15

776 153 1
                                    

***

Tidak semua orang yang ada di kasino adalah penjudi. Tidak semua orang yang bekerja di kasino adalah penipu, tapi di beberapa meja mereka duduk bersama— penjudi dan penipu. Sebelumnya Lisa hanya penipu kecil, yang di sewa oleh satu atau dua orang untuk mengisi kursi kosong di meja judi. Si pengisi yang bertugas mencurangi meja judi, menebak kartu yang dimiliki penjudi lainnya, menaikan taruhan dan memastikan penyewanya jauh dari kata bangkrut.

Bagi Tuan Ji, kasino saja tidak cukup menguntungkan. Nilai tukar chips, menjajakan minuman, camilan sampai wanita tidaklah cukup untuk mengisi dompet pria itu. Memanfaatkan ceruk dosa dari para penjudi— nafsu dari rasa percaya diri— Tuan Ji menaruh beberapa mesin cetak uang otomatis di kasinonya, beberapa penipu juga rentenir. Tanpa mesin pencetak uang, kasino hanyalah sebuah tempat bermain. Sama seperti game center yang disukai anak-anak, sama seperti taman hiburan dengan berbagai wahana.

Cara kerja mesinnya sederhana. Seorang penipu diletakan di salah satu meja judinya. Bermain di sana seolah ia hanyalah pengunjung tetap kasino itu. Tuan Ji akan memberi penipu itu cukup uang untuk bertaruh, karenanya sang penipu tidak perlu khawatir meski ia kalah di awal-awal permainan. Kemudian begitu waktunya tiba, ketika semua orang mulai percaya diri dengan keberuntungan mereka, sang dealer akan memberikan kartu terbaiknya pada si penipu. Memberi kesempatan penipu itu untuk mendapatkan kembali semua uang di meja itu. Selanjutnya, begitu ada seseorang yang bangkrut, mesin pencetak uang lainnya datang— rentenir. Menenangkan, membujuk, memberi suntikan dana agar si penjudi bangkrut bisa ikut permainan selanjutnya, kurang lebih begitu tugas rentenirnya. Menjebak korbannya dengan iming-iming keberuntungan, kemudian mengikat kakinya dengan bunga pinjaman super tinggi hampir tidak masuk akal.

Setelah memutuskan untuk bekerja pada Jiyong— menjadi seorang penipu di kasino barunya— Lisa memutuskan untuk pindah rumah. Tidak seperti kebanyakan orang yang harus mencari sendiri rumah baru mereka, Lisa meminta Jisoo untuk mencarikannya sebuah rumah kecil di dekat pantai. Lisa tidak peduli berapa uang sewa tahunan rumah itu, ia tidak peduli bentuk dan rupa rumahnya. Ia hanya butuh tempat untuk tidur dan ia ingin tidur di tepi pantai. Setelah beberapa hari mencari, Jisoo akhirnya menemukan sebuah rumah.

"Apartemen studio di lantai empat dengan pemandangan laut. Gedungnya punya lima belas lantai, tapi lantai enam sampai lima belasnya penginapan. Lift apartemen dan hotelnya jadi satu. Sewa tahunannya sudah termasuk perabotan di dalamnya, ranjang, lemari meja dan sofa. Kamar mandinya kecil, hanya ada shower, westafel dan closet. Bagaimana?"

"Aku akan mengambilnya," jawab Lisa. "Akan ku bayar lusa, saat aku ke sana. Terimakasih, aku ingin kembali tidur sekarang, good night," sapanya lesu, membuat Jisoo langsung menatap jam dinding di depannya, saat itu sudah pukul sembilan pagi.

Sementara itu di tempat lain, Kwon Jiyong baru saja tiba di sebuah pondok di tepi tebing. Pria itu keluar dari mobilnya begitu mobilnya berhenti di pekarangan pondok. Ia melangkah menghampiri pondok itu kemudian berdiri di hadapan seorang pria paruh baya seusai ayahnya. Pria itu tidak terlihat senang saat melihat tamunya datang, namun ia tetap membuka pintu gudangnya kemudian membiarkan tamunya masuk ke sana.

"Apa yang terjadi sampai transaksi minggu lalu gagal?" tanya Jiyong, yang justru di abaikan. "Kau tahu berapa kerugianku karena kau gagal mengantar pesanannya? Memang kenapa kalau pembelinya anak-anak? Mereka punya uang," susul Jiyong, yang sialnya tetap diabaikan.

Di dalam gudang itu Jiyong melihat beberapa pria lainnya. Mereka berdiri, tersebar di dalam gudang, memperhatikan Jiyong dengan tatapan penuh kewaspadaan. Dengan angkuh sang tamu berdiri di tengah gudang, menatap sekeliling kemudian mendudukan tubuhnya di atas sebuah meja kayu dengan beberapa senjata yang belum dirakit di atasnya. Senjata yang baru saja datang dan akan dikirim lagi ke tempat lain.

Dari sakunya, Jiyong mengeluarkan selembar foto. Foto Lisa di depan gedung apartemennya dengan jaket dan celana olahraga hitam. Gadis itu menutupi rambutnya yang panjang dengan hoodie jaketnya, dalam fotonya gadis itu menunduk, memperhatikan tali sepatunya yang belum terikat.

"Kau benar Detektif Park," ucap Jiyong kemudian. "Rekanmu, Lee Byunghun,  mengawasi putrimu. Putra Detektif Lee berkeliaran di sekitar putrimu. Kurasa mereka saling mencintai, tapi tidak bisa bersama, kasihan sekali. Tapi tidak perlu khawatir, aku akan membawa putrimu kesini, seharusnya dia datang besok lusa," cerita Jiyong.

"Dia baik-baik saja kan?" tanya pria itu, masih memandangi foto putrinya, sedang Jiyong sibuk bermain dengan senjata api di tangannya. Jiyong rakit senjata api itu, membongkarnya lagi, kemudian merakitnya lagi. Gerak tangannya jadi semakin cepat setiap detiknya.

"Menurut standarku dia baik. Dia sehat, punya uang, punya banyak barang mewah, punya rumah," jawab Jiyong, sembari menggerakkan kepalanya, menyuruh Kang Daesung untuk memberikan semua berkas yang mereka miliki tentang Lisa. Sekumpulan foto-foto gadis itu dan semua detail yang bisa anak buah Jiyong kumpulkan. "Tapi, kenapa kau memintaku mencarinya? Kau tahu aku sibuk. Kau juga bisa mencarinya sendiri," susul Jiyong, membidik kepala seorang anak buah Detektif Park dengan pistol yang sudah beberapa kali ia bongkar dan rakit kembali. Kalau bukan karena hubungan masa lalu mereka, Jiyong tidak akan mau meluangkan waktu sibuknya untuk mencari putri detektif tua itu. 

"Aku sudah mati."

"Lalu? Kau tidak akan menemuinya? Lalu untuk apa mencarinya? Kau sakit?"

"Kau benar-benar cerewet, sangat berbeda dengan ayahmu," komentar Detektif Park.

"Benarkah?" tanya Jiyong. "Putrimu juga bilang begitu, aku masih punya kesempatan untuk tidak hidup seperti ayahku. Karena itu aku sedang menimbang-nimbang, haruskah aku menikah?" susulnya, membuat pria tua yang sepantaran dengan ayahnya itu langsung menoleh, menatap Jiyong dengan mata tajamnya. "Hm... Kau benar, aku berfikir untuk menikahi putrimu," angguk Jiyong membuat Detektif Park langsung naik pitam.

"Ya! Sialan! Jangan dekati putriku! Bajingan sialan! Aku hanya menyuruhmu mencarinya, bukan-"

"Aku tidak sedang meminta izinmu," potong Jiyong, menempelkan ujung pistol di tangannya tepat ke dada mantan detektif yang kini menarik kerah bajunya. "Awalnya aku hanya ingin menidurinya. Sayang sekali kalau aku melewatkan tubuh seperti itu, iya kan? Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk menemukannya. Tapi setelah aku pikir-pikir, sia-sia kalau aku hanya merasakan vaginanya. Bukan hanya tubuhnya, otaknya pun berguna. Dia jauh lebih pintar darimu, istrimu pasti genius. Dan yang paling aku suka darinya, dia tahu dimana tempatnya. Tidak sepertimu," ancam Jiyong, tersenyum pada pria-pria di dalam gudang yang kini bersiap menghancurkannya. Semua orang ada di mode siaga sekarang, siap berkelahi kapan pun loncengnya dibunyikan.

"Jangan ganggu putriku, sialan," kesal Detektif Park, menekan semua kata dalam kalimatnya untuk menggambarkan suasana hatinya sekarang— marah, sangat marah.

"Sebenarnya, siapa yang menggangu siapa? Kau lupa caranya menggonggong? Sepertinya kau sudah terlalu lama jadi anjing rumahan. Putrimu ada padaku, jadi ingat-ingat dimana tempatmu kalau kau tidak ingin dia terluka," ancam Jiyong sekali lagi.

Kini ia letakan pistol di tangannya ke atas meja. Lalu dari tangannya yang lain, ia berikan sederet peluru yang harusnya dipasang pada pistol tadi ke tangan Detektif Park. Jiyong tidak berencana membunuh seseorang hari itu. Ia hanya kesal karena Detektif Park bersikap terlalu angkuh padanya. Meski pria tua itu yang punya urusan, selalu Jiyong yang harus datang. Kini pria itu mulai merasa muak karenanya.

"Ini karena transaksi sialan itu? Kau tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau menjual senjatamu pada anak-anak? Orang yang tidak bersalah bisa mati!"

"Bukan karena putrimu hampir di tembak anak-anak yang membeli senjata?" sela Jiyong, tidak membiarkan pria tua itu memarahinya seperti bagaimana ayahnya sering memarahinya. "Sekali lagi ada transaksi yang gagal, tidak ada toleransi meski untukmu sekalipun. Detektif Park, paman, apapun itu, kau hanya berteman dengan ayahku, aku tidak pernah punya kewajiban untuk memanjakanmu."

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang