13

735 154 5
                                    

***

Jiyong memperhatikan Taeyong pergi bersama dua orang gadis. Ketiganya masuk ke dalam sebuah taksi yang kebetulan lewat kemudian melaju menjauh. Sedang Lisa tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Tuan Ji kemudian menghampirinya, ia lihat Mrs. Twig yang menundukkan kepalanya seolah tengah menangis. Tapi di detik selanjutnya, gadis itu justru menatap Tuan Ji, tersenyum padanya kemudian terkekeh. "Aku benci sekali orang-orang yang membicarakan keluargaku," ucapnya, melepaskan jas Taeyong yang tersangkut di bahunya kemudian mendorongnya masuk ke tempat sampah. "Bagaimana ini? Sepertinya aku tidak bisa menemanimu malam ini, Tuan Ji, suasana hatiku benar-benar buruk sekarang," sesal gadis itu.

"Kalau begitu aku yang akan menemanimu," santai Jiyong, pria itu tersenyum, kemudian memberikan jaketnya pada Lisa, memakaikan jaket itu sampai memasangkan resletingnya, memperhatikan gadis itu dari ujung rambut sampai ke kakinya kemudian kembali menatap wajahnya. "Kau tidak bisa berjalan jauh dengan sepatumu, duduklah, kita harus memesan taksi."

"Kemana kita akan pergi?" tanya Lisa, memasukan lengannya pada lengan jaket Jiyong, agar tangannya bisa bebas bergerak, tidak tertahan oleh jaket mengikatnya.

"Minum-minum untuk melupakan masalahmu?"

"Aku tidak terlalu suka alkohol."

"Kalau begitu, berbelanja? Biasanya wanita menyukai itu," tawar Jiyong, sembari memesan sebuah taksi dengan handphonenya.

"Aku juga tidak suka pergi belanja."

"Lalu apa yang kau lakukan saat suasana hatimu sedang tidak begitu baik?"

"Tidak ada. Hanya diam."

"Narkoba?"

"Tidak. Benar-benar hanya diam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Hal-hal yang sebelumnya menyenangkan, sekarang tidak lagi terasa begitu."

"Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menghibur seorang wanita, tapi aku punya waktu untuk mencobanya sekarang," balas Jiyong yang setelah memesan sebuah taksi justru menelepon putrinya.

Di rumah, Somi yang baru tiba langsung menjerit karena panggilan itu. Ayahnya hampir tidak pernah meneleponnya. Somi bahkan sempat ragu kalau ayahnya itu menyimpan nomor teleponnya. Kang Daesung yang mendengar jeritan Somi lantas menghampiri gadis itu di ruang tengah dan dengan sedikit gelisah Somi menunjukan layar handphonenya. "Bagaimana ini, paman? Appa meneleponku," gugupnya, yang dengan ragu menjawab panggilan itu. "Appa sungguh, aku minta maaf, aku tidak akan kabur lagi, aku tidak akan berulah lagi, aku tidak ingin kembali pada wanita itu lagi! Appa sungguh aku-"

"Ya, ya ya, aku sudah dengar," potong Jiyong. "Somi-ya, apa yang kau lakukan saat sedang sedih?"

"Ya? Apa?" bingung Somi, membuat asisten Kang ikut penasaran. "Paman, ada apa dengan appa? Apa dia jadi gila karena kasino yang sering kalian bicarakan itu?" bisik Somi keheranan.

"Jangan buat aku mengulang pertanyaanku," ketus Jiyong, masih berdiri, menoleh pada Lisa yang hanya diam menatap kuku-kukunya yang dicat hitam dengan garis-garis merah.

"Saat sedih aku menemui temanku-"

"Tidak punya. Lainnya."

"Aku punya teman!"

"Hal lainnya! Apa yang kau lakukan kalau tidak bisa melakukan itu?!"

"Tidak ada! Kenapa kau berteriak padaku?!"

"Kenapa kau terus membuatku kesal?! Apa membuatku marah menyenangkan untukmu?! Sudahlah! Lupakan saja!" marah Jiyong, mematikan panggilan itu lalu tidak sengaja bertemu tatap dengan Lisa yang mendengarkannya. "Maaf, aku ingin menghiburmu tapi justru aku yang kesal," senyum Jiyong, menyimpan kembali handphonenya ke dalam saku celananya. Kini ia menyerah mencari tahu.

Selang tiga puluh menit, mereka tiba di depan sebuah rumah sakit. Jiyong yang punya ide untuk pergi ke sana. Lisa sempat bingung, namun sembari melangkah memasuki halaman rumah sakit itu, Jiyong memberitahu Lisa alasan mereka pergi ke sana. Terdengar sedikit kejam, tapi Jiyong merasa sedikit terhibur ketika melihat seseorang yang lebih malang darinya.

Keduanya berdiri di sebrang UGD, melihat beberapa orang yang sibuk di dalam sana. Para perawat yang sibuk mengurus pasien, para dokter yang mengecek pasiennya, orang-orang yang terluka di atas ranjang-ranjangnya. "Saat kecil ayahku sering memukulku. Bahkan meski tidak di pukul olehnya, aku memang sering terluka. Jadi aku sering masuk ke UGD. Saat itu, setiap kali masuk ke sana, aku merasa sedikit terhibur. Ah... Bukan hanya aku yang terluka, bukan hanya aku yang kesakitan, siapapun bisa terluka, siapapun bisa sakit, pendeta, dokter, guru, polisi, orang baik, orang jahat, semua orang bisa terluka, perasaan seperti itu yang menghiburku saat itu," cerita Jiyong.

"Aku pikir kau suka rumah sakit karena di sinilah anakmu lahir?"

"Tidak," geleng Jiyong. "Aku tidak tahu dimana dia lahir, kapan dia lahir. Sampai tujuh tahun lalu aku bahkan tidak tahu kalau aku punya anak. Saat itu, aku tidur dengan seorang pelacur lalu sepertinya dia mengandung anakku dan melahirkannya."

"Seorang diri? Sepertinya dia ibu yang baik. Ibuku pergi dari rumah saat aku masih kecil, nenekku bilang dia kesulitan karena harus membesarkanku seorang diri, saat itu ayahku sibuk bekerja," komentar Lisa.

"Ibu yang baik atau justru sebaliknya, aku tidak tahu. Aku tidak pernah hidup bersamanya, aku tidak tahu seperti apa ibu yang baik itu," balas Jiyong. "Sepertinya keluargaku dikutuk pelacur. Tidak ada satupun ibu di rumahku. Ayahku lahir dari seorang pelacur yang kakekku tiduri. Aku pun begitu, putriku juga sama. Padahal, saat aku tahu kalau ibuku seorang pelacur yang hanya satu kali tidur dengan ayahku, aku bersumpah agar tidak hidup seperti itu. Ternyata sulit untuk merealisasikannya, aku melakukan persis seperti apa yang selama ini aku lihat dari ayahku."

Lisa kemudian berterimakasih. Mrs. Twig, merasa terhibur. Bukan karena diajak ke rumah sakit. Bukan karena melihat orang-orang yang terluka di UGD. Namun karena Tuan Ji juga gagal mewujudkan sumpahnya. "Dulu aku juga bersumpah untuk tidak hidup seperti ayahku, tapi sekarang aku juga melakukan hal yang persis sama sepertinya, bahkan lebih buruk darinya. Ternyata bukan hanya aku yang gagal mewujudkan sumpahku, itu menghibur," akunya.

Jiyong dijemput supirnya beberapa menit sebelum tengah malam. Mereka dijemput di restoran dekat rumah sakit setelah menghabiskan beberapa botol soju dan bir. Dengan kondisi kepala yang masih sempurna— tidak mabuk— Jiyong mengantar Lisa pulang ke rumahnya. Setibanya di sana, Lisa meminta Jiyong untuk menunggu. Gadis itu harus mengemas beberapa tumpuk uangnya untuk membayar Jiyong kembali. Tuan Ji tidak mengharapkan uang itu. Ia tidak membutuhkannya. Namun karena Mrs. Twig bersikeras, ia terima uang yang Lisa berikan dalam tas belanjanya.

"Karena ada banyak hal yang perlu aku siapkan, aku butuh jawabanmu secepatnya," ucap Jiyong setelah ia menerima uang yang Lisa berikan, juga jaketnya yang Lisa kembalikan. "Bukan soal bersetubuh. Aku sedang membicarakan bisnis sungguhan. Aku butuh penjudi yang bisa menjerat beberapa debitur. Beritahu Ghost kalau kau bersedia, dia bisa memberimu tempat tinggal."

"Ghost punya rumah? Aku melihatnya bersetubuh di sauna."

"Aku pernah melihatnya bersetubuh di toilet restoran. Dengan wanita pemilik sauna, kan? Sepertinya mereka memang menyukainya, public sex," santai Jiyong.

"Augh! Pasangan gila. Aku ikut, bisnismu. Besok aku akan menghubungi Ghost," balas gadis itu, bersamaan dengan matanya yang bertemu tatap dengan seorang temannya, Lee Taeyong yang baru saja datang dari gedung apartemen di sebrang. "Pergilah, hati-hati di jalan. Sampai bertemu lagi kapan-kapan, kalau beruntung," usir Lisa, pada Tuan Ji yang sekarang jadi bosnya.

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang