40

693 147 5
                                    

***

"Apa maksudnya dia tidak terlalu kuat untuk bergabung?" tanya Lisa, setelah ia juga Jiyong duduk di mobil untuk kembali ke rumah. "Kenapa aku tidak disuruh membuat tato itu?"

"Aku juga tidak punya tato itu. Design-nya jelek, kakekku yang dulu membuatnya," santai Jiyong. "Kau sering menonton film kan? Kau harus mendaftar, dites, dan dinilai kalau mau bergabung dengan organisasi apapun. Masuk gang juga seperti itu. Kau tidak bisa hanya datang, mengatakan kalau kau ingin bergabung dan ditato."

"Lalu siapa yang menilai mereka? Kau? Ayahmu? Tapi kenapa mereka tidak mengenalimu? Kau memakai topeng saat menilai mereka?"

"Kau pikir penilaiannya seperti ujian dan aku jadi pengawas di ruang ujiannya? Dengan topeng seperti Squid Game? Tidak begitu. Berapa banyak uang yang harus ku keluarkan hanya untuk merekrut orang baru kalau begitu caranya? Sebagian besar dari mereka bahkan tidak sebanding dengan uang itu."

"Lalu? Battle royale?"

"Tidak sekejam membunuh atau mati, tapi ya. Tanya Asisten Kang kalau kau ingin tahu, kapan, dimana dan bagaimana battle-nya."

"Kau pernah ikut battle-nya? Tentu saja tidak. Untuk apa putra ketua gang ikut battle royale seperti itu? Buang-buang waktu."

"Aku pernah ikut. Dia tidak akan memberiku semua ini kecuali aku menang."

"Ya?! Kejam sekali! Bagaimana kalau kau terluka atau mati di sana?!"

"Kalau aku mati di sana tentu saja aku akan dimakamkan. Dia sudah menggali makamku sebelum aku pergi ke battlefield-nya. Pilihanku hanya menang atau masuk ke lubang itu."

"Kau tidak akan mengirim Somi ke sana kan? Tidak boleh, kau tidak boleh melakukannya, dia bahkan tidak bisa memukul orang! Dia bisa mati kalau kau mengirimnya ke sana!" seru Lisa dan Jiyong hanya menganggukkan kepalanya. Entah ia setuju dengan Lisa atau hanya ingin gadis itu berhenti bicara.

Sepanjang dua jam perjalanan pulang, Lisa terus membujuk Jiyong. Ia larang Tuan Ji untuk mengirim Somi ke permainan bertahan hidup yang mengerikan itu. Pria itu akan jadi ayah paling jahat kalau ia mengirim putri yang tidak pernah ia latih pergi ke sebuah pertarungan tanpa bekal. Jiyong akan jadi benar-benar berengsek kalau ia mengirim Somi pada kematiannya.

Jiyong sampai tertidur karena mendengar ocehan yang terus di ulang-ulang itu. Bahkan saat ia terlelap, dengan kepala yang terbaring di pangkuan Mrs. Twig, kata-kata wanita itu masih bisa terdengar di telinganya, seolah mampu menerobos masuk sampai ke mimpinya.

Ia bisa merasakan rambunya dibelai, diusap dengan sangat lembut hingga matanya terasa semakin berat untuk bisa dibuka. Ia terlelap sangat nyenyak sampai seseorang membangunkannya begitu mereka tiba di rumah— pada pukul empat pagi. "Berapa lama aku tidur?" tanya Jiyong, setelah ia berhasil bangun, duduk dan membuka matanya.

"Hanya dua puluh menit," jawab Lisa, mengulurkan tangannya untuk merapikan sedikit rambut Jiyong yang berantakan kemudian mengajak pria itu untuk turun, segera masuk ke rumah dan kembali tidur.

Jiyong sudah selesai mandi dan mengganti pakaiannya. Sudah ia singkirkan aroma alkohol dari kelab tadi. Kini ia berbaring di ranjang, namun Mrs. Twig tidak kunjung datang. Tuan Ji pikir, Mrs. Twig hanya ingin mandi di kamar Somi, namun ia yang tidak kunjung kembali membuat Jiyong penasaran dan menyusul gadis itu ke kamar Somi. Lisa sudah berbaring di atas ranjang Somi, baru saja mematikan handphonenya, bersiap untuk meringkuk di bawah selimut sampai jam makan siang nanti.

"Kenapa kau tidur di sini?" tanya Jiyong, berdiri di ambang pintu, memperhatikan Lisa yang sudah berbaring.

"Karena aku harus mengembalikan kamar itu pada pemiliknya? Pakaianku akan ku pindah nanti, setelah tidur."

"Karena kau sudah berani tidur sendirian, kau tidak mau tidur denganku?"

"Aku tidak tahu," jawab Lisa yang kini duduk di ranjang, menatap pria yang bersandar itu. "Sampai kemarin aku masih tidur di rumah sakit. Tapi kau tidak mengatakan apapun. Haruskah aku tetap tinggal di sini? Atau aku harus pindah? Aku sudah melunasi hutangku, kau juga sudah kembali, apa aku masih akan dibayar untuk menjaga rumah dan putrimu? Atau aku hanya bekerja di kasino sekarang? Kita tidak punya perjanjian apapun. Aku menunggumu mengatakan sesuatu tentang itu."

"Kita bisa membicarakan itu setelah tidur. Tapi sekarang aku merindukanmu," jawab Jiyong yang kemudian duduk di sebelah Lisa, di tepian ranjang membuat gadis itu harus bergeser ke tengah. "Aku tidak bisa melakukan banyak hal saat kau dirawat, sekarang pun aku khawatir membuatmu kesakitan. Aku hanya akan berbaring di sebelahmu," pintanya dan Lisa menyetujuinya. Ia buka selimutnya, memberi Jiyong ruang untuk berbaring di sebelahnya.

Keduanya berbaring, berhadapan, saling menatap. "Saat kau bertanya apa aku mencintaimu, aku tidak bisa menjawabnya. Mudah untuk mengatakan iya. Iya, aku mencintaimu, aku tidak ingin kehilanganmu, aku akan melakukan apapun untukmu, kau duniaku, aku akan menikahimu. Biasanya pria mengatakan itu. Aku juga mengatakannya pada beberapa gadis yang aku tiduri. Agar mereka mau membuka kakinya lagi."

"Kata-kata itu terasa seperti topping manis setelah bersetubuh," nilai Lisa. "Aku juga beberapa kali mendengarnya," tambahnya, merasakan tangan Jiyong yang perlahan memeluknya.

"Aku tidak ingin menipumu dengan topping seperti itu."

"Aku tidak akan tertipu. Meski kau mengatakannya seribu kali, aku tidak akan membuka kakiku kalau aku lelah."

"Syukurlah," tenang Jiyong, ia usap rambut sampai punggung gadis itu kemudian mulai terlelap setelah mengucapkan selamat malam.

Belum lama mereka terlelap, pagi kemudian datang. Jiyong membuka matanya karena mendengar langkah kaki terburu-buru di belakangnya. Pria itu menoleh ke arah pintu kamar Somi, sedang di sebelahnya Lisa masih meringkuk memeluknya.

"Ewh... Pemandangan menjijikkan apa ini?" komentar Somi yang baru saja datang. "Aku hanya datang mengambil sepatu. Jangan pedulikan aku," susulnya, saat matanya bertemu tatap dengan milik ayahnya. Gadis itu melangkah ke sisi lain kamarnya, membuka beberapa kotak di sudut kamarnya kemudian mengambil sebuah sepatu kets yang ia cari. "Eonni, aku pinjam sepatumu," serunya, sembari mengambil sepatu kets itu.

"Hm..." gumam manusia yang diajaknya bicara. Lisa tidak peduli dengan apa yang Somi ambil. Gadis itu justru mengeratkan pelukannya pada Jiyong, membuat Jiyong kembali berbaring bersamanya, kembali memejamkan matanya di pagi yang masih gelap itu.

"Ah! Eonni, seorang senior mengajakku minum-minum nanti malam, aku pergi atau tidak?" tanyanya, menarik bahu Lisa agar berbaring menatapnya.

"Kalau itu acara kelompok pergi saja. Kalau hanya berdua, ajak kekasihmu."

"Tapi aku tidak ingin pergi-"

"Heish! Kalau begitu jangan pergi! Bodoh! Pergi!" kesal Lisa, dengan kasar menarik selimutnya sampai menutupi kepalanya. "Menganggu tidurku saja," gerutu gadis itu, sedang Somi hanya terkekeh, menepuk-nepuk bokong Lisa yang tertutup selimut kemudian menyuruh Lisa untuk kembali pergi ke alam mimpinya.

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang