39

606 137 2
                                    

***

"Siapa dia? Kekasihmu?" tanya Bos, yang melangkah masuk ke dalam sebuah ruang dimana Lisa dan Jiyong sudah lebih dulu menunggunya. "Kau selalu mengencani pria-pria tampan, hm?" susulnya, dengan hidung berair yang ia usap. Matanya cekung, gerak tubuhnya tidak terlihat bersemangat.

Bos duduk di sebelah Lisa, tepat di sebelahnya namun Lisa justru bangkit. Ia berdiri kemudian duduk di sebelah Jiyong, menjadikan Jiyong yang tidak tahu apapun, jadi dinding di antara mereka berdua. "Tsk... Kau masih saja menjauhiku," gerutu Bos. "Apa yang membuatmu datang?" susulnya, namun Lisa tidak segera menjawab sebab beberapa pelayan masuk membawakan banyak botol alkohol, juga sebungkus kecil serbuk putih favorit Bos.

"Aku yang membelinya, untukmu," ucap Lisa.

"Kau butuh sesuatu dariku, iya kan? Pekerjaan untuk kekasihmu ini?" tanya Bos, menoleh, menatap Jiyong kemudian mengusap pipinya. "Dia tampan, dia kuat minum? Hmm... Ada beberapa wanita merepotkan yang baru datang, bagaimana kalau kau mencoba lebih dulu? Anggap saja trainee," ocehnya, sedang yang diajak bicara justru menatap Lisa, terlihat kesal seolah sedang meminta izin untuk memukul seseorang lagi malam ini.

"Tidak, tidak," tolak Lisa, buru-buru menyingkirkan tangan Bos dari pipi Jiyong yang hampir meledak. "Tidak ada yang butuh pekerjaan. Aku hanya butuh informasi, Bos," ucapnya, sedang Jiyong menggeser tubuhnya menjauhi Bos yang kelihatan teler.

"Apa?"

"Minggu lalu aku hampir mati, seseorang hampir membunuhku."

"Wah... Siapa musuhmu kali ini?"

"Tidak tahu, karena itu aku ke sini. Dia teler sepertimu," jawabnya, memberikan selembar foto yang Somi ambil dengan kameranya. Dalam foto itu wajah Taeyong terlihat hampir sangat jelas.

"Wah... Beruntung sekali dia bisa memelukmu seperti ini," komentar Bos, membuat Jiyong hampir marah namun sebuah tangan dengan lembut mengusap-usap pinggangnya, memintanya untuk menahan diri- Mrs. Twig. "Aku pernah melihatnya, di kelab yang baru saja diringkus," jawab Bos kemudian.

"Semua orang di kelab itu ditangkap?"

"Tentu saja tidak. Mereka bersembunyi di sana dan di sini. Cari di kantor polisi, kalau dia tidak ada di sana berarti dia bersembunyi."

"Kalau itu aku juga tahu-" Lisa menyuruh Jiyong untuk menutup mulutnya. Sedang Bos hanya menatap kesal pada mereka.

"Kenapa kalian sangat takut padaku?" tanya Bos kemudian, mengatakan kalau alasan itulah yang membuatnya kesal- karena Lisa dan Jiyong menjauhinya. "Kalian pikir aku jahat? Ya! Orang-orang di kelab lain lebih jahat dariku! Mereka tidak akan membagi informasi apapun denganmu karena mereka akan langsung mati kalau melakukan itu!" oceh Bos, menggerak-gerakkan tangannya yang bertato seolah ia sedang begitu marah.

"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Lisa.

"Kau tahu DOG? Ahh... Kau pernah mencarinya, iyakan? Kau sudah melihat wajahnya? Anjing sialan itu... Ya! Pukul wajahnya kalau kau bertemu dengannya! Anjing gila itu menjebak semua orang! Dia mengirim barangnya, mengambil uang kami, tapi mengirim polisi juga! Berengsek! Kelab yang di ringkus itu, DOG yang melakukannya!"

"Kau bertemu dengannya dan melihatnya melakukan itu?" tanya Jiyong

"Tentu saja tidak. Untuk apa anjing sialan dari neraka itu datang ke sini? Dia pasti menyuruh orang lain melakukannya. Tapi semua orang tahu DOG yang melakukannya."

"Padahal aku tidak melakukan apapun," gumam Jiyong, sangat pelan hingga tidak dapat di dengar siapapun. Sebab daripada ia memperkenalkan dirinya, ia lebih suka memakai nama ayahnya yang sudah mati. Dengan begitu semuanya jadi lebih mudah untuknya.

Bos kemudian bangkit, ia dudukan tubuhnya di atas karpet, di depan meja. Pria itu tidak tahan lagi, ia keluarkan serbuk putih yang Lisa beli untuknya. Bos menaruh isi plastiknya di atas meja, ia buat garis kecil dari serbuk putih itu menggunakan kartu yang ditemukannya di saku celananya, lantas menghirup garis putih buatannya.

Mrs. Twig bersandar malas di sofanya, ia memiringkan kepalanya, bersandar pada bahu Jiyong, sementara tawa Bos terdengar memenuhi ruangan remang itu. Bos jadi lebih tidak terkendali sekarang. Dibanding empat tahun lalu, serbuk putih memabukan itu kini sudah mengisi tiga per empat bagian dari otak Bos. Pria itu benar-benar jadi seorang pecandu sekarang, hingga Lisa tidak ingin lagi menemuinya seorang diri. Lisa pikir ia tidak akan bisa menghadapi Bos kalau pria itu mulai kehilangan seluruh akalnya.

Merasa makin membumbung tinggi, Bos kemudian kehilangan otaknya. Ia melangkah memutari meja, duduk di sebelah kaki Lisa- di atas karpet- kemudian menggerayangi kaki wanita itu. Ia jilat lutut Lisa, membuat gadis itu langsung menendang kepala Bos dan berdiri menjauh. "Augh! Pecandu bodoh! Ya! Sadarkan dirimu! Kau belum memberitahuku dimana Lee Taeyong berengsek itu! Ya! Sialan! Berani sekali kau menempelkan lidah menjijikan itu padaku! Augh! Sialan! Sialan! Sialan!" marah Lisa, berkali-kali menginjak perut Bos dengan sandal datarnya. Namun yang ia injak justru tertawa, kehilangan akalnya.

Dua penjaga di luar bergegas masuk mendengar keributan itu. Mereka berdiri di sana, ingin menghentikan gerak kasar Lisa pada tubuh bos mereka namun tidak bisa langsung bertindak karena sebuah pistol diam-diam mengancam mereka. Jiyong tidak melakukan apapun, ia hanya menunjukan pistol yang dibawanya, bahkan tanpa menatap penjaga-penjaga itu.

"Hentikan, perutmu akan sakit," tarik Jiyong kemudian. Sebelum seseorang membunuh orang lain di sana. Ia sudah menyimpan kembali senjatanya, sedang tangannya merangkul pinggang Lisa untuk keluar bersamanya.

"Saat dia sadar, katakan padanya kalau aku marah," pesan Lisa, yang meninggalkan tiga tumpuk uang di atas sofa sebelum ia pergi bersama Tuan Ji. "Aku ingin ke toilet, menjijikan, sangat menjijikan," rengek gadis itu, menatap jijik pada lututnya sendiri.

Alih-alih pergi, Lisa dan Jiyong kembali ke meja bar. Mereka kembali duduk di depan BLOO. Mrs. Twig memesan whiskey sekali lagi, sedang Jiyong enggan menyesap apapun. Pria itu hanya duduk, menatap hiruk pikuk kelab malam bersama para penari striptis di depannya.

"Bosmu sekarang payah," komentar Lisa, sembari mengusap-usap lututnya yang memerah karena ia gosok dengan terlalu kuat di toilet tadi. "Apa terjadi sesuatu padanya?"

"Kekasihnya berhutang pada DOG dan kurasa mereka tidak bisa membayar hutang itu."

"Bagaimana caranya meminjam uang dari DOG?" tanya Lisa, sedang pria yang mereka bicarakan hanya menggerak-gerakkan kakinya mengikuti alunan musik dalam kelab itu. "Dia punya rentenir di sekitar sini?"

"Banyak. Seperti Yakuza, mereka punya tato spesial di dadanya."

"Heish... Kalau hanya tato aku juga bisa membuatnya dan mengaku-ngaku jadi anak buah DOG."

"Siapa yang mau membuatkan tato itu untukmu? Pembuat tato bersih? Mereka tidak tahu detailnya. Mereka tidak bisa membuatkan tato itu untukmu. Kecuali kau tidur dengan seorang yang sudah punya tato itu kemudian menghafalkan bentuk tatonya dan membawa gambar itu ke seniman tato bersih," jawab BLOO, membuat Jiyong menyunggingkan senyum simpulnya.

"Aku bisa menggambar detailnya untukmu kalau kau mau," celetuk Jiyong, tidak cukup tahan untuk berpura-pura tidak memahaminya.

"Anda seniman tato, Tuan?" tanya BLOO.

"Tidak, hanya kebetulan aku tahu tato yang kalian bicarakan."

"Apa anda memilikinya?" susul BLOO. "Kapan dan dimana anda berlatih? Dulu aku ingin bergabung dengan mereka tapi gagal. Aku tidak cukup kuat untuk bergabung. Bos juga."

"Tapi kau kelihatan cerdas. Kau tidak memakai apa pun, iya kan? Kalau tidak, aku jadi semakin menyukaimu."

"Ya?"

"Dia DOG," bisik Lisa, membuat sang bartander langsung menatap gadis itu tidak percaya. Sungguh?- tanya pria itu dengan tatapannya. "Bisa dibilang begitu," susul Lisa.

"Bawa orang itu ke hadapanku. Akan ku berikan yang kau inginkan," susul Jiyong, menyuruh Lisa untuk memberikan foto Lee Taeyong pada si bartender. "Waktumu tiga hari, kau tidak akan mendapatkan apapun kalau terlambat."

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang