian dari mereka bernyanyi, menari dengan mesin karaoke standar. Botol-botol kaca, gelas-gelas mewah, buah-buahan premium, rokok-rokok berasap dan beberapa alat suntik ada di atas mejanya.

"Mau bersenang-senang Mrs. Twig?" tanya seorang pria yang masih sadar. "Mau minum? Hanya cola," tawarnya, mengulurkan sekaleng cola diet pada Lisa yang baru saja masuk.

"Tidak. Aku sedang mencari seekor anjing. Aku ingin tahu apa kau bisa membantuku, Bos?"

"Anjing?" ulangnya. "Chihuahua yang kecil dan berisik, Puddle cantik, Labrador kuat atau Husky yang eksklusif?" tanyanya, merujuk pada anak konglomerat manja, artis mempesona, polisi dan orang-orang berkuasa.

"Hanya anjing. DOG."

"Ya? Kau mabuk?"

"Mungkin kau yang mabuk, Bos."

"Kalau ingin bertemu dengan Tuhan, kau harus mati lebih dulu, kau tahu itu, 'kan?"

"Tuhan? Kenapa?"

"DOG, GOD."

"Ah... Dibalik? Jadi di mana aku bisa menemuinya? Kuil? Gereja?"

"Tidak tahu. Tidak ada yang tahu."

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang