***
Kwon Jiyong meminta supirnya untuk mencari toko pakaian pria yang masih buka malam ini— sudah lewat pukul sebelas. Namun permintaannya yang hampir tidak mungkin itu membuat Mrs. Twig menyuruh si supir untuk mengemudi pulang, ke rumah bosnya. Lagi pula, tidak ada yang tempat yang ingin mereka kunjungi malam itu.
"Duduklah lebih jauh, kau bau sup," protes Tuan Ji kepada Mrs. Twig yang penasaran pada tangan kirinya. Jiyong yang duduk di sebelah kiri, membuat Lisa kesulitan untuk melihat luka di tangan pria itu. "Aku tidak terluka, aku tidak terluka semudah itu. Jauh-jauh dariku," keluh Jiyong, mendorong bahu Lisa dengan tangan kanannya agar gadis itu duduk dengan benar— tidak menyamping, hanya untuk melihat tangannya.
"Kalau begitu tunjukan tanganmu," pinta Lisa. "Lenganmu tertembak, kakimu terluka, biar aku lihat tanganmu terluka atau tidak."
"Ya! Sudah ku bilang berkali-kali, aku tidak terluka," balas Jiyong, kali ini sembari menunjukkan tangan kirinya pada Lisa. Ia goyangkan tangannya di depan wajah Lisa, melambai seolah mereka akan berpisah jauh.
Mrs. Twig meraih tangan itu, memegangi pergelangan tangannya, memastikan tidak ada sedikit pun darah atau luka gores di sana. "Bagaimana bisa? Kau menahan gunting dengan tanganmu, kenapa kau tidak terluka?" tanya Lisa, sangat penasaran.
"Aku tidak memegang guntingnya. Aku memegangi tangannya, aku menahan tangannya. Untuk apa aku menahan guntingnya dengan tanganku? Agar terlihat keren di depanmu? Kenapa aku harus terluka hanya untuk itu?" jawabnya. Pria yang sering terluka, cenderung tahu bagaimana caranya menyelamatkan diri. Mereka cenderung merespon lebih cepat bahaya yang ada di depan matanya. Meski di beberapa kesempatan orang itu tidak menyadari kalau ia dalam bahaya— seperti saat Jiyong tersayat pisau dan hampir tertembak. "Aku sudah melihatnya sejak dia berdiri di pintu utama gedung tadi. Aku tahu dia membawa gunting, dari awal," susulnya.
"Tapi kenapa kau tidak memberitahuku? Kau bisa memberitahuku jadi aku bisa membela diri. Sedikit memalukan karena kau melindungiku tadi," gumam Lisa, kali ini merubah posisi duduknya, menghadap ke depan seperti yang biasa dilakukan penumpang mobil lainnya.
"Tidak semua orang yang membawa gunting ingin menusuk orang."
"Tsk. Tapi kenapa kau ke sini? Kau bahkan tidak masuk dan menaruh bunga untuk Kepala Lee."
"Hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu. Kau pingsan dan tidur sangat lama sejak kemarin. Kau sangat terkejut karena ternyata ayahmu masih hidup?"
"Tidak," geleng Lisa. "Ayahku sudah mati. Sudah lama sekali dia mati. Aku tidak terkejut kalau ada pria yang mengaku-ngaku sebagai ayahku. Aku tidak bisa bekerja sejauh ini kalau mudah terkejut."
"Lalu kenapa kau pingsan?"
Pertanyaan Jiyong kali ini membuat Lisa terdiam. Gadis itu menutup rapat mulutnya seolah enggan membicarakan alasannya pingsan. Lama Jiyong menunggu sampai pria itu hampir terlelap di tengah perjalanan mereka pulang. Mrs. Twig justru menatap keluar jendela, alih-alih menjawab pertanyaan Tuan Kwon itu. Lisa enggan membicarakan trauma yang tidak pernah diatasinya itu.
Sebagian orang beranggapan, kalau ia takut berkencan setelah patah hati itu adalah trauma. Dan hanya cinta lain lah yang bisa mengobati trauma karena cinta itu. Namun kasusnya tidak sesederhana itu bagi Lisa. Ada juga yang beranggapan kalau kau takut pada serangga, kau harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan serangga. Agar suatu saat, dia sudah terbiasa dengan serangga itu dan tidak lagi takut padanya. Namun kasusnya tidak sesederhana itu bagi Lisa.
Ia tidak bisa mengobati rasa traumanya karena tembakan dengan tembakan lainnya. Alih-alih membuatnya terbiasa, hidup bersama lebih banyak tembakan justru membuat wanita itu jadi semakin rentan, semakin takut, semakin tidak berdaya karenanya. Gadis itu sudah melakukannya, kedua tips tadi. Suara tembakan yang melukai Jiyong, bukan tembakan pertama yang membuat Lisa jatuh pingsan. Hidup dalam dunianya sekarang membuat suara tembakan itu menjadi suara yang tidak bisa ia hindari. Awalnya ia hanya berkeringat, kemudian gemetar, lantas menangis, luar biasa ketakutan kemudian pingsan, merasa nyawanya baru saja direnggut oleh tembakan itu.
"Aku pernah dekat dengan Ghost," ucap Lisa kemudian, usai lama ia menimbang-nimbang. "Kami bertemu di Hongkong, berjudi bersama, cukup dekat untuk membuat pemilik sauna cemburu."
"Lalu kenapa kalian berpisah?"
"Aku meninggalkannya," jawab Mrs. Twig, "karena dia memaksaku mengatasi masalahku," tambahnya.
"Jadi maksudmu, kau akan pergi kalau aku memaksamu mengatasi masalahmu? Apa masalahmu?"
"Tembakan."
"Ah... Karena kejadian waktu sekolah dulu? Itu masuk akal..."
"Hanya itu reaksimu?"
"Lalu aku harus bagaimana? Kau tidak berharap aku akan melakukan sesuatu kan?"
Tidak. Lisa tidak pernah berharap Jiyong akan melakukan sesuatu untuknya. Meski sempat memikirkannya, Lisa tidak berharap Tuan Ji akan menenangkannya, mengatakan kalau pria itu akan melindunginya seperti tadi dan ia tidak perlu khawatir. Hanya karena pria itu rutin masuk ke dalam mimpinya, karena Tuan Ji menyukai tubuhnya, juga beberapa kali membantunya, Lisa jadi berharap pria itu menyukainya lalu mau melakukan apa pun untuknya.
"Ada apa? Kau berharap aku melakukan sesuatu seperti Ghost?" tanya Tuan Ji sekali lagi. "Kau takut pada senjata? Lalu bagaimana aku menjual senjata, haruskah aku berhenti berbisnis untukmu? Kau ingin mendengar itu? Kau bilang, kau akan pergi kalau aku melakukan sesuatu," susul Jiyong, kali ini menyadarkan Lisa kalau ia seharusnya memang tidak pernah berharap.
"Wah... Tuan Ji, sebenarnya kau tidak ingin aku pergi atau hanya tidak peduli?"
"Kau bisa memilih mana yang membuatmu merasa lebih baik," santai pria itu.
Mrs. Twig berdecak mendengarnya. Ia sadarkan dirinya kalau hanya dengan bersetubuh tidak akan membuat pria itu tunduk padanya. Meski indah dan punya banyak nilai plus, tubuhnya tidak seajaib itu sampai mampu mengendalikan isi kepala seorang pria dewasa. Hentikan harapanmu, kami bersetubuh karena sama-sama mau, sama-sama menikmatinya, dia tidak perlu melakukan sesuatu untuk membayar malam panas itu— tegas Lisa, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Lelah dengan pikiran-pikirannya sendiri, Lisa berbaring. Ia letakan kepalanya yang beraroma sup di pangkuan Jiyong. Beristirahat di sana namun justru membuat pria itu kesal. Jiyong marah sebab rambut kotor Lisa akan membuat celananya ikut kotor.
"Ng... Diam lah... Aku akan mengulum penismu nanti. Biarkan aku beristirahat sebentar," balas gadis itu, menanggapi keluhan-keluhan yang Jiyong lontarkan. Pria itu hanya mengeluh, tanpa sama sekali menyentuh gadis kotor itu dengan tangannya.
"Kenapa kau tiba-tiba membicarakan penis? Kau mengigau?"
"Bukankah kau menemuiku malam ini untuk itu? Kau sudah membayangkannya sejak siang tadi."
"Aku hanya asal bicara," bela Jiyong, ia tundukan sedikit kepalanya, memperhatikan wajah yang kelihatan jadi semakin tirus hanya dalam beberapa jam sejak terakhir mereka bertemu.
"Jadi aku tidak perlu mengulum penismu?"
"Perlu," singkat Jiyong. "Tapi, kau tidak makan seharian ini? Kenapa kau terlihat jauh lebih kurus hari ini?"
"Ah pipi? Ini make up, akan aneh kalau aku kelihatan segar, seolah senang karena Kepala Kepolisian Lee mati. Make up-ku masih menempel bahkan setelah disiram sup? Lumayan juga... Aku tidak perlu mencari yang baru."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanfictionIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.