19

686 141 2
                                    

***

Malam semakin larut dan semua orang bersenang-senang di dalam kasino itu. Mereka berjudi, mereka bertaruh, berbincang, tertawa bertukar cerita juga berbagi gelas-gelas beralkohol. Rokok sampai obat diam-diam bergerak di dalam sana, berkeliling, dicicipi oleh satu persatu penikmatnya. Namun dari semua orang yang bahagia di dalam sana, Lisa justru duduk sendirian di bar.

Mrs. Twig duduk sendirian di meja bar. Kepalanya tertunduk, menatap segelas whiskey dingin yang belum ia cicipi. Es dalam whiskey itu sudah lama mencair, memudarkan pekat whiskey di dalamnya. Beberapa kali ia putar gelasnya, membuat riak kecil dalam genangan whiskey di dalamnya. Marah, kesal dan menyesal, perasaan-perasaan sesak itu memenuhi dadanya. Membuat dirinya penuh sampai tidak lagi bisa menerima setetes pun whiskey.

"Beri aku dua gelas whiskey," suara tenang seorang pria membuat Lisa menoleh. Tangan pria itu terulur, meraih gelas yang ada di depan Mrs. Twig lantas mengembalikannya pada bartander yang bertugas. Ia ingin menukar whiskey lama Mrs. Twig dengan yang baru. Ia pun ingin duduk di sana, di sebelah si cantik Mrs. Twig.

"Selamat malam, Tuan Ji," sapa Lisa, memberi tatapan selamat tinggal kepada gelas yang sedari tadi ia permainkan.

"Selamat malam," balasnya. "Sepertinya kau tidak menikmati acaranya. Kenapa kau tetap di sini?" tanyanya kemudian, tanpa basa-basi mengatakan apa yang ia pikirkan.

"Aku tidak punya tempat tujuan."

"Rumah?"

"Ah... Benar, aku punya rumah."

"Tapi tidak ingin pulang? Kenapa?" ia bertanya sekali lagi namun kali ini Mrs. Twig tidak menjawabnya. Gadis itu hanya membalik handphonenya, menunjukkan puluhan panggilan dari Lee Taeyong juga ayahnya, Lee Byunghun, Kepala Kepolisian di Ibu Kota. "Kau hanya tidak perlu menjawabnya, atau matikan saja handphonemu," komentar Jiyong tanpa pertimbangan sama sekali.

"Tuan Ji, anda pernah masuk penjara?" kali ini Mrs. Twig yang bertanya.

"Pernah."

"Bagaimana di sana?"

"Apanya yang bagaimana? Tidak ada bedanya dengan tinggal di rumah. Mereka yang tinggal di penjara juga manusia," Tuan Ji menjawab pertanyaan gadis itu sembari menyesap whiskey miliknya. "Kau berencana masuk penjara?" tanyanya kemudian dan Mrs. Twig menganggukan kepalanya.

Saat memberitahu Taeyong mengenai hidupnya— yang telah 180° berbeda dari sebelumnya— Lisa sudah mempertimbangkannya. Taeyong pasti akan memberitahu ayahnya. Taeyong pasti akan meminta ayahnya melakukan sesuatu, Lisa sudah menduganya. Bahkan resiko terburuknya sekalipun— di penjara atas kejahatannya— gadis itu sudah mempertimbangkannya.

"Saat aku memberitahunya tentang apa yang aku lakukan— perantara, suap, narkoba, judi, penipuan, semuanya— aku pikir tidak apa-apa meski aku harus membusuk di penjara. Di penjara atau tinggal di sini, aku tidak perlu bertemu dengannya lagi. Tidak apa-apa. Aku pikir begitu. Tapi sekarang, saat resiko itu ada di depan mataku, aku takut," cerita Mrs. Twig bersamaan dengan sebuah pesan yang masuk ke handphonenya.

Dari pop-up pesan itu, baik Lisa maupun Jiyong dapat melihat isinya. "Serahkan dirimu, akan ku usahakan kau dapat hukuman paling ringan. Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu, salahmu sendiri karena memberitahu semuanya pada Taeyong," tulis Lee Byunghun dalam pesannya, membuat Lisa berdecak kemudian mencibir pria yang mengiriminya pesan itu.

"Padahal aku belum memberitahu Taeyong semuanya. Aku belum memberitahu Taeyong, kalau ayahnya memperkosaku saat dia pergi wamil waktu itu," gumam Lisa, membalik lagi handphonenya, enggan melihat pesan-pesan masuk yang membuatnya muak.

"Memperkosa?" tanya Jiyong, meyakinkan dirinya kalau ia tidak salah dengar.

"Kenapa? Kau pikir aku sudah melacur sejak kecil?"

"Aku tidak berfikir kau pernah melacur," gelang Jiyong. "Kau selalu menolak orang yang ingin tidur denganmu. Pelacur mana yang menolak pelanggannya," susulnya, membuat Lisa menyunggingkan sepotong senyumannya.

"Orangtua kami berteman. Ayahku berteman dengan ayahnya. Mereka rekan kerja, satu tim. Tapi ayahku korupsi, jadi buronan dan bunuh diri. Ayahku tidak meninggalkan apapun. Rumah, uang, tabungan, bahkan perabot semuanya dipakai untuk membayar denda korupsinya. Kemudian temannya datang dan mengizinkanku tinggal di rumahnya, Taeyong dan keluarganya memberiku tempat tinggal untuk beberapa tahun, sampai kemudian Taeyong pergi wamil dan aku di tarik ke kubangan. Aku di perkosa, kemudian istrinya tahu dan aku diusir. Tapi kemudian dia menemuiku lagi, memintaku berdamai dengannya, memintaku merahasiakannya, tentu saja ia tidak ingin putranya tahu kalau dia berengsek. Saat itu aku tidak bisa berdamai, saat itu aku tidak bisa setenang sekarang, saat itu aku tidak bisa menatapnya, aku marah, aku membencinya. Lalu hal-hal lainnya terjadi, lalu aku masuk ke lubang-lubang lainnya, sampai akhirnya aku ada di sini dan daripada membencinya, ku pikir aku bisa memanfaatkannya, mengancamnya."

"Lalu kenapa sekarang kau tidak mengancamnya lagi?" tanya Jiyong, tidak terdengar terkejut, tidak banyak bereaksi. "Trauma? Mengancamnya membuatmu harus mengorek luka lama? Sakit?"

"Setelah melalui banyak hal, kau tidak akan terluka semudah itu. Tersayat pisau bukan lagi hal yang luar biasa bagi tukang daging."

"Lalu?"

"Bosan? Aku berfikir untuk pergi ke penjara, tapi aku takut. Seperti orang-orang yang ingin mati tapi terlalu takut untuk melakukannya."

"Pergilah, penjara tidak seburuk itu," balas Jiyong menanggapi.

Detik berikutnya, pria itu bangkit dari kursinya. Ia telan habis whiskey-nya, lantas melangkah menjauh. Jiyong menghampiri asistennya, mengatakan pada asistennya kalau Lee Byunghun memperkosa Lisa dan menyuruh asistennya untuk menyampaikan informasi itu pada Detektif Park. Malam itu juga, Kang Daesung diperintahkan untuk meninggalkan kasino, menemui Detektif Park dan membagi informasi mereka.

"Sebelum Pak Tua itu benar-benar mati, dia harus bangkit dari kematiannya lebih dulu," rencana Jiyong.

Tepat di keesokan harinya, saat matahari bersinar terang di atas kepala semua orang— beberapa menit setelah jam makan siang selesai, Mrs. Twig pergi ke rumah Jiyong. Berbekal alamat yang ia dapatkan dari informannya, gadis itu keluar dari taksinya di depan sebuah rumah dengan pagar batu yang kokoh. Sama seperti tamu-tamu lainnya, Lisa menekan bel rumah itu. Ia tekan belnya satu kali, menunggu seseorang menyambutnya, namun sampai beberapa menit gadis itu menunggu, tidak ada seorang pun yang membukakannya pintu.

Sampai pada akhirnya, Mrs. Twig memutuskan untuk menelepon pemilik rumahnya. "Kenapa kau mencariku?" tanya Jiyong, yang hari itu pergi ke gudangnya.

"Aku ingin tidur denganmu."

"Ya?"

"Aku ingin tidur denganmu," ulang Lisa. "Kalau kau masih tertarik," tambahnya.

"Tiba-tiba? Apa yang kau inginkan dariku? Masalah penjara kemarin?"

"Tidak. Hanya ingin."

"Saat ini juga? Aku sibuk."

"Aku ditolak?"

"Hm... Kurasa begitu," tenang Jiyong. "Tapi karena kau sudah di sana, masuklah."

"Bagaimana? Pintunya terkunci."

"Tidak ada siapapun di sana?"

"Tidak ada."

"Akan ku buka pintunya dari sini, tunggu lah di gazebo, di halaman."

"Kenapa aku harus menunggu kalau kau menolak tidur denganku?"

"Kalau begitu pergilah," balas Jiyong. "Aku sudah membuka pintu gerbangnya. Tunggu di sana, atau pergi, terserah padamu."

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang