***
"Begitu aku mendapatkan uangnya, aku akan langsung menghubungimu," pamit Lisa, di depan sauna tempatnya menginap. Selesai makan, Jiyong mengantar Lisa kembali ke tempatnya menginap. Mereka tidak bisa menghabiskan malam bersama, karena tidak ada alasan untuk itu. Pembicaraan mereka selesai dan mereka harus berpisah, tanpa paksaan.
"Sebenarnya, kau bisa membayarnya sekarang. Aku tidak akan menolak kalau kau menawarkan jenis pembayaran lain, selain uang."
"Tidur denganmu?" santai Lisa, masih dengan senyum di wajahnya.
"Aku perlu operasi plastik lebih dulu?"
"Tidak," geleng Lisa. "Aku bukan gadis yang tidak akan menjual tubuhku. Aku bisa menjual tubuhku untuk beberapa keuntungan. Tapi saat ini, aku tidak sedang menginginkannya," jawabnya, yang kemudian menarik ke atas poninya, menunjukkan memar yang mulai memudar di dahinya juga pelipisnya. "Lihat, aku sedang berjuang keras untuk keluar dari sini, aku lelah dan tidak dalam kondisi bisa memuaskanmu."
"Terdengar seperti alasan tapi baiklah. Alasanmu hari ini tidak seburuk operasi plastik kemarin."
"Aku tidak sedang beralasan. Aku memang sedikit pemilih. Kemarin aku hampir melarikan diri-"
"Kemarin kau memang melarikan diri, di tengah-tengah permainan padahal aku hampir menang," ralat Jiyong, berdiri di sebelah mobilnya, bersandar pada pintu mobil yang sudah ia tutup, tanpa jasnya, tanpa dasinya. Hanya celana abu-abu dengan kemeja putih yang tiga kancingnya di biarkan terbuka.
"Maksudnya, aku berencana kabur sebelum bertemu Ghost. Aku tahu Tuan Ji yang ingin menemuiku sebenarnya hanya ingin tidur denganku. Tapi aku tidak tahu seperti apa rupa Tuan Ji itu. Lalu bayang-bayang pria tua dengan kulit keriput yang bau ikan muncul di kepalaku dan saat itu juga aku ingin melarikan diri. Tapi aku bertemu Ghost lalu dia bilang Tuan Ji tidak seburuk bayanganku. Dan wah... ternyata dia benar," cerita gadis itu, sembari menunjuk Jiyong dengan kedua tangannya, memuji pria yang ternyata cukup tampan, jauh sekali dari bayangannya. "Bayanganku yang ternyata terlalu berlebihan. Sama sekali tidak ada bau ikan, justru aroma campuran musk dan woody lalu sedikit coffee? Aroma yang menyenangkan."
"Karena kau kembali masuk setelah ku izinkan pergi, bisa aku simpulkan kalau sebenarnya kau tidak keberatan jika aku membawamu ke kamarku kemarin?"
"Meski sempat ragu karena sedikit kenangan buruk... Iya. Aku tidak keberatan, tapi sayang sekali kemarin suasananya memburuk dan aku tidak bisa tetap tinggal di sana," angguk Lisa, memberi Jiyong sebuah sinyal positif, meski suasana hati pria itu justru perlahan-lahan memburuk. Jiyong kesal karena Kepala Kepolisian kemarin benar-benar menggagalkan rencananya untuk memuaskan nafsu manusiawinya. Karena Kepala Kepolisian itu Jiyong harus menahan nafsunya lebih lama lagi.
Begitu masuk ke dalam sauna, Lisa bergegas mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana merah muda. Di ruang ganti, ia hela nafasnya keras-keras lantas kembali ke loker untuk menyimpan sweaternya. Malam ini tidak ada banyak orang di ruang penuh loker itu. Sebagian lampunya sudah dimatikan dan Lisa sendirian di sana. Lepas menutup lokernya, Lisa mematung. Menatap kosong pintu loker di depannya dan perlahan-lahan melorot turun, duduk di lantai bersandar pada loker lain di belakangnya.
"Apa aku benar-benar bisa menjual tubuhku sendiri?" gumam gadis itu, bertanya pada siluet bayangannya di lantai. "Tentu saja bisa. Kau sendirian di sini, pada siapa kau akan bergantung, Lisa? Tidak ada. Ibumu, ayahmu, paman, bibimu, teman-temanmu, semuanya, mereka semua meninggalkanmu, ingat itu? Bahkan saat kau dipukul, tidak ada yang membelamu, kau masih berharap bisa bergantung pada orang lain? Sadarlah Lisa, kau tidak punya siapa-siapa. Hanya kau dan tubuhmu," tegasnya, pada bayangannya sendiri.
Lama Lisa duduk di sana, sampai ia raih handphonenya, membuka sebuah foto di sana. Foto masa kecilnya bersama kedua orangtuanya. Foto itu diambil ketika Lisa masih duduk di sekolah dasar, beberapa tahun sebelum ibunya tiba-tiba menghilang. Entah diculik atau melarikan diri, kepergian sang ibu sukses menghancurkan keluarganya. Lisa dikirim ke luar negeri setelah ibunya menghilang. Gadis itu tidak tahu apa yang ayahnya lakukan, mereka hanya bertemu sesekali, bicara sesekali lewat telepon dan saat Lisa lulus kuliah, ayahnya dikabarkan meninggal. Sebuah kerangka ditemukan hangus dan polisi bilang kalau itu ayahnya.
"Appa, kau benar-benar menerima suap?" tanya Lisa, kepada wajah tersenyum sang ayah di foto itu. "Pantas saja kau punya uang untuk mengirimku sekolah ke luar negeri. Tidak apa-apa. Sekarang aku juga berteman dengan banyak polisi korup. Tapi kenapa kau justru bunuh diri? Kau malu karena menerima suap? Apa setelah kau mati, kau tidak merasa malu karena meninggalkan putrimu sendirian? Putrimu ini bahkan tidak tahu caranya mengadakan sebuah pemakaman. Putrimu tidak tahu caranya memperingati hari kematianmu. Kau meninggalkanku saat aku tidak tahu apapun, kau tidak malu?" kesalnya, menyalahkan satu-satunya orang yang bisa ia salahkan. Satu-satunya orang yang bisa ia anggap sebagai keluarganya.
Selesai meratapi nasibnya, Mrs. Twig kemudian kembali pada kenyataannya. Ia bangkit dari duduknya, mengambil seikat uang dari lokernya— sedikit uang yang sebelumnya ia terima dari Jiyong— kemudian keluar dari ruang loker itu. Di luar Mrs. Twig mencari Kim Jisoo. Ia berencana memberikan uang itu pada Kim Jisoo, menyudahi pelajaran Go-Stop darinya kemudian kembali ke rumahnya. Ia harus pulang untuk membayar kembali kerugian Tuan Ji.
Lisa mengelilingi sauna itu, mencari si pemilik sauna yang tidak terlihat dimana pun. Ia pergi ke ruang uap, ke kolam air panas, ke tempat mandi, kedai makanan sampai matanya melihat sebuah ruang dingin yang katanya sedang di perbaiki. "Tidak mungkin dia ada di sani- oh dia ada di sani," gumamnya, ketika ia mengintip ruang dingin itu dari kaca kecil di pintunya dan melihat Kim Jisoo ada di sana, dengan tangan terikat.
"Apa perbaikannya belum selesai?" tanya seorang pengunjung sauna lainnya, yang kebetulan lewat, hendak masuk ke ruang berpendingin itu. Si pengunjung yang datang kelihatan berkeringat, ia baru saja keluar dari ruang uap.
"Belum," singkat Lisa, yang kemudian duduk di lantai, di sebelah pintu ruang dingin itu. "Mungkin besok pagi perbaikannya baru akan selesai," susulnya, mengusir si pengunjung yang belum melihat apapun. Sembari bermain dengan handphonenya, Lisa menunggu Jisoo selesai dengan renovasinya.
Sampai kira-kira dua jam, pintu itu akhirnya terbuka. Lisa menoleh untuk melihat siapa pria yang tadi mengikat Jisoo dan Ghost langsung muncul dalam radar pandangannya. "Aku berharap aku salah, tapi ternyata oppa masih sama seperti dalam ingatanku," komentar Lisa, sedikit mengejutkan Jisoo juga pasangannya yang baru saja selesai bersenang-senang.
"Sejak kapan kau ada di sini? Kau menunggu kami?" tanya Jisoo, mengiri gerak Lisa yang beranjak berdiri. "Kau bilang, kau akan pergi ke kasino?" tanyanya, terdengar santai meski sebelumnya ia sempat gugup karena merasa baru saja tertangkap basah.
"Dia pria yang akan eonni nikahi?" tanya Lisa, menunjuk Seunghyun dengan dagunya.
"Lisa-ya, kau baik-baik saja? Aku minta maaf karena kemarin-"
"Apa-apaan ini? Kalian punya hubungan di belakangku?" potong Jisoo, membuat Seunghyun langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/288808594-288-k693980.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanficIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.